*

*

Ads

Rabu, 22 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 158 (TAMAT)

"Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku." kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengarkan oleh para pendekar lainnya.

"Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan akupun ikut mengharap sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko."

“Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang dengan heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong.

"Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Aku yang dahulu melarikannya, mencurinya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa aku telah sadar dan bertaubat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada suhu dan subo. Aku akan menghadap, suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela."

"Aku akan menemaninya, enci Hong. Andaikata engkau belum dapat percaya kepadanya, tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang.

Kui Hong nampak bimbang, kemudian ia menoleh kepada Hay Hay dan biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, ia sendiri tidak mengerti mengapa kepada Hay Hay ia berpaling untuk minta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu, dan dia menghela napas panjang.

"Beruntunglah orang yang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertaubat, dari pada orang baik yang membanggakan dan menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih."

"Aku setuju dengan pendapat Hay-ko." kata Siangkoan Bi Lian.

Gadis ini bukan saja teringat betapa ia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, akan tetapi juga ia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu!

Kui Hong termenung. Ia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Neneknya itu dahulunya seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi kemudian setelah menikah dengan kakeknya, berubah menjadi pendekar yang menentang kejahatan.

"Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andaikata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan."

Sim Ki Liong yang sejak bertaubat nampak muram wajahnya, kini dia nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong.

"Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau amat bijaksana. Terima kasih, nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!"

Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu.
"Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?"

Hay Hay tersenyum.
"Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik."

Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit dari semua orang dan merekapun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Setelah bayangan dua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merobah segala!

Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong.

"Suheng, engkau terimalah pedang ini." katanya lirih.

Han Siong memandang dengan mata terbelalak.
“Kwan-im-kiam? Akan tetapi, ini adalah pedangmu, sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!"






"Tidak suheng. Pedang ini milikmu. Ingat ayah dan ibu sudah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu."

"Tapi…… tapi……..” Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu, " suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu sudah putus "

Dia tidak berani menjelaskan dengan kata "perjodohan" karena disitu terdapat Kui Hong dan Hay Hay.

Siangkoan Bi Lian tersenyum dan wajahnya nampak manis sekali.
"Benar, suheng. Itu dahulu. Setelah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?"

Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu.

"Bi Lian……., sumoi…….. ini…….. ini……. benarkah ini………. eh, maksudku, engkau……… engkau mau…….."

Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar Hay Hay dan Kui Hong.

Bi Lian mengangguk sambil tersenyum.
"Terserah kepadamu, suheng. Ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu dan mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu kesana. Nah, aku pergi dulu, menanti disana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!"

Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah.

Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Baru dia sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira.

"Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!"

"Hay Hay….., kau….. kau pikir, ia….. ia…..” Han Siong masih salah tingkah karena terguncang keharuan dan kegembiraan.

"Ia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!"

Han Siong tersenyum lalu mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong,
"Selamat tinggal…… selamat tinggal dan terima kasih!"

Dan diapun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong.

Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu, terbayanglah dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Pernah mereka mengalami banyak hal yang hebat ketika mereka melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang).

Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan pria pertama yang telah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa pernah dia tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri.

Baru sekarang dia menyadari bahwa sebetulnya, dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya. Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandang mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi minta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh.

"Kui Hong…… "

"Hay Hay…….. "

Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan diapun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu.

"Pangcu…..”

"Hushh, tidak sudi aku disebut pangcu olehmu. Tidak enak……!"

"Akan tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek."

"Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu disana……” kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi.

Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menghela napas panjang.
"Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku…….? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi."

"Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!"

"Tapi….. tapi……. bagaimana kalau aku ditolak?"

"Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku."

"Hong-moi, engkau….. engkau…… sudikah engkau menjadi isteriku?"

Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya, tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah bicara banyak dan tanpa bertanya sekalipun, mereka sudah tahu bahwa mereka saling mencinta, bahwa mereka dengan hati bahagia suka menjadi suami isteri.

"Hay-ko, satu diantara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu ini. Akan tetapi, katakanlah, kenapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?"

"Hemm, mengapa? Karena aku cinta padamu tentu saja."

"Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat walaupun engkau memuji-muji diriku. Engkau suka akan keindahan akan tetapi tidak mau terikat…..”

"Dahulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Harus melalui kebodohan dulu untuk menjadi pintar, bukan? Kini mataku terbuka sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu diantara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!"

"Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela aka tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa.

"Biar mata keranjang aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku…..”

“Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?"

"Jadi engkau mau?"

"Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!" ,

"Hong-moi……. !!"

Hay Hay menangkap Kui Hong dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit, baru berhenti permainan itu setelah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra.

"Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergj ke Cin-ling-pai, sayang……”

Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang.
"Dasar perayu kau, mata keranjang kau!"

Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan. Dan sampai disini, pengarang menghentikan tulisannya karena kisah ini telah selesai, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca di samping menjadi bacaan hiburan di kala senggang. Sampai jumpa dilain kisah.

TAMAT
Lereng Lawu, medio Pebruari 1984.
Ang Hong Cu