*

*

Ads

Rabu, 08 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 108

Setengah tahun kurang lebih lewat dengan cepatnya semenjak Hok Seng tinggal di Kim-ke-kok menjadi murid ayah ibu Bi Lian. Bukan saja kedua orang gurunya semakin suka kepadanya, bahkan hubungannya dengan Bi Lian menjadi semakin akrab, dan gadis itu mulai percaya akan segala kebaikan yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada suatu sore, mereka latihan bersama di lian-bu-thia. Keduanya berlatih ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu baru yang diciptakan Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Mengagumkan sekali melihat dua orang muda itu berlatih silat. Yang pria tinggi tegap, tampan dan gagah, memiliki gerakan yang mantap bertenaga, sedangkan wanitanya cantik jelita dan memiliki gerakan lincah. Dan dari latihan ini saja dapat diketahui bahwa Hok Seng telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Bahkan dalam latihan ilmu silat Kim-ke Sin-kun ini, dia sama sekali tidak terdesak oleh sumoinya! Juga dalam hal tenaga sin-kang, dia telah memperoleh kemajuan dan kini tenaganya menjadi amat kuat, walaupun dibanding Bi Lian tentu saja dia masih kalah.

Setetah selesai latihan, mereka beristirahat di luar lian-bu-thia, berjalan-jalan di taman bunga sambil menghapus keringat dengan kain. Lalu keduanya duduk berhadapan di dekat kolam ikan, di atas bangku batu.

"Aih, sumoi. Sampai kapanpun aku tidak akan mungkin mampu menandingimu. Gerakanmu demikian matang, tenagamu juga kuat sekali dan engkau dapat bergerak secepat burung walet."

Hok Seng memuji sambil menatap wajah sumoinya dengan sinar mata kagum. Bi Lian sudah biasa dengan tatapan mata kagum ini, akan tetapi karena ia tidak melihat adanya pandang mata yang kurang ajar, maka iapun selalu bahkan merasa bangga dan gembira kalau suhengnya memandang seperti itu.

Andaikata Hok Seng tidak pandai menahan diri dan pandang matanya mengandung pencerminan keadaan hatinya yang penuh berahi, tentu Bi Lian dapat melihat dan merasakannya dan tentu ia akan merasa tidak senang bahkan marah sekali.

"Suheng, jangan khawatir. Kulihat engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kalau engkau tekun berlatih, terutama sekali menghimpun sin-kang seperti diajarkan ayah, aku percaya kelak engkau akan mampu menyusulku."

Hok Seng menghela napas panjang dan wajahnya yang tampan nampak termenung, diliputi mendung. Melihat ini, Bi Lian merasa heran. Belum pernah selama ini ia melihat suhengnya bermuram seperti itu.

"Suheng, engkau kenapakah? Apa yang kau pikirkan?"

Kembali Hok Seng menarik napas panjang.
"Ah, sumoi, betapa inginku memiliki ilmu kepandaian seperti engkau agar tidak ada lagi orang berani menghinaku dan menjatuhkan fitnah kepadaku seperti yang pernah kualami."

"Suheng, aku pernah mendengar ibuku berkata bahwa engkau pernah menjadi seorang perwira di istana akan tetapi difitnah orang dan kehilangan kedudukanmu. Benarkah itu. Ceritakanlah kepadaku, suheng. Aku ingin mendengarnya."

"Memang benar demikian, sumoi. Dengan susah payah aku merintis dan berusaha dengan tekun sehingga dari seorang perajurit pengawal aku berhasil menduduki jabatan perwira, dipercaya oleh istana. Akan tetapi, terjadi pencurian perhiasan milik seorang puteri istana dan si pencuri menyembunyikan peti perhiasan itu di bawah pembaringan dalam kamarku. Jelas aku difitnah. Karena itu, aku tekun berlatih silat agar memperoleh kepandaian yang cukup untuk melakukan penyelidikan."

"Engkau hendak membalas dendam?"

"Tidak, hanya aku akan membongkar rahasia pencurian itu sehingga yang salah akan dihukum, dan aku dapat membersihkan nama baikku."

"Kenapa kalau engkau mengetahui bahwa engkau difitnah, dahulu engkau tidak mengambil tindakan, suheng?"

Hok Seng menggeleng kepala dengan sedih dan terbayanglah di dalam ingatannya penghinaan yang terjadi atas dirinya ketika dia ditangkap dan diseret ke kota raja oleh penangkapnya itu.

"Aku difitnah oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sumoi. Ketika itupun aku sudah melawan, namun aku sama sekali tidak berdaya menghadapi orang yang lihai itu. Dan sekarang, menurut penyelidikanku sebelum aku tinggal disini, orang yang melakukan fitnah itu telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai imbalan jasanya karena menangkap aku sebagai pencurinya! Kalau aku sudah memiliki kepandaian cukup, aku akan membongkar rahasianya itu, sumoi. Sebelum kepandaianku cukup, tidak akan ada artinya, bahkan aku mungkin akan ditangkap kembali sebagai seorang pelarian. Dia amat lihai, sumoi."






Hati Bi Lian tertarik. Ada perasaan setiakawan terhadap suhengnya yang difitnah orang itu. Juga perasaan marah dan penasaran. Orang yang melakukan fitnah itu jelas orang yang berhati kejam dan jahat, pikirnya.

"Suheng, siapa sih orang yang melakukan fitnah terhadap dirimu itu?"

"Menurut penyelidikanku, namanya Tang Bun An."

Berkerut alis Bi Lian mendengar she (nama keluarga) Tang itu. Teringat ia akan Hay Hay yang juga she Tang. Ang-hong-cu Si Kumbang Merah yang menjadi ayah kandung Hay Hay itu, penjahat cabul yang amat jahat, juga she Tang.

Akan tetapi ia menyimpan perasaan kaget itu di dalam hatinya saja. Ia tidak ingin suhengnya mendengar tentang Ang-hong-cu, tidak ingin orang lain mendengar bahwa adik kandung suhengnya yang juga pernah ditunangkan dengannya pernah menjadi korban kecabulan Ang-hong-cu.

Pek Eng, adik Pek Han Siong itu, kini telah menjadi isteri Song Bun Hok putera ketua Kang-jiu-pang. Juga seorang pendekar wanita lain, Cia ling, masih keluarga dekat Cin-ling-pai, menjadi korban Ang-hong-cu itu, akan tetapi kini Cia Ling juga sudah menjadi isteri Can Sun Hok. Kalau ia bercerita tentang Ang-hong-cu, tentu sukar baginya untuk tidak menceritakan kedua orang pendekar wanita itu dan ia tidak ingin melakukan hal ini.

Peristiwa aib yang menimpa mereka itu harus dikubur dan dilupakan. Karena itulah, Bi Lian tidak mau memperlihatkan kekagetannya mendengar bahwa musuh Hok Seng seorang she Tang yang mengingatkan ia kepada Si Kumbang Merah Ang-hong-cu.

"Tang Bun An? Hemmm, orang macam apakah dia dan sampai dimana kelihaiannya?".

"Usianya sekitar lima puluh tahun lebih. Dia nampak tampan dan gagah, dan tentang ilmu silatnya, aku tidak dapat mengukur berapa tingginya, akan tetapi dahulu aku seperti seorang anak kecil yang lemah ketika melawannya. Dalam segebrakan saja aku sudah roboh."

"Apakah dia memelihara kumis dan jenggot yang rapi, matanya tajam mencorong dan mulutnya selalu tersenyum?" tanyanya.

Ia teringat akan Ang-hong-cu yang pernah muncul dengan nama Han Lojin. Han Lojin yang kemudian ternyata Ang-hong-cu itu juga berusia lima puluh tahun lebih, tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi.

"Dia memang bermata tajam dan sikapnya ramah, akan tetapi mukanya halus bersih, tidak berkumis maupun berjenggot. Mengapa engkau bertanya demikian, sumoi?"

"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, kenapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja dan membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, lebih baik, bukan?"

"Mana mungkin, sumoi? Aku merasa belum mampu menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum aku yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."

“Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap."

Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoinya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoinya ini hebat, memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu.

"Akan tetapi, aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, sumoi."

"Itu mudah saja, suheng. Engkau masuk dengan menyamar, menyelundup. Kemudian diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?"

"Akan tetapi hati-hati, sumoi. Dia itu selain lihai juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!"

"Jangan khawatir, suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya."

Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dan menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah dan akan membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar, kedua orang suami isteri itu sebetulnya merasa tidak setuju. Akan tetapi, mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka merekapun memberi persetujuan mereka.

"Akan tetapi engkau tentu ingat akan pengakuanmu dahulu, Hok Seng, bahwa engkau tidak menaruh dendam kepada orang yang melempar fitnah kepadamu!" kata Siangkoan Ci Kang.

"Dan kalian jangan sampai menimbulkan keributan di kota raja, apalagi menentang petugas pemerintah." pesan pula Toan Hui Cu.

"Harap suhu dan subo tenangkan hati," Jawab Hok Seng tenang. "Teecu bukan mendendam, melainkan karena dorongan sumoi, teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apalagi karena teecu masih menjadi seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali."

Tentu saja di dalam hatinya, pemuda ini sama sekali bukan bermaksud "membersihkan nama" karena bagaimanapun juga, namanya yang asli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi? Yang jelas, dia mendendam kepada Tang Bun An yang kini menurut penyelidikannya telah menjadi seorang perwira tinggi, kedudukannya yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya karena telah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menghadapkan dia sebagai pembawa pergi selir itu.

Dan dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak perduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian kalau memungkinkan keadaannya, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya!

**** 108 ****
Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar