*

*

Ads

Selasa, 05 Juni 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 199

Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis dan isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Biarpun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, namun ia masih selalu menjauhkan diri.

Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja! Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka bermalam di sebuah rumah penginapan, Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena ia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan diantara mereka dapat disesalkan.

Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, para anggauta Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat dan diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus.

"Biarlah aku menanti saja disini sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu, baru aku mau masuk ke dalam rumah ini."

Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang kepada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tidak ada anggauta Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka dan di beranda rumah itu sunyi. Ayahnya tentu sedang bersamadhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya, tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya.

"Baiklah, aku akan menemui Bi Nio." katanya dan dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya.

Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang.

"Ah, engkau begini tiba-tiba pulang sehingga kami tidak dapat melakukan penyambutan…" katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika ia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan.

"Apakah yang telah terjadi…?" tanya isteri itu khawatir.

Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun memangkunya, mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak.

“Apakah yang terjadi maka engkau kelihatan begini susah.... ?" tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya.

Biarpun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini ia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio telah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya.

“Bi Nio…”

Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan. Biarpun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, namun berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apapun, dan Cia Kui Bu juga tidak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu!

."Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku…"

"Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Dimana ia…?" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira.

Melihat ini, Hui Song menarik napas panjang.
"Nanti dulu, Bi Nio. Justeru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, ia... ia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih ia! Ia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri."

Sepasang mata itu terbelalak dan mukanya menjadi sepucat kertas ketika ia menatap wajah suaminya. Beberapa saat lamanya ia seperti kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian, dengan suara lirih ia bertanya.

"Kalau... kalau memilih aku….?"

"Kalau aku memilih engkau, ia tidak sudi kembali kesini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku."






"Ah, tidak mungkin kau lakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget.

"Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa ia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa ia isteriku yang kucinta, dan kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika ia datang berkunjung…"

"Seorang gadis yang hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi Nio mendesak.

Hui Song menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis.

"Aku tahu! Aku yang harus pergi dari sini! Ah, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri kedua, dan sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi…."

"Tidak mungkin!" Tiba-tiba Hui Song berseru keras mengejutkan Bi Nio yang belum pernah selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu mendengar suaminya membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tidak boleh membawanya!"

Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan dan puteranya didekap di dadanya dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya.

"Kau... kau hendak memisahkah aku dari Anakku? Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia pergit aku tidak minta apa-apa darimu, tidak menuntut apapun. Aku akan pergi tanpa membawa apapun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya disini ! Ah, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku…."

Dan wanita itu menangis sesenggukan sambil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis.

Melihat keadaan Ibu dan anak itu, Hui Song lalu berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan.

"Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menantimu di dalam. Mari kita temui mereka!"

Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah dimana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, dimana selama enam belas tahun ia hidup berbahagia dengan suaminya.

Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruangan dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemm, seorang perempuan yang masih muda sekali, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin.

"Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberitahu kepadanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan ia. Dan sudah kukatakan bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang menjadi isteriku sejak muda. Sekarang terserah kepadamu, ini ia dan anaknya, boleh kau putuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali.

Sementara itu, mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya dan mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat ia merasa kecil sekali, kecil dan lemah.

"Engkau yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus.

"Benar, aku bernama Siok Bi Nio." jawab yang ditanya, suaranya lirih dan ia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam.

"Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar suka kembali dan tinggal disini. Aku mau kembali, dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan tentang anakmu ini, .karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya."

Berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya.

Bi Nio terbelalak, kembali anaknya didekap erat-erat, dan ia memandang suaminya.
"Ah, jadi begitukah? Suamiku, kalau memang kalian berkeras untuk memisahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kau turun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku akan membawanya kemana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah agar kalian dapat hidup berbahagia!"

Bi Nio berkata sambil menangis dan tak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya.

"Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tidak mungkin aku akan sekejam itu. Kalau engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah kepadamu. Lakukanlah kalau memang kau ingin demikian!"

Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besarpun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuh Bi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali.

Hui Song sama sekali tidak tahu atau menyangka bahwa kalau Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itupun hanya merupakan suatu ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya tetah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tercapainya keinginannya. Dulu, suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan ia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi.

Dan sekarang, karena suaminya menghendaki ia kembali, ia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuhnya! Tentu saja, betapapun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya ketika berhadapan dengan madunya, ia sebagai seorang pendekar tidak akan sudi menyerang, melukai apalagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio.

"Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali kesini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal disini, akan kupelihara, dan kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko, atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut.

Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan iapun mendekap anaknya, lalu bangkit berdiri.

"Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tidak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekalipun. Biarkan aku pergiiii…!"

Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, baru tiba di pintu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu telah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu.

"Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia yang harus berada disini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tidak boleh siapapun membawanya pergi dari sini.' katanya, suaranya keren sekali.

Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya.

"Ayaaaahhh...!" Ia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan.

Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari samadhinya dan ketika dia mendengar keributan diruangan belakang, dia segera menghampiri dan turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar