*

*

Ads

Rabu, 08 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 107

Biarpun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya amat sopan, baik dan nampaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlalu rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tidak terlalu lama dia tentu akan memperoleh kemajuan pesat.

"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan setelah engkau tinggal beberapa hari disini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka tentu kamipun tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.

"Orang muda, apakah selain yatim piatu, engkau tidak mempunyai seorangpun anggauta keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan."

Pertanyaan ini sambil lalu dan tidak kentara, namun Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam diapun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi mantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!

"Saya hidup sebatang kara, bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."

Mendengar ini, kembali suami isteri itu saling pandang dan mereka sungguh mengharapkan sekali ini puteri mereka akan menemukan jodohnya. Atas pertanyaan kedua orang itu, Tan Hok Seng lalu menceritakan pengalamannya, sampai dia difitnah dan selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, dia bahkan dihukum buang oleh pemerintah.

"Sejak kecil saya kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak memiliki kepandaian, saya sejak kecil bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari manapun. Setelah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan dan kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."

Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng ini memang seorang pemuda yang penuh semangat.

"Kemudian, bagaiaman tentang fitnah itu?" tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik.

Hok Seng menghela napas panjang.
"Itulah, suhu....." Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut suhu (guru), "maafkan teecu (murid)...."

Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk,
"Tidak mengapa, boleh engkau menyebut guru kepadaku."

Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan main dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut "Suhu" dan "Subo".

Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Memang mereka tidak ragu lagi, dan tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang ditolak oleh puteri mereka.

"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, dan lanjutkan ceritamu kepada kami," kata Siangkoan Ci Kahg.

"Suhu, agaknya kemajuan dan keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena ada diantara mereka yang sudah bertahun-tahun menjadi perajurit pengawal tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari, istana ribut-ribut karena kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan dalam kamar teecu!"

"Hemm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?" tanya Toan Hui Cu sambil memandang tajam.

"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Pula, bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri. Itu jelas fitnah."






"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?" Siangkoan Ci Kang bertanya.

"Itulah yang mencelakakan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu dapat berada di dalam kamar teecu, tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak dapat banyak membela diri. Teecu dijatuhi hukuman buang, karena Sribaginda Kaisar mengingat akan jasa-jasa teecu sehingga teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncul seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."

"Ah, kalau orang benar ada saja penolong datang." kata Toan Hui Cu dengan girang.

Akan tetapi Siangkoan Ci Kang mengerutkan alisnya dan bertanya kepada pemuda itu. "Tahukah engkau siapa yang melakukan fitnah sekeji itu kepadamu?"

"Teccu dapat menduga orangnya, akan tetapi tidak ada buktinya. Yang meyakinkan hati teecu adalah karena setelah teecu dihukum, dia mendapat kedudukan, menggantikan teecu."

"Dan engkau mendendam kepada orang itu?" kembali Siangkoan Ci Kang bertanya, suaranya tegas dan pandang matanya mencorong dan penuh selidik menatap wajah pemuda itu.

Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia banyak membaca dan tahu bagaimana watak para pendekar. Seorang pendekar sejati tidak mudah dikuasai nafsu, demikian dia membaca. Seorang pendekar sejati tidak membiarkan nafsu dan dendam kebencian meracuni hatinya. Maka, mendengar pertanyaan itu, dengan tegas dan mantap diapun menjawab,

"Sama sekali tidak, suhu! Teecu tidak mendendam, hanya kelak kalau ada kesempatan dan kalau kepandaian teecu memungkinkan, teecu ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang mencuri peti perhiasan lalu menyembunyikan di dalam kamar teecu itu."

"Hemm, apa bedanya itu dengan mendendam? Dan kalau engkau berhasil menemukan orangnya, lalu apa yang akan kau lakukan?"

Kalau saja Tan Hok Seng bukan seorang pemuda cerdik dan hanya menuruti panasnya hati saja, kemudian menjawab bahwa dia akan membunuh orang itu, tentu suami isteri itu akan kecewa dan belum tentu mereka dapat menerimanya dengan hati bulat. Akan tetapi Hok Seng tahu apa yang harus menjadi jawabannya.

"Teecu akan melaporkan ke pengadilan agar ditangkap dan hal itu dapat membersihkan nama teecu yang telah difitnah."

Jawaban ini melegakan hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan untuk menjenguk isi hati calon murid ini, Siangkoan Ci Kang bertanya lagi,

"Kalau namamu sudah bersih, engkau menginginkan kembali jabatan dan kedudukan itu?"

"Tidak sama sekali, suhu. Teecu sudah bosan dengan kedudukan itu karena disana terjadi banyak kebusukan. Persaingan, fitnah, sogok-menyogok, kecurangan dan pementingan diri sendiri. Hampir semua pejabat hanya memikirkan bagaimana untuk mendapat untung sebanyaknya. Teecu sudah muak dengan semua keadaan itu."

Bukan main girang hati suami isteri itu.
"Baiklah, Hok Seng. Mulai hari ini, engkau menjadi murid kami dan kami mengharap engkau menjadi murid yang baik. Untuk mengetahui dasar yang ada padamu, cobalah engkau mainkan semua ilmu silat yang pernah kau pelajari."

Mereka pergi ke lian-bu-thia dan belum lama mereka memasuki ruangan berlatih silat ini, Bi Lian menyusul mereka. Gadis ini merasa heran melihat betapa tamu itu diajak masuk ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) oleh ayah ibunya.

Ketika ia bertanya, ia merasa semakin heran mendengar penjelasan ibunya,
"Bi Lian, Tan Hok Seng ini kami terima menjadi murid kami. Mulai sekarang, dia adalah sutemu, akan tetapi engkau boleh menyebut suheng (kakak seperguruan) karena dia tebih tua darimu. Dan Hok Seng, engkau boleh menyebut sumoi (adik seperguruan) kepada puteri kami Siangkoan Bi Lian ini."

"Sumoi......!"

Hok Seng cepat mengangkat kedua tangan di depan dada menyalam gadis itu. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda itu menghormatinya, bahkan tidak segan memberi hormat lebih dahulu walaupun dia mendapatkan kehormatan untuk menjadi saudara tua.

Diam-diam Bi Lian tidak puas. Bagaimanapun juga, pemuda itu baru saja menjadi murid ayah ibunya, dan dalam ilmu silat, jauh berada di bawah tingkatnya, mana pantas menjadi suhengnya? Akan tetapi tidak enak juga kalau disebut su-ci (kakak seperguruan) oleh seorang pemuda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Hal itu akan mendatangkan perasaan cepat tua dalam hatinya. Maka iapun tidak membantah dan ia membalas penghormatan Hok Seng sambil berkata lirih.

"Selamat menjadi murid ayah dan ibu, suheng."

Demikianlah, sejak hari itu, Tan Hok Seng menerima gemblengan dari kedua orang gurunya setelah mendemonstrasikan seluruh ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Ternyata menurut penilaian Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dasar ilmu silat pemuda ini sudah lumayan. Dia mempelajari bermacam-macam ilmu silat, hanya tenaga dasar sin-kangnya yang kurang. Maka, Siangkoan Ci Kang memberi pelajaran berlatih dan menghimpun tenaga sin-kang, sedangkan Toan Hui Cu mengajarkan silat Kwan Im Sin-kun, bahkan kedua suami isteri itu kemudian mengajarkan ilmu baru mereka Kim-ke Sin-kun.

Tentu saja suami isteri yang selama belasan tahun tinggal sebagai orang hukuman di kuil Siauw-lim-si itu dan kurang pengalaman, sama sekali tidak bermimpi bahwa mereka menerima murid seorang yang seolah-olah harimau berbulu domba! Tan Hok Seng bukanlah orang seperti yang mereka duga dan gambarkan!

Mendengar Tan Hok Seng menceritakan riwayatnya, tidak sukar menduga siapa dia sebenarnya. Tan Hok Seng bukan lain hanyalah nama samaran Tang Gun! Telah diceritakan di bagian depan betapa perwira muda istana ini melarikan seorang selir terkasih kaisar. Dia ditangkap oleh Tang Bun An yang hendak mencari jasa dan kedudukan, kemudian diserahkan kepada kaisar!

Tentu saja kaisar marah sekali dan Tang Gun dijatuhi hukuman buang. Dalam perjalanan, dia diselamatkan dan dibebaskan seorang yang lihai sekali dan yang mengenakan kedok, bahkan bukan saja dia dibebaskan, juga dia diberi bekal sekantung uang emas. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa adanya orang berkedok yang membebaskannya itu.

Tang Gun, atau sebaiknya kita kini menyebutnya Tan Hok Seng sebagai nama barunya, tentu saja tidak berani menggunakan nama lama karena betapapun juga dia adalah seorang pelarian dan buronan. Juga, kalau dia memperkenalkan nama lama kepada suami isteri yang menjadi gurunya itu dan kemudian mereka itu mendengar bahwa dia dihukum karena melarikan seorang selir kaisar, tentu kedua orang gurunya itu tidak akan sudi menerimanya sebagai murid. Dan dia mengarang cerita yang tidak begitu menarik perhatian, walaupun yang dia anggap sebagai musuhnya, yaitu yang melakukan "fitnah" adalah orang yang telah menangkapnya itu.

Tan Hok Seng, dengan pengalamannya yang banyak, karena sejak remaja dia sudah merantau dan mengalami banyak penderitaan, dapat membawa diri, dapat bersikap lembut dan sopan sehingga dengan mudahnya dia dapat mengelabui Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Bahkan setelah sebulan lewat dia tinggal dan mempelajari silat di rumah suami isteri pendekar itu, Bi Lian sendiri mulai tertarik dan merasa suka kepada "suheng" itu. Siapapun dalam keluarga itu akan merasa suka kepada Hok Seng. Dia amat rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun dan sejak dia berada di situ, rumah dan pekarangan keluarga itu nampak semakin bersih dan terpelihara baik-baik, Hok Seng bekerja tak mengenal lelah, dan tidak mengenal pekerjaan kasar atau rendah.

Biarpun dia pernah menjadi seorang perwira muda istana yang membuat dia hidup mewah dan terhormat, kini dia tidak segan untuk menyapu pekarangan, membelah kayu bakar, memikul air dan segala pekerjaan kasar lainnya. Dan ketekunannya mempelajari dan melatih ilmu silat membuat suami isteri itu kagum bukan main. Diapun cepat memperoleh kemajuan. Semua sikap yang baik inilah yang mulai menarik perhatian Bi Lian. Dan semakin tebal harapan terkandung dalam hati Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bahwa kelak pemuda itu, akan dapat menjadi mantu mereka!

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar