*

*

Ads

Selasa, 08 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 102

Demonstrasi itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya memang memlliki gerakan yang cepat, dan ilmu silat merekapun aneh. Tidak seorangpun diantara para penonton, baik yang sudah pernah belajar silat sekalipun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka.

"Hyaatt!"

Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan diapun menghujamkan serangan kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah di leher dan pundak, tangan kanannya mencengkeram kearah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan bertubi-tubi.

Gadis itu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan harus terus-menerus berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan dirinya dari hujan serangan itu. Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.

"Berhenti…..!!!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Hul Lian dan Su Kiat cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat munculnya serombongan orang dan merekapun nampak jerih, lalu mundur menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang tadi membentak.

Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang. Rombongan itu terdiri dari delapan orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar. Para penonton sudah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam) itu, sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang paling berpengaruh.

Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang paling tinggi dan mahal. Bahkan perguruan lain, setiap bulan mengirim hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan paling tua dan paling lihai.

Tentu saja tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru disitu, tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya ditakuti dan disegani orang, apalagi murid dari golongan yang sudah tinggi tingkatnya, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau hitam di dada mereka!

Kini delapan orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang walaupun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentulah bukan orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang.

"Toako, Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tidak memandang kepada kita!" kata seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

"Toako, Nona ini sungguh mulus!” kata orang kedua yang berperut gendut dan mukanya menyeringai kurang ajar.

Raksasa muka hitam yang disebut Toako itu melangkah maju, melotot kepada Su Kiat. Betapapun marahnya, dia tidak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat seorang.

"Heh, buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras dan memandang rendah.

Wajah Hui Lian berubah merah dan kalau saja suhengnya tidak berkedip kepadanya, tentu ia sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suhengnya itu. Akan tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoinya ingin mencari nafkah di kota itu, tidak menguntungkan kalau dihari pertama sudah harus bermusuhan dengan orang lain. Maka diapun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam itu, dan dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya

Namaku Ciang Su Kiat dan ia adalah sumoiku bernama Kok Hui Lian. Kami baru kurang lebih sebulan tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan ini di tepi Sungai Cia-ling." Dan diapun balas bertanya, "Siapakah Si-cu dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?"

"Orang she Ciang yang sombong! Siapa memberi ijin kepadamu untuk membuka perguruan silat? Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!"

"Eh? Maaf, peraturan apakah yang kulanggar? Apa kesalahanku dengan rencana membuka perguruan silat?".






"Engkau melakukan dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan semua perguruan silat harus mendapatkan restu kami. Akan tetapi engkau berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan kedua, engkau telah berani melakukan penipuan di kota kami!"

"Penipuan? Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu adanya peraturan seperti itu. Dan hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk minta persetujuan. Akan tetapi penipuan? Aku tidak merasa menipu siapapun juga."

“Sombong! Engkau ini berlengan buntung, mana mungkin akan dapat mengajar silat dengan baik? Bukankah itu artinya kalian mengelabuhi dan menipu para peminat, hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?"

"Toako, hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata laki-laki berperut gendut dan diapun melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian.

Di atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang berminat. Kini tinta dan kertas terlempar dan berserakan, meja itupun ringsek. Delapan orang itu tertawa.

Bukan main marahnya Hui Lian. Ia tidak mampu menahan dirinya lagi dan iapun cepat meloncat di depan suhengnya.

"Suheng, aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biar aku mewakili Suheng menghadapi tikus-tikus busuk ini!"

Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, tangannya menuding ke arah muka yang hitam itu.

"Kamu ini manusia ataukah iblis? Menjadi harimau hitampun tidak patut karena harimaupun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa kesalahan kami? Untuk membuka perguruan silat, tidak perlu minta persetujuan binatang macam kamu, dan kalau kami melanjutkan usaha kami, kamu mau apa? Majulah kalau ingin mengenal kelihaian nonamu!"

Si Perut Gendut sudah melangkah maju.
"Toako, tahan kemarahanmu. Serahkan kuda betina liar ini kepadaku saja. Aku akan menangkapnya, barulah engkau menghajar Si Buntung itu!"

Tanpa menanti jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia menyerang, dia menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis itu! Serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui Lian.

"Sumoi, jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga marah melihat serangan yang kurang ajar itu.

"Plak! Plak!"

Kedua tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu, yang tentu saja menjadi girang dan segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja. Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan.

"Wah, untung besar Si Gendut kali ini!”

“Wah, main remas jari tangan!"

“Halusnya!”

“Hangatnya, heh-heh!"

Si Perut Gendut yang mencengkeram tangan Hui Llan, berusaha menarik gadis itu untuk mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali dan seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya.

Kiranya, jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja dan panas seperti api membara! Biarpun jari-jari tangannya lebih panjang dan besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu pisau! Jari tangan Hui Lian yang mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk!

"Aduhh... aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhh …..!"

Si Gendut mnenjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia berjongkok dan kedua lengannya bergantung. Hui Lian mendengus jijik dan kakinya menendang sambil membentak.

"Anjing buduk, pergilah!"

"Bukk!"

Kaki itu menendang perut yang gendut dan ia melepaskan cengkeramannya. Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih dengan bingung, menggunakan kedua tangan yang remuk tulang-tulang jarinya itu untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali. Agaknya usus buntunya yang kena tendangan yang cukup keras itu.

Gegerlah semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu. Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri. Walaupun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, namun mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati dan saling pandang dengan senyum dikulum.

Sebaliknya, tujuh orang teman Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah, terutama Si Raksasa muka hitam yang menjadi saudara tertua diantara mereka dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling kuat.

"Perempuan jahat, berani engkau memukul orang?” bentak Si Raksasa muka hitam.

"Huh, matamu kamu taruh dimana? Jelas dia yang memukul orang, bukan aku. Kalau kamu ingin memukulku juga, boleh. Majulah!"

“Perempuan sombong, engkau belum merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan? Nah, sambutlah!"

Teriak Si Muka Hitam dan diapun mengirim pukulan dengan tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat.

Melihat Si Raksasa ini tidak menyerang dengan ganas, hanya menampar pundak, tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tidak bertindak kejam. Ia mengelak dengan mudah saja, kakinya menotok ke depan dan tubuh Si Raksasa itupun terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya!

Kembali suasana menjadi geger. Gadis itu telah merobohkan toako mereka dalam segebrakan saja! Dan para penonton juga gempar, dan sekali ini biarpun tidak bersorak, namun ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan mudah gadis itu.

Enam orang murid Hek-houw Bu-koan menjadi marah sekali. Pemimpin mereka dirobohkan seorang gadis sedemikian mudahnya, hal ini merupakan penghinaan bagi mereka.

"Bunuh siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke depan dengan golok tipis di tangan.

Melihat berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tidak ada artinya bagi sumoinya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benarlah. Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, mempergunakan golok, Hui Lian tersenyum mengejek.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar