*

*

Ads

Rabu, 08 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 106

"Hemmm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, engkau harus menandingiku!" Lalu ia menambahkan. "Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!"

Biarpun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun ia menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan ia dapat bersikap keras mau menang sendiri!

Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya di dalam hati bahwa gadis yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa gadis itu sudah matang dan dewasa, kulitnya putih mulus dan kulit muka dan lehernya demikian halus, tangannya demikian kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang.

Rambutnya panjang di kuncir dan melilit leher sampai pinggang. Sepasang mata yang demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan, ditambah manisnya dengan tahi lalat kecil di dagu. Bukan main!

"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apalagi berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi...... "

"Sudahlah, sambut seranganku ini!" bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu sampai dimana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini.

Hok Seng cepat mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang amat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, diapun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan.

Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau ia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai, maka iapun cepat menangkis untuk mengukur sampai dimana besarnya tenaga pemuda itu.

"Dukkk!"

Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tak disangkanya bahwa lengan yang kecil gadis itu mengandung tenaga yang demikin kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.

"Huh, jangan pandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!"

Bi Lian mengejek, tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya. Hok Seng terkejut ketika kembali Bi Lian menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, dan memang Bi Lian mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang ia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli gin-kang. Dan iapun mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sin-kang dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lengannya mulur hampir setengah lengan panjangnya!

Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Namun, sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuh mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet.

Ternyata pemuda itu, biarpun cukup gesit dan bertenaga besar, namun dalam hal ilmu silat, dia masih kalah jauh dibandingkan Bi Lian. Padahal, Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja ia pelajari dari ayah ibunya! Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka iapun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau ia menghendaki, tentu pemuda itu tidak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus!

Tiba-tiba nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa,

"Hentikan perkelahian!"

Mendengar suara ayahnya, Bi Lian meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka.

"Ayah dan ibu, orang ini telah membunuh kudanya yang jatuh terluka dan membuang bangkainya ke dalam jurang."

Bi Lian melapor karena tidak ingin dipersalahkan.
"Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang dan baunya akan mengotorkan udara disini. Maka kutantang dia!"






"Aih, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian." tegur ibunya.

Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.

"Mohon maaf kepada paman dan bibi yang terhormat bahwa saya telah lancang melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sesungguhnya nona ini tidak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan, terpeleset dan jatuh di sini. Kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya, maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan maksud agar tidak mengganggu orang yang lewat disini. Akan tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa saya sadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara disini…….. "

Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.

"Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Biarpun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami telah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini."

"Dengan segala senang hati, paman. Pula, apadaya saya seorang yang bodoh dan lemah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadinyapun saya sudah segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya...."

"Sudahlah!" kata Bi Lian. "Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?" karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak.

"Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!" kata ibunya.

"Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan untuk berkunjung ke rumah kami disana!" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang.

Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki Jimu silat yang amat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya!

Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu saja amat sakti itu. Mendengar undangan itu, tentu saja Hok Seng menjadi girang bukan main, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.

"Ah, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada paman dan bibi yang terhormat....... "

"Ah, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami kalau engkau memang mau memaafkan anak kami." kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah.

Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia sudah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang dikenal oleh para penduduk sebagai sepasang pendekar yang sakti dan yang suka menolong para penduduk. Tertariklah hatinya, apalagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini, sepasang pendekar itu kedatangan seorang gadis cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka. Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main.

Apalagi ketika ayah ibunya muncul. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa. Adapun isterinya juga merupakan tokoh yang tidak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung, juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja.

Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu. Dan biarpun dia belum pernah melihat mereka menggunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu.

Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, di bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil terpelihara rapi, dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna.

Biarpun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan ia sendiri. Maka, begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, ia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang.

"Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke lembah ini?"

Siangkoan Ci Kang bertanya, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu.

Pemuda itu nampak berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya amat buruk.

"Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan yang tertimpa malapetaka dan penasaran besar," dia mulai menceritakan keadaan dirinya.

Karena dia sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya.

"Saya seorang yatim piatu dan dengan susah payah melalui kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi, sungguh malang nasib saya, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan, saya ditolong seorang pendekar yang tidak memperkenalkan dirinya sehingga saya dapat bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini."

"Hemm, begitukah?" Siangkoan Ci Kang memandang tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercaya. Pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar. "Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Tan Hok Seng, paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri paman dan bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apabila kiranya paman dan bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada paman dan bibi disini. Biarlah saya bekerja apa saja disini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh. Apasaja asal paman dan bibi sudi menerima saya sebagai murid."

Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu.

Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling pandang. Suami isteri yang sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing hanya dengan melalui pandang mata saja itu saling kedip dan dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk. Suami isteri ini sebetulnya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, apalagi masih ada puteri mereka yang mewarisi ilmu-ilmu mereka.

Akan tetapi, apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main. Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan mempunyai cucu. Maka, kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar