*

*

Ads

Jumat, 27 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 083

"Nona, kesini. Cepat lari ke arah ini!"

Gadis itu terkejut melihat seorang pemuda menggapai kepadanya. Akan tetapi karena ia maklum bahwa keselamatannya terancam oleh tiga orang pendeta Lama itu, iapun menurut saja, meloncat ke arah pemuda itu berdiri, kemudian mengikuti pemuda itu lari menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan. Setelah pemuda itu berhenti di tempat terbuka di tengah hutan, barulah ia berhenti. Tangan kanannya masih memegang cambuknya dan pernapasannya agak memburu.

"Siapa engkau?" tanyanya sambil mencoba untuk menembus kesuraman malam mengamati wajah pemuda yang berpakaian biru itu.

Seorang pemuda yang bertubuh sedang, nampak tegap karena dadanya yang bidang. Dipunggung pemuda itu nampak sebuah buntalan dan sebuah caping lebar menutupi buntalan, tergantung di punggung.

"Aku? Aku tukang bakar gubuk."

Kata Hay Hay sambil tersenyum, diusahakan agar senyumnya manis dan menarik walaupun usaha ini sia-sia belaka karena betapapun manisnya senyum yang dipamerkan, tetap saja gadis itu tidak dapat melihat jelas!

"Ah, jadi engkau yang membakar gubuk tadi?" Gadis itu tertegun karena ia tadipun merasa betapa terbakarnya gubuk itu telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya. "Kenapa engkau lakukan itu?"

"Aha! Kenapa? Aku memang suka bermain-main dengan api, nona. Api itu demikian indahnya membakar gubuk. Warnanya kuning merah keemasan. Seperti emas! Ya, seperti emas, lebih indah lagi karena hidup, tidak seperti emas yang mati. Aku suka bermain api, nona."

Mayang mengerutkan alisnya, mencoba lagi menembus malam yang tidak begitu terang untuk memperhatikan wajah pemuda itu.

"Apa kau gila?" tiba-tiba ia bertanya.

"Apa? Gila? Aku? Wah, belum! Mudah-mudahan tidak pernah. Pula, bagaimana membedakan orang waras dan gila? Apakah tiga orang pendeta tadi juga waras?”

"Kalau tidak gila, kenapa jawabanmu begitu? Kenapa engkau membakar gubuk itu? Tak mungkin karena kau suka bermain api!" Suara gadis itu mengandung kedongkolan, merasa seperti dipermainkan.

"Yang aneh bukan aku tapi engkau, nona. Sudah jelas mengapa aku membakar gubuk itu dan engkau bertanya. Ini namaya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!"

"Tar-tarrr..... !!" Cambuk itu meledak.

Hay hay berlagak kaget dan ketakutan, memegangi kepalanya.
"Wah-wah, jangan main-main, nona. Kalau kena kepalaku, berat. Kemana aku harus mencari pengganti kepalaku?"

Mendengar ucapan itu, Mayang tersenyum geli, akan tetapi juga masih jengkel.
"Nah, jawab yang benar kalau engkau tidak ingin kehilangan kepala! Mengapa engkau membakar gubuk itu tadi?"

“Ya ampun..... ! Nona cantik galak amat..... "

Dia sengaja memberi tekanan pada kata "cantik" dan berbisik lirih ketika mengatakan "galak" sehingga tidak terdengar oleh Mayang. Yang terdengar hanya “Nona cantik.... amat.....”

“Apa kau bilang?"

"Tidak, itu lho. Nona amat baik hati suka mengampuni aku. Begini, nona. Tadi aku melihat nona mau dibunuh oleh pendeta raksasa yang menakutkan itu. Aku takut sekali, mau membantu aku tidak berani. Aku hanya bisa merasa mendongkol kepada mereka, maka karena marah aku lalu membakar gubuk mereka. Nah, itulah, nona. Kemudian aku melihat nona dalam kegelapan, maka aku mengajak nona lari kesini agar jangan sampai tersusul oleh mereka."

Melihat kalimat terakhir itu, Mayang melirik ke kanan kiri dan belakang. Kalau benar mereka itu dapat mengejar dan menyusul, ia akan celaka! Dan pemuda ini hanya berani dan nekat saja, agaknya tidak memiliki kemampuan apapun.

"Jangan khawatir, nona. Mereka tidak akan dapat mengejar kesini, sibuk dengan gubuk mereka yang terbakar." Hay Hay tersenyum.






"Hemmm, engkau membikin aku menjadi malu saja! Gara-gara engkau, aku menjadi kaget melihat kebakaran itu dan aku melarikan diri seperti seorang penakut! Padahal, kalau tidak kau ganggu, aku tentu sudah merobohkan tiga orang pendeta palsu yang jahat itu!"

Tentu saja diam-diam Hay Hay merasa geli. Akan tetapi, betapapun senangnya untuk bercakap-cakap lebih lama dan berkenalan dengan gadis manis itu, dia harus melindungi Han Siong. Setelah gubuk itu dibakarnya untuk menyelamatkan gadis itu, tentu kini tiga orang pendeta itu membawa Han Siong pergi dari sana dan dia tidak ingin kehilangan jejak mereka.

"Kalau begitu maafkan aku, nona. Akan tetapi aku harus cepat pergi dari sini, takut kalau mereka itu pergi jauh. Aku harus terus membayangi mereka."

Gadis itu mengangkat muka memandang heran.
"Engkau? Membayangi mereka? Kenapa engkau membayangi mereka? Sungguh berbahaya sekali membayangi mereka. Kalau ketahuan, apalagi kalau mereka tahu bahwa engkau yang membakar gubuk tadi, tentu engkau akan dibakar hidup-hidup!"

Hay Hay bergidik dan pura-pura merasa ngeri dan ketakutan.
"Aih, ampun! Jangan berkata demikian, nona. Bagaimanapun juga, aku harus mengikuti kemana mereka pergi karena mereka telah menawan... saudara misanku.”

"Ah, jadi pemuda.... tampan itu saudara misanmu?"

"Tidak begitu tampan dia, nona!" kata Hay Hay cepat.

"Tapi mengapa dia mereka tawan?"

"Hemm, mungkin karena tampan itulah. Katanya dia hendak dijadikan pelayan. Aku merasa khawatir, maka aku lalu mengikuti mereka dengan diam-diam agar aku tahu kemana saudaraku itu dibawa. Kalau ternyata dia enak menjadi pelayan, hidup berkecukupan dan senang, akupun akan masuk menjadi pelayan mereka. Aku tidak kalah tampan oleh saudara misanku."

Mayang merasa geli, akan tetapi juga mendongkol. Ucapan itu membuat ia ingin sekali melihat wajah pemuda ini dengan jelas. Ia tidak percaya pemuda yang angin-anginan dan ketololan ini setampan pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu.

"Tidak usah kau kejar dan cari. Aku tahu kemana mereka akan pergi."

"Eh? Engkau tahu, nona? Apakah nona sahabat dan kenalan mereka?"

"Hushh! Ngawur saja kau bicara! Kalau aku sahabat mereka, bagaimana tadi aku berkelahi dengan mereka? Akan tetapi aku pernah melihat mereka bertiga. Mereka itu memimpin puluhan orang pendeta Lama dan berkumpul di bukit tak jauh dari sini, yaitu Bukit Bangau. Ketika aku menggiring ternak beberapa hari yang lalu, aku melihat mereka masih berada disana, dan kurang lebih dua bulan yang lalu, aku melihat mereka bertiga itupun berada disana. Aku yakin bahwa saudaramu itu pasti diajak ke puncak Bukit Bangau."

"Kalau begitu, sekarang juga aku hendak mengikuti mereka ke Bukit Bangau." kata Hay Hay.

"Hemm, kalau begitu engkau hanya akan menjadi seekor katak kecil yang menghampiri mulut bangau untuk dicaplok dan habis sekali telan!" Suara gadis itu mengejek.

"Eh? Kenapa begitu?"

"Sudah kukatakan bahwa tiga orang pendeta Lama itu mempunyai banyak anak buah disana, kukira tidak kurang dari seratus orang dan tempat itu dijaga ketat. Tiga orang pendeta itu demikian lihai dan anak buahnya banyak. Kalau engkau mengikuti mereka mendaki bukit, bukankah hal itu sama dengan bunuh diri dan mati konyol?"

Hay Hay tersenyum.
"Aih, nona yang baik. Kenapa engkau mengkhawatirkan benar keadaan diriku?"

Biarpun cuaca agak gelap, namun jelas nampak betapa gadis itu menjadi marah, tubuhnya meregang dan kedua tangannya dikepal,

"Siapa perduli akan nasib dan keadaanmu? Biar engkau dibunuh seratus kali aku tidak perduli! Aku hanya kasihan kepada saudara misanmu itu, karena dia tentu akan berduka kalau mendengar engkau mati konyol disana."

"Aduh senangnya hati Han Siong!"

"Siapa itu Han Siong?"

"Saudaraku yang tampan itulah. Dia tentu senang sekali mendengar betapa engkau amat memperhatikan dia, nona...... "

"Tutup mulutmu atau kutampar kau nanti!"

Gadis itu membentak galak. Hay Hay cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk.

“Maafkan aku, nona. Lalu kalau aku tidak boleh mengikuti mereka, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Kita lewatkan malam ini disini. Besok pagi-pagi aku akan melakukan penyelidikan ke bukit itu dan kalau mungkin aku akan membebaskan saudara misanmu."

"Apakah tidak berbahaya untukmu, nona?"

"Tidak. Andaikata aku kewalahan, masih ada suboku (ibu guru) yang akan menolongku. Aku dapat mendaki Ning-jing-san, ke puncak Awan Kelabu, menghadap subo dan minta bantuannya. Kalau aku bersama subo, jangankan baru tiga orang pendeta palsu tadi, biar ditambah sepuluh lagi semacam mereka, aku tidak takut!"

Sombongnya, pikir Hay Hay. Sombong akan tetapi manis. Galak akan tetapi gagah berani. Seorang gadis hebat. Ingin sekali dia melihat wajah gadis itu dengan jelas. Lalu dia mulai mengumpulkan kayu kering.

"Untuk apa?" tanya gadis itu sambil duduk di atas sebongkah batu sebesar perut kerbau.

"Untuk membuat api unggun," kata Hay Hay. "Kalau kita harus melewatkan malam disini, perlu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin."

"Api unggun akan nampak dari jauh."

"Eh, apakah engkau takut kalau sampai tempat kita diketahui orang?"

Suara merdu itu mengandung kemarahan.
"Siapa takut? Kalau engkau tidak takut, bagaimana aku takut? Huh, kalau sampai ada musuh datang, yang mampus lebih dulu adalah engkau, bukan aku! Mengapa mesti takut?"

Hay Hay tersenyum.
"Ha-ha-ha, akupun tidak takut, nona, karena aku yakin bahwa nona tentu tidak akan membiarkan aku disembelih orang. Nona terlampau gagah dan terlampau baik untuk membiarkan aku dibunuh."

Gadis itu diam saja sehingga Hay Hay tidak tahu bagaimana tanggapannya terhadap kata-katanya itu. Akan tetapi, ketika dia mulai menumpuk kayu dan hendak membuat api unggun, gadis itu menghampiri dan duduk di dekat tumpukan kayu, membantunya sehingga dia merasa girang karena hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu tidak marah lagi.

Kalau Hay Hay menghendaki, sekali gosok dua batang kayu kering dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, tentu akan timbul api. Akan tetapi dia tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya dan dia menggosok-gosok dua batang kayu dengan tenaga biasa.

Melihat sampai beberapa lamanya pemuda itu tidak berhasil membuat api, Mayang menjadi tidak sabar. Disambarnya dua batang kayu itu dari tangan Hay Hay dan diapun menggosok-gosok beberapa kali sampai kayu kering itu terbakar. Tumpukan kayu dibakar dan jadilah api unggun yang cukup besar, terang dan hangat.

"Aduhhhh.... ! Ya Tuhanku.... , sungguh hebat bukan main... !"

Gadis itu mengangkat muka memandang. Ia melihat pemuda itu terbelalak memandang kepadanya, matanya terbuka lebar dan mulutnya juga terbuka sehingga nampak tolol seperti orang kehilangan semangat.

"Ihh! Engkau ini kenapa sih?" tanya Mayang, agak terkejut juga karena tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu nampak demikian kaget.

“Bukan main..... ! Sudah kuduga bahwa engkau tentu cantik manis, nona, akan tetapi tidak seperti ini! Cantik jelita seperti bidadari! Sungguh, engkau cantik jelita dan manis bukan main!"

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar