*

*

Ads

Selasa, 07 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 103

Mereka bertiga berjalan-jalan di puncak bukit yang penuh dengan pohon cemara itu. Pagi itu cerah dan pemandangan alam amatlah indahnya. Matahari pagi sudah tersenyum lembut di atas puncak, sinarnya juga lembut dan hangat diantara kesejukan semilir angin gunung. Bau rumput dan daun cemara yang khas sungguh nyaman dan harum menyenangkan, keharuman yang lembut, membuat hidung terasa segar dan lega. Kicau burung-burung yang sudah sibuk sejak matahari timbul tadi, seperti ribuan karyawan yang siap melaksanakan tugas pekerjaan sehari-hari di pagi itu, memulai pekerjaan dengan semangat berkobar dan hati penuh kebahagiaan, merupakan suara yang merdu dan gembira, menjadi santapan pagi yang amat sehat bagi telinga.

Betapa nikmatnya hidup kalau pada suatu saat, tiga diantara alat panca indriya kita, yaitu mata hidung dan telinga, menikmati keindahan bersama-sama. Mata menikmati pemandangan alam yang mentakjubkan, penuh pesona dan penuh kegaiban. Hidung menghirup udara yang amat sejuk segar, jernih bersih, dengan keharuman yang khas alami, membuat napas yang dihisap itu penuh tenaga mujijat dari alam, memenuhi rongga dada bahkan terus sampai ke bawah pusar, menyehatkan dan membahagiakan. Telinga pada saat yang sama mendengarkan suara yang penuh kedamaian, penuh ketentraman, penuh kewajaran dan keindahan. Betapa nikmatnya hidup!

Dalam keadaan seperti itu, hati dan akal pikiran berhenti berceloteh dan segala sesuatu nampak indah. Suara angin bermain dengan daun-daun cemara, suara air gemercik di antara batu-batu, kicau burung, kokok ayam hutan, semua itu merupakan pendengaran yang seolah-olah bunyi-bunyian merdu dari sorga! Bau tanah bermandikan embun saja sudah demikian sedap dan harumnya, masuk ke rongga dada melalui hidung, demikian harum menyegarkan! Dan melihat kupu-kupu berwarna-warni beterbangan diantara bunga-bunga, melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, bahkan melihat embun sebutir bergantung pada ujung daun, berkilauan tercuci sinar matahari pagi, sudah merupakan penglihatan yang indahnya sukar dilukiskan!

Sayang, sungguh sayang sekali bahwa sejak kecil kita sudah dijejali kesenangan-kesenangan pemuas nafsu sehingga kita menjadi mabuk. Kesenangan badani yang semu, yang hanya merupakan pelampiasan dari pada hasrat nafsu, membuat kita mabok dan tidak lagi dapat melihat segala keindahan, tidak dapat mendengarkan segala kemerduan dan tidak lagi mampu menghirup segala kesedapan yang segar. Kita terbuai oleh kesenangan tuntutan nafsu. Hati dan akal pikiran kita selalu berceloteh dan sibuk dengan urusan pengejaran kesenangan nafsu.

Kalaupun kadang-kadang kita dapat merasakan keagungan dan keindahan itu, segera hati dan akal pikiran datang mengacau dan seketika lenyaplah semua keindahan itu karena batin telah disibukkan kembali dengan urusan kesenangan diri, kesenangan dari pelampiasan nafsu keinginan!

Demikian pula dengan tiga orang yang berjalan-jalan di pagi hari itu. Tadinya mereka tidak berkata-kata, seperti tenggelam ke dalam keindahan itu, bahkan mereka merasa bersatu dengan semua keindahan itu, tidak terpisah-pisah. Rasa aman teneram bahagia, bukan senang, menyelubungi mereka sehingga pada saat seperti itu, mereka tidak ber-aku, mereka bersatu dengan alam, dengan kekuasaan Tuhan, dengan Tuhan!

Mereka berada dalam keadaan samadhi yang sejati, bukan pengosongan diri karena dikehedaki hati dan akal pikiran! Kekosongan batin yang DIKOSONGKAN oleh hati dan akal pikiran, merupakan kekosongan palsu, karena kekosongan itu penuh dengan usaha dari keinginan. Kekosongan berpamrih.

Tiga orang itu bukanlah orang-orang biasa, bukan penghuni pegunungan biasa. Mereka adalah ayah, ibu dan anak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dapat disejajarkan dengan orang-orang sakti! Pria itu berusia empat puluh tiga tahun kurang lebih. Lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga lengan baju yang kiri itu ujungnya terkulai lemas tanpa isi. Tubuhnya tinggi tegap. Kepalanya tidak gundul, melainkan memiliki rambut yang hitam tebal dan panjang, yang digelung ke atas seperti gelung rambut tosu (pendeta To), akan tetapi pakaiannya yang longgar itu mengingatkan orang akan pakaian hwesio (pendeta Buddha) yang berwarna kuning. Wajahnya tampan dan jantan, dengan alis tebal dan sepasang matanya mencorong. Sikapnya pendiam dan bahkan dingin. Pria ini bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang!

Seperti telah kita ketahui, pria ini adalah putera mendiang Siangkoan Lojin atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Si lblis Buta. Biarpun kedua matanya buta, namun Siangkoan Lojin ditakuti semua orang, karena lihainya, juga karena kejamnya. Seorang datuk sesat yang namanya tersohor. Akan tetapi, sungguh aneh, puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, walaupun juga berhati sekeras baja, namun tidak mewarisi watak kejam dan jahat seperti ayahnya. Bahka sejak muda dia menentang kejahatan, sehingga membuat dia menjadi penentang ayahnya sendiri!

Wanita berusia empat puluh dua tahun itu isterinya, Toan Hui Cu dan ia masih nampak cantik sekali. Walaupun mukanya agak pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya. Seperti juga suaminya, Toan Hui Cu juga keturunan datuk sesat. Bukan datuk biasa malah, melainkan rajanya datuk sesat!

Biarpun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, namun ayahnya ketika masih hidup terkenal dengan julukan Raja Iblis, dan ibunya Ratu Iblis! Ayah dan ibunya memiliki kepandaian yang membuat mereka itu sakti dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tidak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan ia condong berwatak pendekar!






Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta dan akhirnya nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah!

Selama duapuluh tahun mereka harus menjalani hukuman di kuil itu, bertapa, akan tetapi justeru dalam hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa!

Dan mereka, biarpun terhukum dalam ruangan berbeda dengan ilmu mereka yang tinggi, dan keduanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti! Dan dari hubungan mereka, terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu mereka titipkan didusun. Nasib membuat anak itu terculik lenyap, dan setelah anak itu dewasa, barulah anak itu kembali kepada mereka.

Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang kecil sekali, dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru.

Bi Lian memiliki mata ayahnya, mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, mulutnya berbentuk seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu nampak agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu nampak merah membasah. Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang menarik. Biarpun ayah dan ibunya amat lihai, namun gadis ini yang sejak kecil terpisah dari mereka, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan.

Di bagian depan cerita ini telah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang juga oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong yang membuka rahasianya bahwa ia puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-li-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur.

Setelah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberitahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Ia menolak bukan karena ia membenci Han Siong. Sebaliknya malah ia amat mengagumi Han Siong, juga amat menyukainya, akan tetapi ia menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat Bi Lian merasa canggung dan salah tingkah. Maka ia menyatakan tidak setuju.

Mendengar ini, Han Siong tersinggung dan diapun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu, dan diapun mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan.

Demikianlah, setelah Han Siong pergi, Bi Lian tinggal bersama ayah ibunya. Dan dari kedua orang tuanya itu, iapun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Ia memilih jurus-jurus simpanan saja sehingga ia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dan Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Dan pada pagi hari itu, ayah ibu dan anak ini berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu.

Sejenak mereka bertiga tenggelam ke dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi.

Namun keheningan yang tercipta apabila hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran. Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya. Lenyaplah sudah keindahan itu, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya.

Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu, dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, di waktu malam, kalau dia berada berdua saja dengan isterinya dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka.

Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Inilah yang pada saat itu menyelinap dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan dengan berpasangan.

“Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?'

Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Pertanyaan itu sungguh tak pernah diduganya akan diajukan ayahnya di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu, mereka bertiga tidak pernah bicara dan mereka menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya!

"Mengapa, ayah? Katau tidak salah, sudah hampir dua puluh satu tahun." jawabnya sambil memandang wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya.

Ayahnya juga memandang kepadanya dan dua pasang mata yang sama mencorongnya saling pandang seperti hendak menembusi hati masing-masing.

"Tidak mengapa, hanya………. kukira usia sedemikian itu bagi seorang wanita sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik.

"Bahkan sudah cukup untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aih, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku…….. !" kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena ia sudah membayangkan kesenangan itu.

Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak marah. Ia cukup mengerti akan perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat ia menikah dan mempunyai anak!

"Aihhh, ayah dan ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!" ia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah.

Ayah ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek.

"Terus terang saja, anakku, ayah dan ibumu hanya mempunyai satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau ayah dan ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?" kata pula ibu Bi Lian.

Bi Lian mendekati ibunya dan merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya.

"Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja, urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin kalau aku memungut begitu saja seorang calon suami dari pinggir jalan!"

"Ha-ha-ha!" Siangkoan Ci Kang tertawa. "Tentu saja tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tjdak ada pemuda yang lebih bajk dari pada suhengmu sendiri. Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji."

"Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka padanya!" Bi Lian membantah cepat.

"Hemm, kalau benar demikian, mengapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya, memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya maupun wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!"

Bi Lian menahan senyumnya dan entah bagaimana, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Iapun menghela napas.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar