*

*

Ads

Selasa, 07 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 105

Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah, lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung mulut, dan kedua kaki masih menendang ke arah dada.

Teringatlah Bi Lian akan "jurus" yang dipergunakan ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, dan membuat musang itu lari ketakutan.

"Ihhh....... bagus sekali......!"

Ibunya melempar tubuh ke belakang dan terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah. Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biarpun tadi ia terheran-heran dan juga geli, kini setelah ia mengerti, ia memandang kagum kepada mereka.
"Aih, kiranya ayah dan ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru? Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"

Ayah dan ibunya mengangguk.
"Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan main," kata ibunya. "Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang amat besar. Dan sekali ini, engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia berhasil mengalahkan seekor musang! "

"Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat," sambung ayahnya. "Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku dapat menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."

"Hebat sekali!" seru Bi Lian. "Lalu apa namanya ilmu silat yang ayah ibu cipatakan itu?"

"Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, dan dicampur dengan ilmu silat kami. Kau yang telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."

Mendengar ucapan ayahnya itu, Bi Lian girang sekali dan mulai hari itu juga, iapun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai pula keliaran. Disamping itu, karena ilmu itu dicampur dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung pula kehalusan dan kelembutan, didorong oleh sin-kang (tenaga sakti) yang amat dahsyat

Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekun, juga memperdalam
ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiamsut. Pada suatu pagi ketika ia sedang berlatih di puncak yang sunyi, dimana ia bersama ayah ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya.

Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiamsut. Sebelumnya ia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu.

Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang dan pandang matanya ditujukan ke bawah. Ia melihat seorang penunggang kuda membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali.

Akan tetapi, Bi Lian mengerutkan alisnya. Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya kalau dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Ada bagian berbatu-batu kecil yang licin sekali pada jalan mendaki. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh kalau menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu.

Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu kalau melewati jalan yang berbahaya itu. Sebaiknya kalau ia dapat datang lebih dulu dan memperingatkan penunggang kuda itu. Maka, Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu.

Akan tetapi, kuda itu berlari cepat dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas ketika kuda itu sudah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau ia berteriak memperingatkan juga, karena selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan dan isaratnya.

Maka, iapun hanya memandang saja dengan hati khawatir. Kalau hanya bahaya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja. Akan tetapi, di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan amat dalam. Kalau sampai penunggang kuda itu terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya.






Penunggang kuda itu kini nampak jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya menjadi satu dengan kuda, gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda.

Kini kuda memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, ketika empat kaki kuda itu menginjak batu-batu kecil, kuda itu tergelincir! Agaknya kuda itu telah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan empat kakinya. Akan tetapi, setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kakinya menginjak batu kerikil dan tergelincir pula sehingga akhirnya kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan.

Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, dan pada saat itu, iapun terbelalak kagum melihat penunggang kuda itu tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah Sekali.

Pemuda itu dengan sikap amat tenang menghampiri kudanya yang tidak mampu bangkit kembali. Kuda itu tadi terjatuh lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki, dan baru tubuhnya berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, kalau tidak tentu tubuhnya akan terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu.

Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya mampu menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tidak mampu bangkit. Agaknya dua kaki depannya patah tulang, juga kepalanya terluka dan berdarah.

Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu di punggungnya dan pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu.

"Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!" Tiba-tiba, tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu.

"Prakkk!”

Kuda itu terkulai, tidak lagi nampak kakinya bergerak-gerak. Kemudian, pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang!

Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan diapun melompat keluar dari tempat pengintaiannya.

"Engkau manusia berhati iblis!" bentaknya marah sekali.

Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di depannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati!

"Apa..... ? Mengapa..... ? Aih, nona, kenapa nona marah dan memaki aku? Siapakah nona dan apa kesalahanku maka nona memaki aku berhati iblis?" tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit!

"Manusia busuk! Kau kira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi, engkau bahkan membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Selain kejam, juga engkau telah merusak tempat ini dan aku tak dapat membiarkan saja!"

"Ah, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi marah, nona?" Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum. Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga ketika tersenyum wajah itu memiliki daya tarik yang amat kuat. Akan tetapi, mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali.

"Akan tetapi, nona. Aku tidak merugikan siapapun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah kudaku sendiri, dan kubuang bangkainya di dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, nona?"

"Masih bertanya kenapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu itu, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya kenapa aku marah?"

Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu.
"Ah, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, nona? Kalau begitu, maafkanlah aku, nona. Karena aku tidak mengerti dan......"

"Sudahlah! Engkau seorang kejam dan melihat bahwa engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"

Ditantang begitu, pemuda itu kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walaupun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!

"Nona, aku tidak ingin berkelahi denganmu, bahkan kalau engkau suka, aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Tan Hok Seng dan aku….. "

"Aku tidak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!" Bi Lian sudah siap.

Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu kini tersenyum.
"Nona, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi denganmu. Akan tetapi, mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, nona, aku sama sekali tidak kejam terhadap kuda itu. Aku seorang penyayang kuda, dan kuda itu selama ini menjadi sahabat baikku. Akan tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, kedua kaki depan patah tulang, kepalanya juga retak. Dia tidak ada harapan hidup lagi. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlalu lama? Lebih baik dibunuh untuk mengakhiri penderitaannya."

Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya, ia seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja berpikir panjang dan berpemandangan luas.

Mendengar alasan yang dikemukakan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, ia dapat menerimanya dan ia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang di sayangnya itu. Ia dapat menerima alasan itu dan ia tidak marah.

Akan tetapi diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai dimana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu.

"Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang. Sekarang hanya ada dua pilihan. Engkau ambil bangkai kuda itu dan kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk atau engkau harus menghadapi seranganku!"

Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, lalu menarik napas panjang.

"Nona, bagaimana mungkin menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?" katanya.

Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidak mungkinan ini, maka ia justeru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya!

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar