*

*

Ads

Senin, 07 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 099

Keindahan tinggal membuka mata memandang, menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium, menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar.

Betapa bahagianya hidup ini. Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Namun, mengapa kita tidak dapat melihatnya? Mengapa kita tidak mau menikmatinya? Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tiada hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sesungguhnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka?

Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, namun cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak didepan, hanya kurang lebih sepuluh meter didepan sana. Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju kearah dirinya. Buaya! Apalagi kalau bukan buaya? Dan memang nampak sekarang garis bentuh tubuh buaya itu, dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya.

Kalau dia berada didarat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, selain mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada diatas tanah, walaupun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air? Wah, dia tidak berani!

Dengan jantung berdebar saking tegang dan takut, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apapun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu. Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat kedarat dan menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu!

Dan dia memilih yang pertama. Kalau memang buaya itu akan menyerangku, sampai bagaimanapun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikian tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus diingatnya selalu.

“Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!”

Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. Ada datang dari Tiada! Dan..... setelah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir dia tertawa bergelak mentertawakan diri sendiri.

Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi dahinya, padahal hawanya sangat dingin. Kiranya benda yang disangkanya buaya tadi memang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya, ternyata kini bahwa benda itu hanyalah sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut disungai itu!

Bukan hanya “buaya” itu yang nampak malam itu oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh dan lintah-lintah besar yang merubung dan mengancamnya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting. Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya!

Menjelang pagi, tiba-tiba nampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri diatas batu tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu sudah berada disitu, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu, Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itupun lenyap.

Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin didalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh. Diapun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putar diseluruh tubuhnya, mendatangkan rasa nyaman sekali dan hampir saja membuat dia pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan pencurahan perhatian pada kalimat yang harus dihafalnya, membuat kantukpun lenyap.

Pada keesokan harinya, muncullah Kakek Song.
“Bagus, engkau dapat menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dari situ dan kenakan pakaianmu.”

Bukan main lega rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia memperoleh latihan seaneh ini. Akan tetapi latihan pertama yang berlangsung dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang takkan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan juga menegangkan, dimana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal dan penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.






“Terima kasih, Suhu!” katanya dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila diatas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walaupun perutnya kembali terasa lapar.

Dengan cepat Hay Hay lalu mengenakan pakaian dari buntalan yang sudah dibawa kesitu oleh Kakek Song.

“Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti, engkau harus melakukan latihan kedua yang lebih berat. Datang saja kedalam guha dimana aku tinggal, ditengah hutan ini, tak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!”

Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap. Hay Hay tidak mau mengejar walaupun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejarpun percuma saja. Maka diapun lalu memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur diatas pohon besar. Dia tidak berani tidur dibawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur, dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun.

Hay Hay tidur pulas sekali. Terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, diapun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari guha itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa dimana kemarin dulu dia bertemu suhunya. Kakek itu nampak duduk bersila di mulut guha. Guha itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.

"Engkau sudah siap? Tinggalkan buntalan pakaianmu dalam guha dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"

Hay Hay mengerutkan alisnya. Celaka, agaknya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa dalam air, maka bertelanjangpun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang? Apakah dia disuruh berendam didalam air lagi? Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini, Hay Hay tak merasa canggung.

Kakek ini membawanya ke lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon.

"Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat lain. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!"

Kembali Hay Hay merasakan keanehan kalimat ini. Mudah dimengerti dan amat sederhana, apalagi kalimat sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, mengapa harus diuji dulu? Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan lantang,

"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!"

"Bagus, sekarang kau galilah lubang didalam pasir kemudian duduk bersila di dalam lubang dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanya kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!"

Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula. Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Kenapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini? Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila?

Biarpun pikirannya kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila dan menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.

Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia mampu berkonsentrasi mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian mulailah dia merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan diapun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.

"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!"

Tentu saja, karena perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak macam "yang ter" lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri.

Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali.

Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan, "yang merasa dirinya bodoh adalah waspada." Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang waspada.

Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang akan membuatnya tolol!

"Merasa" dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.

Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya.

Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengarkan pendapat dari buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau belajar setiap saat!

Hay Hay menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi. Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, akan tetapi tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung.

Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada didekat kepalanya! Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana kalau tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggauta badan itu!

Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apak menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya

“Phuhhhhh …!"

Hay Hay menggunakan sinkangnya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.

"Amaaaann ….!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar