*

*

Ads

Minggu, 27 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 164

Hay Hay melakukan perjalanan seorang diri di daerah pegunungan yang sunyi itu. Enak berjalan di padang rumput itu, dan pemandangan alamnya sungguh menyenangkan hati dan menyedapkan mata. Serba hijau dan bau rumput dan tanah, juga pohon-pohonan amatlah sedapnya. Dia menyedot napas sekuatnya sampai seluruh paru-parunya penuh dan hawa murni itu terus turun mendesak ke bawah, terasa nikmat dan penuh, baru dihembuskannya perlahan-lahan. Bukan main nyamannya.

Hidup adalah bahagia! Karena bahagia hanyalah suara perasaan, suatu sebutan, seperti juga hidup. Hidup juga hanya suatu perasaan. Merasa hidup! Siapa yang merasa bahagia? Siapa yang merasa hidup? Hanya kesadaran pikiran bahwa ada aku yang merasakannya! Kalau kesadaran tertutup sementara selagi tidur, tidak ada lagi itu yang dinamakan hidup atau kebahagiaan, atau bahkan kedudukan, kesenangan dan sebagainya lagi. Semua itu kosong! Sesungguhnya tidak ada apa-apa, yang ada itu hanyalah permainan pikiran sendiri belaka!

Pagi itu cerah sekali. Sinar matahari pagi menghidupkan segala yang semalam tadi tertidur, mendatangkan kesegaran, kehangatan, kenyamanan dan keindahan.

Sinar mataharilah yang menghidupkan segala sesuatunya. Bahkan sinar matahari pagi sempat membawa batin Hay Hay ke alam yang penuh semangat dan gembira, mendorongnya untuk melepaskan riang lewat nyanyian. Dan ketika dia membuka mulut bernyanyi, tanpa disengaja dia menyanyikan lagu yang pernah didengarnya dari mulut gadis pelayan dari Can Sun Hok itu!

Nyanyi tentang burung murai betina yang bodoh, yang merindukan bulan purnama! Burung yang tidak mampu mencapai bulan purnama, lalu mengejar bulan di dalam air dan akhirnya tenggelam, tewas! Setelah nyanyian itu selesai dinyanyikan, baru dia sadar bahwa tanpa disengaja dia menyanyikan lagu baru itu. Dan Hay Hay tertawa sendiri.

Burung murai bodoh, pikirnya mencela. Itulah kalau menginginkan sesuatu yang tidak terjangkau! Akhirnya akan mencelakakan diri sendiri! Tiba-tiba dia berhenti melangkah. Kisah burung murai itu, bukankah itu kisah semua manusia? Bukankah setiap orang manusia itu selalu menginginkan keadaan yang lebih! Lebih indah, lebih enak, lebih banyak, pendeknya, semua manusia menginginkan yang serba lebih.

Saling berebutan dan bersaing untuk memperoleh yang serba lebih itu, kalau perlu saling serang, saling menjatuhkan, dengan cara apa saja demi memperoleh yang serba lebih itu!

Seperti si murai bodoh. Karena pengejaran akan yang serba lebih inilah maka mata menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat dan menikmati YANG ADA! Mata ditujukan jauh ke depan, kepada yang dianggap serba lebih itu, yang dikejarnya dan tak terjangkau olehnya. Akhirnya hanya ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengejaran itu, setelah dalam pengejaran itu menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan.

Kalau yang dikejar terdapat, belum tentu akan terasa seindah sebelum didapat, seindah seperti ketika masih dikejar karena hati ini sudah dipenuhi dengan pengejaran terhadap yang lain lagi, yang lebih lagi daripada yang sudah didapat! Dan kalau gagal? Kecewa, menyesal, berduka dan sengsara!

Hay Hay melompat dan tertawa.
"Ha-ha-ha, berbahagialah orang yang tidak mengejar apa-apa, tidak menginginkan apa-apa yang tidak ada padanya! Berbahagialah orang yang membuka mata melihat apa yang ada padanya saja, melihat keindahan dari apa YANG ADA."

Dia menarik napas panjang lagi dan merasakan benar betapa nikmatnya menghirup udara bersih seperti itu! Dia mengamati semua yang terbentang luas di depannya. Rumput-rumput hijau luas, pohon-pohon tinggi besar, bunga-bunga, burung-burung yang beterbangan di angkasa yang terhias awan-awan putih seperti sekelompok domba putih bergerak, sinar matahari pagi menerobos menembus celah-celah daun pohon. Betapa indah semua itu, indah tak terlukiskan kata-kata! Dan semua itu tentu takkan nampak oleh mata yang dibutakan oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang tidak ada dan tidak dimiliki!

Tiba-tiba perutnya berkeruyuk. "Hish, tak tahu malu." Dia menepuk perutnya sendiri dan baru teringat bahwa sejak kemarin siang dia belum makan. Semalam, setelah mengunjungi istana tua tempat tinggal Sun Hok, diapun melanjutkan perjalanan keluar dari kota Siang-tan, kemalaman di tengah jalan dan melewatkan malam di sebuah gubuk petani di tengah sawah, tanpa makan. Pagi tadi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan melanjutkan perjalanan, mendaki bukit dan kini berjalan di padang rumput.

"Wah, perut lapar di tempat seperti ini. Mana ada makanan?"

Dia lalu menoleh ke kiri. Di lereng itu terdapat hutan. Kalau dia bisa menangkap seekor kelinci, atau ayam hutan, atau kijang muda, tentu tuntutan perutnya yang lapar akan dapat dipenuhi. Dan hutan serimbun itu sudah pasti ada binatangnya. Dia lalu berlari kearah hutan itu.

Dengan berindap-indap Hay Hay memasuki hutan, mulai mengintai mencari mangsa, calon pengisi perutnya yang lapar. Bagaikan seekor harimau kelaparan, diapun jalan perlahan-lahan, jangan sampai mengeluarkan suara sehingga mengejutkan binatang yang dicarinya, yaitu ayam hutan, kelinci atau kijang. Hanya daging tiga binatang ini saja yang dia suka. Dia tidak suka makan daging kera, ular atau binatang lain.






Akan tetapi, yang dilihatnya hanyalah beberapa ekor kera dan dua ekor ular besar saja. Dia berjalan terus dan akhirnya melihat seekor kijang muda sedang minum di tepi anak sungai. Ketika angin bertiup, baru dia menyadari bahwa angin dari arahnya. Benar saja, kijang itu menangkap bau manusia melalui angin itu dan binatang itupun meloncat berlari cepat sebelum Hay Hay sempat mendekatinya.

Hay Hay juga melompat dan melakukan pengejaran. Kijang itu berloncatan cepat bukan main, meloncati semak-semak belukar, kadang-kadang menghilang ke dalam semak-semak, lari lagi mendaki bukit.

Hay Hay mengejar terus dan akhirnya dia melihat kijang itu terhalang sebuah jurang yang curam di tebing bukit. Binatang itu kebingungan, lari ke kanan kiri di tepi jurang. Kalau ia meloncat, akan lenyaplah binatang itu, akan tetapi tentu akan hancur terbanting ke bawah jurang. Binatang itu agaknya maklum pula bahwa tak mungkin baginya meloncat turun.

Hay Hay sudah siap sejak tadi, mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya. Dia merasa heran mengapa binatang itu tidak lari ke barat dimana terdapat semak-semak belukar, seolah-olah disana terdapat sesuatu yang menakutkan, melainkan lari kekanan lalu kekiri seperti dikepung.

Setelah binatang itu berhenti sejenak melepas lelah sambil terengah-engah, Hay Hay menggerakkan tangannya. Batu itu melucur cepat mengarah tengkuk binatang itu, bagian yang sekali kena akan mematikan. Dan dia melihat kijang itu roboh terguling, tak bergerak lagi.

Hay Hay berloncatan dengan girang dan hampir saja dia berteriak-teriak dan bersorak kegirangan ketika tiba-tiba dari balik semak belukar di sebelah barat itupun melompat keluar seorang gadis yang berlari seperti terbang cepatnya menghampiri bangkai kijang. Gadis itu memeriksa sebentar, tersenyum girang lalu memegang ekor kijang untuk diseret dan dibawa pergi.

"Heii…..! Nanti dulu…!” Hay Hay berteriak dan berlari cepat ke tempat itu.

Gadis itu terkejut sekali, tidak mengira akan ada orang berteriak seperti itu di tempat sunyi itu. Saking tersentak kaget, pegangannya pada ekor kijang itu terlepas dan ia menoleh menghadapi Hay Hay dengan mata terbelalak.

Dan Hay Hay terpesona! Dia kini tiba di depan gadis itu, berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter. Hay Hay seperti terpukau, tak bergerak seperti patung, hanya mengamati wajah gadis di depannya itu. Seorang gadis yang usianya masih muda, takkan lebih dari delapan belas tahun. Pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik, setengah pakaian pemburu, setengah pakaian puteri; agak kedodoran namun tidak menyembunyikan tubuh yang padat dan sempurna lekuk-lengkungnya, tubuh seorang gadis yang bagaikan sekuntum bunga mulai mekar meranum.

Rambutnya awut-awutan, terlepas dari gelungnya, namun menjadi penambah manis wajah yang sudah amat manis itu. Anak rambut di pelipis dan sinom di dahi itu bergerak-gerak lembut, wajah yang bulat telur itu berdagu runcing, sepasang matanya tajam seperti mata kucing tapi lebih indah, dan hidung itu kecil mancung dan ujungnya seperti kemerahan dan dapat bergerak lucu, mulutnya memiliki bibir yang penuh dan tipis, seperti kulit buah tomat yang mudah pecah, merah basah. Mata yang indah itu mengerling seperti gunting saja tajamnya, akan tetapi nampak galak.

Gadis yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget dan melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri seperti patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.

"Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?" gadis itu membentak.

Ketika bicara, bibirnya bergerak-gerak dan nampak kilatan giginya, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.

"Bukan main... hemmm, bukan main…..!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu.

Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah.
"Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?"

"Wah-wah-wah, belum pernah aku melihat yang seperti ini selama hidupku! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan main, ya cantik, ya gagah, ya berani!"

"Hei, apakah engkau ini orang gila?" gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay.

"Aku? Tidak, belum gila, Nona, walaupun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan di bukit ini?"

Gadis itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay.

"Apa kau bilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kau kira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau…." Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.

“Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Kalau engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"

Gadis ini cemberut dan memandang perut bangkai kijang itu.
"Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!" Dan iapun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya.

"Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu punyaku!" Hay Hay mencela dan diapun melangkah maju menghampiri.

Kini nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seolah-olah dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya gadis itu.

"Apa kau bilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi orang seperti tolol, kemudian mengatakan orang mahluk penjaga gunung, dan sekarang engkau malah berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah dan sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!"

"Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."

"Apa? Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!"

"Hemm, akupun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!"

Hay Hay membantah, penasaran karena betapapun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja.

"Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?"

"Hemm, sebaiknya dilihat dulu buktinya, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?"

"Mengenai kepalanya, tepat diantara matanya! Kau berani mengira aku membohongimu?"

Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.

"Lihat ini, diantara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?"

"Akupun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan." kata Hay Hay dan diapun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar