*

*

Ads

Kamis, 05 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 031

"Namaku Hay Hay…… "

“Hay Hay, di kamar nomor berapa?"

"Kamar bagian belakang, nomor tujuh."

"Kongcu malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin berkunjung ke kamarmu………….." berkata demikian, wanita itu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya! Bukan main, pikirnya.

Nyonya muda itu begitu saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu tentu suaminya, atau ayah Ai Ling! Justeru pada saat itu, dari pintu belakang yang menembus ke dapur, muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu!

Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling.

Melihat ini, Hay Hay juga menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tinggi besar seperti raksasa, dengan pakaian mewah, seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor. Matanya agak besar sebelah, hidungnya besar sekali dan mulutnya juga lebar.

Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan "harga dirinya" yang diukur dengan kepadatan kantungnya. Di belakang hartawan raksasa ini ketihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan, langkah satu-satu seperti harimau, tiga orang itu seolah-olah memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu.

Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang suka mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya.

Selain sebagai seorang hartawan juga Coa Wan-gwe ini seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, dan dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan dia menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja.

Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka.

Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis kepada hartawan itu. Ia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan tahu pula bahwa jika keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan.

Kalau hartawan itu memusuhi mereka, tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semua telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, seperti boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu.

Tiga hari yang lalu, ketika makan di rumah makan mereka, hartawan itu ketika dilayani Kim Hwa telah membisikkan hasrat hatinya untuk "memetik" bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling!

Mendengar ini, tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Akan tetapi diam-diam ia juga merasa girang karena sebetulnya semenjak menjadi isteri Gui Lok, ia membenci Ai Ling. Maka ia lalu membujuk suaminya untuk menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi diapun merasa khawatir sekali, tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu.

Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tidak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian iapun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar.






"Lihat, betapa besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihat, sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau mempunyai menantu dia, kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan tidak ada seorangpun di Shu-lu ini berani kepadamu."

Sementara itu, dengan sikap manis dibuat-buat, Ai Ling menyambut tamu-tamu itu,
"Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada meja Kosong untuk lo-ya sekalian." kata Ai Ling. dengan senyum buatan.

Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Dia mengangguk-angguk, lalu berkata,

"Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis……. !" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu.

"Maaf, lo-ya, saya masih mempunyai banyak pekerjaan. Akan tetapi, akan saya sampaikan pesannya lo-ya. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam.

Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah.

Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling. Dia melihat betapa Ai Ling kelihatan ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, walaupun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggeleng kepala keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk. Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-geleng kepala dengan bingung dan khawatir .

Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Setelah mengatur hidangan di atas meja, dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat.

"Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu, dan ia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani disini."

Dengan sikap manis sekali ia lalu menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan tiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang.

Akan tetapi hartawan itu cemberut.
"Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?"

"Sudah, tai-ya."

"Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman.

"Ah, tidak, tidak! Mana ia berani? Dia hanya menyerahkan kepada saya, dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya tentu akan mendapatkan apa yang dikehendakinya." kata Kim Hwa dengan sikap manis.

Sejak tadi, Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan meja yang dihadapi rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang tajam dapat menangkap semua percakapan itu walaupun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih.

"Hemm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar terbaik, dan malam nanti aku sungguh mengharapkan ia berada di dalam kamarku! Kalau perintahku sekali ini tidak ditaati, jangan menyesal kelak kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!" .

Wajah wanita itu nampak ketakutan,
"Baik, tai-ya, jangan khawatir……,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimanapun juga, saya akan mengusahakan agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena ia pemalu, harap tai-ya menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya "

Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya.

"Tidak perlu dengan paksaan, kau gunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan ia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi."

Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa dan tiga orang tukang pukulnya makan minum sampai mereka .menjadi setengah mabok. Sementara itu, Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali. Hartawan mata keranjang pikirnya, perusak gadis-gadis orang. Dan wanita genit tak tahu malu itu merupakan seorang ibu tiri yang kejam dan jahat, ingin menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan dan menghidangkan puteri itu, seorang gadis manis, menjadi santapan si bandot tua Coa! Dia harus mencegah hal ini terjadi, pikirnya.

Akan tetapi karena peristiwa yang direncanakan orang-orang jahat itu baru akan dilaksanakan malam nanti, maka Hay Hay melanjutkan acaranya hari itu, ialah melakukan penyelidikan dan mencari jejak Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, atau ayah kandungnya sendiri, untuk dibekuknya dan dipaksanya mempertanggung jawabkan semua dosanya, apalagi mempertanggung jawabkan perbuatan hinanya, memperkosa dua orang gadis yang amat dikaguminya, yaitu perbuatan yang dilakukannya ketika para pendekar sedang menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo.

Dua orang gadis pendekar itu yang pertama adalah Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, puteri dari ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Yang kedua adalah Ling Ling atau Cia Ling, puteri dari pendekar besar Cia Sun, masih keluarga dari Cin-ling-pai, yang tinggal di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja.

Peristiwa aib yang menimpa dua orang gadis perkasa itu telah mencemarkan namanya, karena dialah yang mula-mula dituduh sebagai pelakunya! Oleh karena itu, dia harus dapat membekuk batang leher Ang-hong-cu, ayahnya sendiri, dan menyeretnya kepada dua orang pendekar wanita itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, untuk mencuci bersih namanya sendiri yang hampir saja tercemar dan menjadi busuk! .

Mencari seorang datuk sesat haruslah menghubungi dunia penjahat, pikir Hay Hay. Maka diapun tidak ragu-ragu lagi memasuki sebuah rumah judi terbesar dikota Shu-lu. Rumah judi ini bercat merah dan cukup luas. Ada beberapa belas meja perjudian. Ada permainan dadu, permainan kartu dan ma-ciok. Akan tetapi yang paling ramai dipenuhi orang adalah meja dadu terbesar di tengah ruangan.

Banyak sekali tamu yang datang mengadu untung di tempat perjudian itu. Ketika Hay Hay masuk dengan memakai topinya yang lebar, segera ada dua orang tukang pukul menghampirinya. Karena dia tidak dikenal, dan pakaiannya sederhana, juga mengenakan topi caping yang lebar, maka tentu saja dia dicurigai.

"Hei, kawan. Disini tidak boleh memakai caping lebar, seperti di sawah saja!" tegur seorang diantara mereka.

"Kesinikan, kau titipkan dulu capingmu kepada kami. Nanti kalau kau hendak pulang, boleh kau ambil dari kami!" kata yang kedua.

Hay Hay menoleh dan melihat dua orang laki-laki tinggi besar dan nampak kokoh kuat, berdiri dengan sikap bengis dan mengancam. Hay Hay tersenyum dan menanggalkan topi capingnya, lalu menyerahkan kepada mereka.

"Harap jaga baik-baik capingku, karena disini tidak ada orang yang menjual caping lebar model selatan ini," katanya sambil tersenyum.

Seorang tukang pukul menerima caping itu, dan orang kedua memandang Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Sobat, apakah engkau datang hendak berjudi?"

Hay Hay tersenyum.
"Sobat, kalau orang memasuki rumah judi lalu tidak hendak berjudi, lalu mau apa?"

"Hemm, siapa tahu? Ada saja manusia tolol yang mencoba-coba untuk merampok di po-koan (rumah judi) kami, ha-ha-ha!"

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar