*

*

Ads

Selasa, 07 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 104

"Ayah dan ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng itu. Maafkan aku. Terus terang saja, akupun kagum dan suka kepada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah ada cinta dalam hatiku terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku."

"Ehhh? Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!" kata pula Siangkoan Ci Kang.

"Benar ayahmu, Bi Lian. Han Siong cinta padamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu." kata ibunya.

"Bagaimana ayah dan ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia sudah terikat perjodohan dengan aku! Maka, tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina ayah dan ibu dan juga aku! Dia telah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, ayah dan ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andaikata saat dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, ayah dan ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya."

Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kinipun mereka dapat merasakan. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andaikata tidak demikian halnya, beranikah Han Siong mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang telah ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani!

"Hemm, kalau begitu, Lian-ji. Andaikata engkau kelak yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk….. eh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?" tanya Siangkoan Ci Kang.

Bi Lian termenung. Bagaimanapun juga, hanya ada dua orang pria yang selama ini menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, dan yang ke dua adalah Pek Han Siong! Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat. Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan dan dunia akan selalu nampak cerah.

Sebaliknya, Han Siong seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang. Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya menguasai ilmu sihir yang ampuh. Akan tetapi, ia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, padahal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seolah-olah ia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat ia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga!

"Tentu saja hal itu mungkin sekali, ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Kalau memang dia benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa akupun mencintanya, maka tidak ada halangannya bagi kami untuk berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?"

Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpencar dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci King dan isterinya. Mereka segera menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula.

Bi Lian terkejut dan terheran, lalu cepat ia menyelinap ke dekat mereka.
"Ada apakah?" tanyanya dengan bisikan lirih.

"Ssttt………. inilah yang kami nanti-nanti selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari, ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!" kata Siangkoan Ci Kang.

Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi dengan mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu? Sungguh aneh.

Mereka bertiga dengan cepat namun dengan pengerahan gin-kang agar gerakan mereka ringan tak bersuara, menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya, Siangkoan Ci Kang berhenti dan bersembunyi di balik semak-semak, memberi isarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi disitu pula. Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri.






Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan ia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.

Pantas saja mereka harus berindap-indap karena kalau mereka mengeluarkan suara berisik, tentu dua ekor ayam hutan itu akan terbang pergi. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tidak dapat didekati manusia. Akan tetapi, mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu? Bi Lian juga memandang, dengan penuh perhatian.

Akan tetapi baginya, dua ekor binatang itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa, sedang bertanding. Akan tetapi setelah ia memperhatikan, ia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja.

Semua serangan si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tak pernah mengenai sasaran. Sibulu emas jarang menyerang, akan tetapi setiap kali menyerang, pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga beberapa kali si kelabu tertendang dan terjengkang!

Biarpun demikian, bagi Bi Lian semua itu tidak ada artinya. Akan tetapi kalau ia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tak pernah berkedip, seolah hendak menelan dengan pandang mata mereka setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu, dan beberapa kali ia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali.

Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Ketika si kelabu yang sudah mulai lemah itu dan yang mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah, untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.

"Bressss..... ! Keok..... !"

Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepatnya, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagah sekali, mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan!

Biarpun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang berloncatan keluar dua ekor binatang musang. Tidak begitu besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali.

Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya amat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri.

Akan tetapi pada detik terakhir, ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dapat terbang meloloskan diri dari Musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu kini berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!

"Tolol!" pikir Bi Lian dalam hatinya. "Mana kamu akan mampu menandingi seekor musang?"

Ayam berbulu emas itu terlalu sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan Siapa lawannya. Mungkin karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi, dia menjadi kepala besar dan tidak takut melawan siapapun juga!

Musang itu agaknya juga tercengang. Tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu sudah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi!

Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih disitu, dia sudah menerkam lagi dengan ganasnya. Musangpun seekor binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar di hutan.

"Wuuuttt....... bresss.....!"

Bi Lian hampir bersorak. Ketika musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu menerjang dari atas mematuk dan menendang kepala musang.

Musang itu terkejut. Patukan dan tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walaupun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia membalik dan kembali menerkam.

Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas. Berkali-kali hal ini terjadi dan Bi Lian menonton dengan hati tegang. Biarpun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, namun tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu, apalagi merobohkannya.

Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu. Ketika ia menengok ke arah ayah ibunya, ia melihat kedua orang itu seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira.

Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untuk menangkap ke atas. Akan tetapi, dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput karena dia naik ke atas, kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tidak lagi menendang melainkan mencakar.

Kedua kaki dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan keras itu mematuk ke arah mata kiri.

"Bresss...... !"

Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit dan dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah. Diapun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ.

Ayam hutan itupun terbang ke atas, hinggap di sebuah dahan pohon cemara dan diapun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang!

Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga iapun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Mendengar tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik!

Akan tetapi, kembali Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Ia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus hebat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang ia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat. Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun ia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, namun di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tidak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis!

Melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu, ia tidak merasa heran. Tentu saja serangan-serangan ibunya hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat ia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya.

Gerakan ayahnya itu mirip gerakan ayam jantan hutan bulu emas tadi! Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepala kedepan belakang, betapa kepala itu kadang-kadang mengelak ke bawah dan kebelakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu, berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar