*

*

Ads

Senin, 07 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 100

Hay Hay bernapas lega. Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada benda bergerak yang rnenyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang mulai mengganggunya dari bawah! Dan dia tidak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggauta tubuhnya yang terpendam digerogoti? Ihh, dia merasa ngeri dan kalau menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali melompat keluar dari pendaman pasir itu.

Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri. Memang ini merupakan ujian, pikirnya. Kini dia tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (samadhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu memang sengaja menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang semakin berat! Dan dia harus mampu mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapapun berat derita dan siksa yang dirasakannya.

Maka, dia lalu mengerahkan sinkangnya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Ini menolong. Biarpun masih ada gigitan-gigitan, karena tubuhnya sudah dilindungi sinkang panas dan kekebalan, yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.

Menjelang pagi, terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka, kalau yang datang itu anjing liar atau srigala! Dan cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu! Jantungnya berdebar tegang. Tak mungkin dia mempergunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus semalam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan!

Lima ekor arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memperlihatkan gigi mereka yang besar dan runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik, dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau mempergunakan akal? Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya!

Lima ekor anjing itu agaknya merasa ragu-ragu dan agak takut melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apak, amis dan busuk.

Namun dia tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apabila anjing-anjing itu menyerang. Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja seekor diantara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu.

Biarpun kepalanya tidak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.

"Cukkk!"

Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu dengan keras sekali. Annjing itu menguik keras dan terpelanting, lalu berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu, anjing ke dua menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.

“Desss ….!"

Anjing inipun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya.

Dua ekor anjing inipun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang kembali bertemu dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras. Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan dan merekapun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandang mata Hay Hay yang berseri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini sungguh menegangkan dan lebih berbahaya daripada latihan pertama di dalam air itu.

Pada keesokan harinya, tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir dan dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat.






Namun Hay Hay mampu bertahan dan dia bahkan tak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya. Malam itupun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehabisan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa menyerangnya! Dan pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya.

"Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."

Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walaupun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhunya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Diapun cepat menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan telanjang bulat itu di depan suhunya.

"Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku."

Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke guha dan mengenakan pakaiannya, kemudian mencari buah-buah untuk dia dan gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh-aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sesungguhnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur.

Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan kedua kaki terikat dan bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Karena peredaran darah tidak seperti biasanya, banyak darah mengalir dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan.

Namun Hay Hay amat teguh dan berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya : "Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!"

Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersamadhi di dalam kegelapan. Di dalam guha terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan di bawah tanah yang amat gelap. Tidak ada sedikitpun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam. Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersamadhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh diantara kalimat yang pernah diajarkan kepadanya. "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening…!"

Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tidak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggauta tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apapun. Namun anehnya, pikirannya menjadi makin liar dalam keadaan tanpa gerak itu, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar.

Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang pergi dengan cepatnya, teringat dia akan pengalamannya diwaktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang laki-laki menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan berahi ke dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan.

Terbayang segala yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu berahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan. Kemudian, yang paling hebat dan berat dari segala godaan, di dalam kehitaman itu tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Segala kecantikan wanita yang dapat digambarkan otaknya dimillki wanita ini! Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita.

Ia menghampiri Hay Hay, membelai dan merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang amat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.

"Kosong hampa hening... kosong hampa hening ….!" hanya tiga kata ini yang dapat teringat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dengan seluruh perhatiannya dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu.

Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seolah-olah baru saja dia mempergunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik kalau teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan munculnya seorang laki-laki yang gila. Dia tentu akan menjadi gila kalau tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang diajarkan suhunya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening….!”

Memang, kini dapat dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu adalah hasil darl pada pendapat pikiran sendiri, disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan dan keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalaupun ada maka kita sendirilah yang mengadakan.

Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikannya itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran, kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sesungguhnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanyalah permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Kalau pikiran tidak mengada-ada, maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi!

Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Namun semua itu, bahkan yang terberat sekalipun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik. Setelah bertapa di tempat gelap, diapun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki orang itu.

Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay dan mengangguk-angguk.

"Bagaimana, Hay Hay? Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai seorang yang gila?" akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang-kadang parau, kadang-kadang halus lembut penuh wibawa.

Hay Hay mengangkat mukanya memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah mengira bahwa kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Kini, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tidak lagi beranggapan demikian. Sebaliknya malah dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang sudah bersatu dengan alam tidak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila.

"Teecu telah menerima petunjuk-petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu dapat mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri."

"Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."

"Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan mengharapkan petunjuk selanjutnya."

"Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kau ingat lagi kepadaku."

"Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang telah melimpahkan kasih sayang kepada teecu?"

"Ha-ha-ha, aku tidak memberi sesuatu dan engkaupun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bernama Hay Hay yang tekun dan tahan uji. Nah, selanjutnya, tentukanlah langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru disana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah guha. Belasan tahun aku pernah bertapa disana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!" Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap.

Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhunya.

Tak lama kemudian diapun bangkit dan meninggalkan bukit itu, menuju ke gunung yang nampak biru, disebelah selatan bukit itu. Ada sesuatu didalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu.

Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantap, tanpa ragu-ragu, dan senyum di mulutnya itu kini nampak penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan.

Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apapun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.

**** 100 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar