*

*

Ads

Selasa, 05 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 200

"Sui Cin, aku tahu betapa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang untuk menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Bi Nio tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena ia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya, menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi, kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Akan tetapi, engkaupun tentu telah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan. demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada di atas pundakku! Nah, akulah yang bersalah, aku yang berdosa, karena itu, tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Kalau engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tidak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Ia seorang isteti yang baik, ia telah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan ia mencinta suaminya….."

"Ayah...!" Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci mantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimanapun juga, sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tidak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada yang dapat memberi penerangan dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri…" Kini wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih.

Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika ia turun, ia telah menghadang di depan Bi Nio.

"Tidak... engkau... tidak boleh pergi…." kata Sui Cin, suaranya agak gemetar, “Bi Nio..., apakah engkau... mencinta Hui Song?"

Bi Nio yang berdiri agak membongkok sambil menangis itu, tiba-tiba saja mengeluarkan suara seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa lucu olehnya.

“… aku….? Mencinta dia….? Aku…. aku bersedia mati untuk kebahagiaannya..., mungkin aku tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara lain…."

Tiba-tiba saja ia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi baju di bagian dada wanita itu.

"Bi Nio...!"

Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi dipergunakan oleh Bi Nio untuk menusuk dadanya sendiri!

“Bi Nio...!"

Hui Song berteriak dan sekali meloncat, dia sudah menubruk Bi Nio yang terkulai roboh dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya.

"Bi Nio...!"

Cia Kong Liang juga berteriak dan meloncat dekat, lalu berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras, seolah-olah anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu malapetaka yang menimpa diri ibunya.

"Bi Nio..., ahhh, Bi Nio...!"

Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggeleng kepala ketika keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung mengenai jantungnya! Bi Nio membuka matanya, berbisik-bisik,

“Anakku..., anakku..., mana…."

Cia Kong Liang menangkap cucunya dan didekatkan kepada Bi Nio yang segera mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar.

"Aku... aku pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa…."






Bi Nio melepaskan anaknya dan terkulai lemas. Ia mati dengan bibir tersenyum, seolah-olah ia telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik.

"Bi Nio….! Ah, Bi Nio, aku telah membunuhmu…!" Hui Song merintih dan terisak.

"Aku telah membunuhmu, Bi Nio…." kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa menyesal, dan ia memondong Kui Bu, mendekap anak yang muka dan pakaiannya berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi Nio, jangan kau khawatir….."

"Aku yang telah membunuh Bi Nio…." Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan wajah sedih.

Hui Song bangkit berdiri, dan memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah.
"Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tidak mampu membahagiakan isteri, baik bagi Sui Cin maupun bagi Bi Nio. Aku... aku yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu dan menemaninya disana, selamanya….”

Hui Song lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu.

Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apapun juga, kaya atau miskin, mulia maupun papa, dari 'keluarga yang bagaimanapun juga, seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis!

Tangis adalah peluapan duka, dalam bahasa dari bangsa manapun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam kenyataannya, hidup ini memang lebih banyak mengandung duka daripada suka.

Kemudian, setelah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa pada wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu, membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas daripada kehidupan yang banyak duka ini!

Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalam penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru?

Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangis sedih walaupun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah inipun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang bebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang dalam penjara yang melihat seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.

Hidup ini penuh duka yang timbul dari segala perasaan kecewa, iri hati, dengki, ketakutan, kekerasan, dan iba diri. Kesenangan hanya muncul seperti kilat diantara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan.

Namun, tanpa adanya pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, mengingat-ingat, tanpa adanya si aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tidak mengenal suka duka!

Mimpi mengandung suka itu ada? Dalam keadaaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada!

**** 200 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar