*

*

Ads

Selasa, 08 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 101

Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, marilah kita menengok ke belakang beberapa tahun yang lalu untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan dibagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras.

Telah diceritakan betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan. Kemudian, di dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat.

Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, akan tetapi Ciang Su Kiat menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu. Akan tetapi, keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok.

Dua orang itu dapat hidup di tebing jurang, didalam sebuah guha dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu. Juga mereka terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil, akan tetapi makanan ini bahkan membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena makanan aneh selama sepuluh tahun ini, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga!

Setelah memperoleh ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang amat curam. Mereka telah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat telah berusia empat puluh empat tahun sedangkan Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan keringat berbau harum.

Tentu saja mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo dan mulailah mereka mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Mereka berhasil dan berkali-kali mereka menyerang Lam-hai Giam-lo, bahkan hampir berhasil membunuhnya, kalau iblis itu tidak cepat melarikan diri. Lam-hai Giam-Io ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu sehingga dia mencukur gundul rambut kepalanya dan menyamar menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai.

Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui di bagian depan cerita ini, dan kedua orang itu kehilangan musuhnya. Setelah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu menghentikan pencarian mereka.

"Sudahlah, kita tidak perlu mencari lebih jauh." kata Su Kiat kepada Hui Lian. "Dia tentu bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai, tak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia kembali muncul di dunia ramai. Kita tentu akan dapat mendengar akan sepak terjangnya dan belum terlambat kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang."

"Baiklah, Suheng. Lalu kita akan pergi kemana sekarang?" tanya Hui Lian.

Semenjak sama-sama mempelajari kitab-kitab yang mereka temukan di dalam guha di tebing yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian agar gadis ini tidak lagi menganggapnya sebagai guru. Mereka berdua secara kebetulan telah menerima peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng dan sumoi.

Mula-mula Hui Lian tidak setuju karena ia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat. Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, menurut dan demikianlah, mereka belajar bersama dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan.

Memang ada keanehan dalam hubungan antara mereka. Walaupun di tempat terasing itu Hui Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu dapat menguasai dirinya dan tidak sampai mempunyai keinginan yang bukan-bukan terhadap gadis itu. Biarpun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik seperguruan, namun Su Kiat memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri, dan didalam hatinya hanya terdapat kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang ayah terhadap anaknya. Pandangan ini yang menjauhkan nafsu berahinya, walaupun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya pikat yang amat kuat.

Ketika Hui Lian bertanya kemana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia memang hidup sebatang kara. Ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah hidup sebatang kara, tanpa keluarga. Juga gadis yang menjadi sumoinya itu hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, telah terbasmi habis ketika terjadi pemberontakan.

Gubernur Kok dan keluarganya telah habis. Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu. Akan tetapi, diapun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa, yang sudah sepantasnya kalau dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat.






"Sumoi, kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita. Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, mempunyai rumah dan sawah yang memadai ….”

“Akan tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng? Tidakkah sebaiknya kalau kita tinggal di sebuah kota dimana kita dapat bekerja, misalnya membuka perguruan silat?"

Su Kiat mengangguk-angguk. Memang tidak keliru pendapat sumoinya itu. Bagaimana dia dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah? Dia tidak memiliki modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat.

Akhirnya mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling, di luar kota Kong-goan, untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk pengangkutan rempa-rempa dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar.

Mereka membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, membangun sebuah pondok sederhana. Setelah mempunyai rumah tinggal, barulah Su Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan.

"Suheng, apakah tidak ada pikiran padamu untuk pergi mengunjungi Cin-ling-pai?" Sepasang mata yang bening tajam itu menatap wajah suhengnya. "Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?"

Su Kiat menarik napas panjang. Pertanyaan sumoinya itu mengingatkan dia akan masa mudanya di Cin-ling-pai dan tanpa disengaja dia melirik ke arah lengan kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia sendiri yang membuntungi lengan kirinya, walaupun dia didesak oleh Ketua Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu.

Dia sudah keluar dari Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana? Dia tahu bahwa sumoinya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah mendengar ceritanya tentang sebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoinya membentak, tidak patut menjadi ketua perkumpulan orang yang mengaku pendekar gagah perkasa!

Dia menggeleng kepala dan memandang wajah sumoinya.
"Tidak, Sumoi. Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara aku dan Cin-ling-pai. Untuk apa aku berkunjung ke sana? Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka."

Pada suatu hari, pergilah mereka berdua memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota Kong-goan terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh dari dalam Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat kota ini menjadi semakin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu.

Karena belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang hendak membuka perguruan silat, Su Kiat mengajak sumoinya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang ramai.

Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lalu memilih tempat di sudut dimana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan huruf-huruf besar.

KAMI MEMBUKA PERGURUAN SILAt DI
DUSUN HEK-BUN, DENGAN BIAYA PANTAS
DAN ANDA DAPAt BELAJAR ILMU BELA
DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI
SILAKAN MENDAFTARKAN DISINI.
CIA-LING BU-KOAN.

Sebentar saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan Hui Lian!

"Eh, apakah gurunya berlengan buntung itu?"

"Wah, mana mungkin melatih silat dengan baik?"

"Kalau Si Cantik itu yang menjadi guru, akan kubayar berapa mahalpun!"

"Cia-ling-bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?"

Bermacam-macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik. Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya ke depan dada.

"Cu-wi yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin bekerja mencari nafkah dan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami mengambil nama Cia-ling Bu-koan karena dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Kalau diantara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami mencari nafkah secara halal, silakan mendaftarkan disini!"

"Akan tetapi bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan seorang diantara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak orang.

Su Kiat tersenyum dan mengagguk.
"Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau Cu-wi kurang percaya kepada kami karena memang kita belum berkenalan. Baru satu bulan kami tinggal di dalam dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar untuk memperkenalkan diri kepada mereka!"

Hui Lian mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan memberi ruangan untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi tontonan yang paling mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apalagi kalau dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya.

Mereka menduga bahwa ilmu silat kedua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang bukan ahli benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang besar dan kuat, dan biarpun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu.

Akan tetapi ada pula diantara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apalagi dilatih silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang!

"Haiiiittt …..!"

Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suhengnya bahwa ia mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah kepala, yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari tangan terbuka.

Akan tetapi, dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini, dua orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi itu saling serang dengan sungguh-sungguh!

Mereka sudah sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dahulu oleh kedua pesilat. Akan tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan demikian cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan Si Buntung itu, biarpun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan bahkan menotok!

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar