*

*

Ads

Sabtu, 11 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 120

Menteri Cang Ku Ceng bukanlah seorang pembesar yang bodoh. Biarpun dia percaya akan semua alasan dan pendapat dari bekas Perwira Tang Bun An yang mengundurkan diri dan bermaksud untuk mempersatukan para tokoh di dunia kang-ouw. Diam-diam pejabat tinggi ini menyebar para penyelidik untuk mengamati gerak-gerik bekas perwira itu.

Maka, diapun tahu akan segala perkembangan mengenai Ho-han-pang. Bahkan dia mendengar pula bahwa Perwira Tang Bun An itu kini tidak nampak lagi dan yang menjadi ketua Ho-han-pang adalah seorang yang setengah tua yang disebut Han Lojin. Mendengar laporan penyelidiknya tentang orang bernama Han Lojin itu Menteri Cang teringat akan Han Lojin yang pernah membantu pasukan pemerintah membasmi Lam-hai Giam-lo.

Diam-diam diapun merasa kagum dan semakin percaya. Bagaimanapun penuh rahasia, orang yang pernah menjadi Perwira Tang Bun An dan yang juga pernah muncul sebagai Han Lojin itu jelas memperlihatkan sepak terjang yang membantu pemerintah. Apalagi mendengar laporan tentang sepak terjang orang-orang Ho-han-pang yang melakukan pembersihan dan menundukkan para penjahat sehingga kota raja dan sekitarnya menjadi aman, hati pejabat tinggi itu merasa kagum dan senang.

Diapun memesan kepada para pejabat pemerintah agar tidak mengganggu Ho-han-pang dan hanya mengamati saja bagaimana sepak terjang mereka. Selama mereka itu tidak melakukan kejahatan, tidak mengganggu keamanan dan ketentraman, mereka dianggap perkumpulan orang-orang baik dan patut dibiarkan hidup, bahkan dibantu.

Sementara itu, Kui Hong yang tinggal menumpang di rumah Menteri Cang Ku Ceng, merasa rikuh sendiri setelah lebih dari satu bulan ia tinggal disitu, belum juga anak buah menteri itu berhasil menemukan dua orang musuh besarnya yang dicarinya.

Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek seolah-olah lenyap ditelan bumi dan tak seorangpun diantara para penyelidik yang disebar Menteri Cang dapat menemukan mereka. Ia merasa rikuh karena keluarga pejabat tinggi itu amat ramah dan baik kepadanya, apa lagi melihat sikap Cang Sun yang semakin terang-terangan menyatakan tergila-gila dan mencintanya!

Pada sore hari itu, ketika ia duduk melamun seorang diri di dalam taman di belakang rumah keluarga Cang yang luas, ia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk menghadap keluarga itu dan berpamit. Ia akan melanjutkan perjalanan, terutama mencari sendiri dua orang yang telah melarikan pedang pusaka dari Cin-ling-pai dan dari Pulau Teratai Merah itu.

Matahari telah mulai condong ke barat, namun belum terlalu larut walaupun sinarnya sudah mulai lemah. Sinar matahari sore itu masih mampu menerobos diantara celah-celah daun pohon sehingga taman bunga itu seakan bermandikan cahaya yang lemah akan tetapi masih hangat itu. Indah bukan main di taman itu.

Burung-burung mulai beterbangan pulang ke sarang mereka di pohon-pohon, untuk berlindung di sarang yang aman dan hangat kalau malam gelap nanti tiba. Dua ekor kelinci berkejaran dan menyusup ke dalam semak-semak. Seekor ular sebesar ibu jari kaki, hitam dan mengkilap, berlenggak-lenggok menuju ke rumpun semak belukar pula, dengan lidah kadang terjulur keluar dengan cepatnya. Kepala ular itu berbentuk bulat telur, tidak segitiga. Bukan ular beracun, dan kulitnya yang hitam mengkilap itu indah sekali, indah dan bersih seperti baru habis digosok dengan minyak.

Semua mahluk pulang ke sarang masing-masing, pulang ke rumah masing-masing, pikiran ini menyelinap ke dalam benak Kui Hong dan iapun mengerutkan alisnya. Hanya ia seorang yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu. Pulang! Kemana? Ayah ibunya, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama adik tirinya, Cia Kui Bu, telah meninggalkan Cin-ling-san karena mereka ingin mencari hawa baru dan sementara tinggal di Pulau Teratai Merah.

Kesana menyusul ayah ibunya? Ah, ia bukan anak kecil lagi. Ia harus berani hidup sendiri, bukan anak-anak yang selalu mohon perlindungan ayah dan minta dimanjakan ibu. Kembali ke Cin-ling-san? Tentu sekali waktu ia harus kembali ke sana. Bukankah ia adalah pang-cu (ketua) Cin-ling-pai? Walaupun sesungguhnya ia tidak suka menjadi ketua, banyak urusan dan tidak bebas. Kalau dahulu ia memperebutkan kedudukan pangcu, hal itu dilakukan secara terpaksa karena ia tidak ingin melihat Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai.

Kui Hong menarik napas panjang. Bagaimana seorang gadis seperti ia, seorang wanita, dapat benar-benar merasakan "pulang rumah" kalau tidak memiliki rumah tangga sendiri? Dan memillki rumah tangga berarti menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak sudah ia menemui pria di dalam hidupnya. Pria-pria yang sungguh merupakan pemuda yang gagah perkasa dan tampan, dan yang memperlihatkan sikap jatuh cinta kepadanya, atau setidaknya suka kepadanya. Dalam setiap perjalanannya, selalu saja ia bertemu pria muda yang memandang kepadanya dengan perasaan hati yang seperti sebuah kitab terbuka. Demikian jelas pandang mata itu membayangkan keadaan hati yang tertarik!

Puluhan orang pemuda sudah, bahkan mungkin ratusan. Bahkan banyak pula yang ingin mendapatkan dirinya, secara halus maupun kasar. Terbayanglah wajah-wajah para muda itu berderet-deret. Sim Ki Liong, Tang Cun Sek, Hay Hay dan kini Cang Sun.

Ya, putera Menteri Cang itu cinta kepadanya! Bahkan seluruh anggauta keluarga Cang suka kepadanya dan mengharapkan ia meniadi isteri Cang Sun. Iapun dapat membayangkan betapa kalau ia menjadi isteri Cang Sun, ia akan hidup mulia, terhormat, kaya raya, menjadi seorang wanita bangsawan yang hidup di dalam gedung istana, kemanapun dikawal pasukan, ingin apapun tinggal perintah saja karena puluhan orang pelayan setiap saat siap melayaninya.






“Ah, seperti burung dalam sangkar emas……. " ia berbisik dan menarik napas panjang.

Bukan, bukan kehidupan macam itu untuknya! Ia lebih senang hidup bebas kalaupun berumah tangga, menghadapi banyak tantangan hidup, tidak enak-enak seperti itu, bermalas-malasan!

Tiba-tiba gadis itu sadar dari lamunannya. Ia mendengar langkah kaki orang Ketika ia menengok, kiranya yang datang menghampirinya adalah Cang Sun! Pemuda itu melangkah dengan tenang menghampirinya, seperti biasa dengan sikap yang lembut, sopan, ramah dan mulutnya tersenyum.

Seorang pemuda yang tampan, berpakaian rapi, pembawaannya tenang berwibawa, halus dan lembut, seorang pemuda yang sudah dewasa dan tentu akan menarik hati setiap orang wanita, apalagi kalau diketahui bahwa dia adalah putera tunggal seorang menteri yang amat terkenal, Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal bijaksana dan memiliki kekuasaan besar!

"Selamat sore, Hong-moi. Asyik melamunkan apa sore-sore begini seorang diri didalam taman?"

Kui Hong bangkit dan tersenyum. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup bebas dan sudah berkecimpung di dunia kang-ouw, banyak pengalaman dan sudah terbiasa dengan sikap terbuka, bahkan mengarah kepada sikap lincah jenaka dan berandalan. Akan tetapi, sejak ia berdiam di rumah keluarga Cang, keluarga bangsawan tinggi yang bergelimang kehormatan, mau tidak mau iapun membatasi diri dan sikapnya juga sopan, biarpun masih ramah dan lincah jenaka.

"Aih, kiranya toako yang datang. Selamat sore, Cang-toako."

Biarpun pemuda itu seringkali mendesaknya agar bersikap kekeluargaan dan ramah, namun tetap saja Kui Hong merasa rikuh untuk bersikap terlalu akrab. Canggung rasanya kalau ia menyebut nama kecil pemuda itu, terlalu akrab menyebutnya Sun-koko misalnya. Maka, biarpun ia sudah menghentikan sebutan kongcu (tuan muda) dan menyebut toako (kakak), namun ia menyebut nama keluarga pemuda itu, bukan kakak Sun, melainkan kakak Cang!

“Apa yang kau lamunkan, Hong-moi?”

Pemuda itu duduk di atas bangku, di ujung, dan Kui Homg juga duduk kembali, di ujung yang lain.

“Aku melihat burung beterbangan menuju ke sarang, dan tiba-tiba aku merasa rindu untuk pulang, toako.”

“Pulang kemana, Hong-moi?”

Gadis itu mengangkat muka memandang dan karena saat itu Cang Sun juga sedang menatap wajahnya, dua pasang mata itu bertemu dan melihat betapa sepasang mata pemuda itu dengan lembut membayangkan kasih sayang besar. Pemuda bangsawan ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya, dan kasih sayang dan kagumnya terbayang jelas dalam pandang matanya.

"Ah, toako. Kemana lagi kalau bukan di tempat tinggal keluargaku? Di Cin-ling-san atau di Pulau Teratai Merah karena saat ini mungkin ayah ibuku masih berada disana."

"Aih, kukira tadi…..”

"Apa yang kau kira, Cang-toako?"

"Kukira ……. ah, betapa akan senangnya kalau rasa rindumu itu kau tujukan kepada…….. eh, diriku dan arti pulang itu kesini, bukan ke mana-mana. Betapa akan bahagia rasa hatiku kalau engkaupun rindu kepadaku seperti aku selalu merindukan dirimu siang malam, Hong-moi……"

"Hemmm, toako, apa yang kau katakan ini?"

Kui Hong berkata dengan suara mengandung teguran karena baru sekarang pemuda itu begini terang-terangan menyatakan perasaan hatinya.

"Hong-moi, perlukah aku menjelaskan lagi kepadamu? Aku rindu padamu, karena aku cinta padamu, Hong-moi. Betapa aku selalu membayangkan engkau bersanding denganku selamanya, sebagai isteriku tercinta, sebagai ibu anak-anakku"

"Cukup, Cang-toako. Mari kita bicara serius. Katakan, mengapa engkau jatuh cinta kepadaku? Engkau putera seorang bangsawan tinggi, kedudukanmu terhormat, engkau terpelajar tinggi dan kaya raya, dan kalau engkau menghendaki bahkan puteri kaisarpun mungkin dapat menjadi isterimu. Kenapa engkau mendekati aku, seorang gadis ahli silat, gadis kang-ouw yang bergelimang kekerasan? Mengapa? Ingin sekali aku mengetahuinya, dan aku percaya bahwa engkau akan membuat pengakuan sejujurnya, toako."

Cang Sun menarik napas panjang. Alangkah manisnya gadis ini kalau bersikap wajar seperti itu, mengeluarkan semua perasaan hatinya tanpa disembunyikan lagi, tidak seperti wanita pada umumnya, terutama wanita bangsawan yang menyembunyikan kepribadiannya di balik kesopanan dan kehormatan pura-pura yang palsu.

"Pertanyaan yang kau ajukan itu saja sudah mengandung keterbukaan dan kejujuran, Hong-moi. Oleh karena itu, akupun mencoba untuk keluar dari sangkar kesopanan pura-pura yang selama ini sejak aku kecil telah mengurung diriku dalam lingkungan kami. Memang benar ucapanmu tadi, kalau aku menghendaki, mudah bagiku untuk mendapatkan jodoh seorang gadis bangsawan, bahkan mungkin puteri kaisar. Akan tetapi, terus terang saja aku tidak tertarik kepada para gadis yang lemah itu. Melihat engkau aku seperti melihat setangkai bunga yang segar dan sehat. Kalau aku hidup di sampingmu selamanya, aku akan merasa aman. Engkau tentu tahu, kehidupan ayahku sebagai seorang menteri selalu terancam bahaya. Kalau ada seorang seperti engkau ini yang teramat lihai, maka kami sekeluarga akan selalu merasa aman dan terjamin keselamatan kami. Nah, itulah hal-hal pada dirimu yang membuat aku jatuh cinta padamu."

Kui Hong termenung. Ucapan itu memang jujur, dan jelas membayangkan apa yang tersembunyi di balik cinta kasih pemuda bangsawan itu terhadap dirinya. Justeru karena ia gadis kang-ouw, karena ia memiliki ilmu silat tinggi dan boleh diandalkan sebagai jaminan keselamatan, maka Cang Sun jatuh cinta padanya. Bagaimana andaikata aku seorang gadis lemah seperti para puteri itu? Pertanyaan ini hanya ia ajukan kepada diri sendiri, di dalam batin pula. Tidak tega ia untuk mengajukan pertanyaan itu kepada Cang Sun yang sudah bersikap jujur.

Jawaban pemuda itu tentu tidak enak. Kalau tidak jujur ia akan kecewa, kalau jujur hanya akan menyakitkan hati mereka berdua. Cang Sun jatuh cinta kepadanya bukan karena pribadinya, melainkan karena kelihaiannya! Dan hal ini mendatangkan rasa lega di hatinya. Ia sendiri tidak mencinta Cang Sun, dan kenyataan bahwa sesungguhnya pemuda itupun tidak mencintanya, hanya tertarik oleh kepandaiannya, membuat hatinya lega. Cang Sun takkan menderita nyeri hati kalau cintanya ditolak.

"Terima kasih atas kejujuran pengakuanmu dan atas perhatianmu, Cang-toako. Dan akupun tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab sejujurnya. Ketahuilah, toako, bahwa aku bukan sekedar basa-basi ketika kukatakan kepada Paman dan Bibi Cang bahwa aku sama sekali belum berminat akan perjodohan. Di samping itu, walaupun aku kagum dan suka bersahabat denganmu, namun terus terang saja, rasanya tidak ada perasaan cinta dalam hatiku terhadap dirimu. Kita dapat saja bersahabat atau bersaudara, akan tetapi tidak berjodoh. Nah, lega hatiku telah dapat berterus terang, toako."

Tepat seperti yang diduganya, pengakuannya yang terus terang bahwa ia tidak mencinta pemuda itu, tidak membuat wajah pemuda tampan itu pucat pasi atau menimbulkan sinar duka pada pandang matanya, melainkan membuat wajah itu berubah kemerahan dan pada matanya terbayang perasaan kecewa dan keheranan.

"Hong-moi….. betapapun tidak enaknya kuterima kejujuranmu ini. Katakanlah, apakah disana sudah ada seorang pria yang memenuhi hatimu?"

Ditanya demikian, wajah Kui Hong juga menjadi kemerahan. Terbayanglah beberapa wajah pria yang pernah menyatakan jatuh cinta kepadanya. Wajah Sim Ki Liong, wajah Tang Cun Sek, dan akhirnya yang tinggal hanyalah wajah Hay Hay! Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat terhadap pemuda ugal-ugalan yang mata keranjang itu! Hay Hay! Ah, betapa rindu hatinya kepada pemuda itu, dan baru sekarang, setelah ditanya demikian oleh Cang Sun, ia melihat kenyataan bahwa sesungguhnya selama ini hanya Hay Hay yang memenuhi hatinya, hanya pemuda ugal-ugalan itulah yang dicintanya, walaupun hal ini dicobanya untuk disangkal dan ditentangnya sendiri.

"Benar, toako, dan……. maafkan aku………"

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar