*

*

Ads

Kamis, 26 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 080

Biarpun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya besar di tangan tiga orang pendeta Lama yang sakti itu, namun Pek Han Siong tidak merasa gentar, bahkan dia berbesar hati. Tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu sihir yang amat berbahaya itu dapat dia hadapi dengan perlindungan batu giok mustika yang dia terima dari Hay Hay, dan di samping itu, diapun yakin bahwa Hay Hay selalu membayanginya dan selalu siap untuk membantunya apabila dirinya terancam bahaya maut.

Dan sebagai seorang kawan, dia dapat mengandalkan kemampuan Hay Hay. Kalau mereka berdua yang maju, maka dia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun.

Han Siong bahkan merasa gembira mengingat akan ajakan Hay Hay untuk bertualang ke Tibet. Memang, urusannya dengan Dalai Lama harus diselesaikan dengan baik. Kalau tidak, selama hidupnya dia akan dibayangi ancaman dari Tibet yang agaknya tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk menculik dan membawanya ke Tibet untuk dijadikan Dalai Lama!

Dan bertualang bersama seorang sahabat seperti Hay Hay tentu akan menggembirakan, bukan hanya karena Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan, juga memiliki ilmu sihir yang kuat, akan tetapi juga dia sudah mengenal Hay Hay sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi walaupun mata keranjang tidak ketulungan lagi. Dia mulai mengenal Hay Hay. Mata keranjang memang, akan tetapi tidak pernah melakukan pelanggaran susila.

Akan tetapi, kegembiraan itu segera lenyap kalau dia teringat kepada Ouw Ci Goat, teringat akan peristiwa yang terjadi di malam jahanam itu. Biarpun di luar kesadarannya, biarpun dia telah menggauli Ci Goat di luar kehendaknya dan di bawah pengaruh ilmu hitam yang jahat, namun dia harus bertanggung jawab!

Dan inilah yang amat menyusahkan hatinya. Dia harus mengawini Ci Goat untuk menebus aib yang diderita gadis itu, akan tetapi hal itu akan dilakukannya secara terpaksa karena sesungguhnya walaupun dia merasa suka dan kasihan kepada Ci Goat, namun dia tidak mencintanya.

Han Siong mengira bahwa perjalanan menuju Tibet itu tentu akan memakan waktu yang lama sekali. Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa ketika mereka tiba di perbatasan Tibet, tiga orang pendeta Lama itu mengajaknya menuju ke sebuah bukit, bukan melanjutkan perjalanan ke barat.

Ketika tiga orang pendeta Lama itu mengatakan hal ini, mereka tiba di sebuah dusun yang indah di perbatasan Tibet. Dusun ini bernama Wang-kan di kaki Pegunungan Ning-jing-san, di sebelah timur Sungai Lan-cang (Mekong).

Tiga orang pendeta Lama itu mengajaknya singgah di sebuah kedai makan di dusun Wang-kan itu, sebuah kedai yang menjual makanan cia-Ji (pantang daging). Ketika tiga orang pendeta Lama itu bersama Han Siong memasuki kedai yang cukup besar itu, para pelayan segera menyambut mereka dengan sikap hormat.






Agaknya, tiga orang pendeta Lama ini tidak asing disitu dan melihat sikap para pelayan itu, mereka nampak takut-takut sehingga Han Siong dapat menduga bahwa tiga orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti orang di daerah itu. Padahal, kota Lasha, ibu kota Tibet dimana Dalai Lama tinggal, masih cukup jauh dari situ.

"Hidangkan sayur dan roti terbaik, kami lapar sekali. Dan arak yang tua, hawanya begini dingin dan kami ingin menghangatkan badan.” kata Pat Hoa Lama, orang termuda di antara tiga pendeta Lama itu.

Han Siong tidak merasa heran mendengar pendeta itu memesan minuman arak, minuman yang biasanya dipantang oleh para pendeta. Selama dalam perjalanan, tiga orang pendeta Lama itu bukan saja minum arak, bahkan tidak memantang daging pula!

Dan para pelayah di kedai makan itupun agaknya tidak merasa heran. Hal ini saja sudah aneh dan tidak sewajarnya, pikir Han Siong. Memang banyak hal yang mencurigakan pada tiga orang pendeta Lama ini. Pernah di suatu malam, ketika Han Siong pura-pura pulas dia mendengar tiga orang pendeta Lama ini membicarakan wanita, pengalaman mereka dengan wanita dan dia mendapat kesan bahwa merekapun agaknya tidak pantang menggauli wanita!

Orang-orang macam apakah para pendeta Lama ini, yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama? Padahal menurut apa yang pernah didengarnya, Dalai Lama dan para pendeta Lama di Tibet adalah orang-orang yang memusatkan seluruh kehidupan mereka untuk urusan rohani, bukan saja pantang makanan barang berjiwa dan pantang minuman keras, juga pantang bergaul dengan wanita dan menjauhi kesenangan dunia. Akan tetapi tiga orang pendeta Lama ini makan daging, minum arak dan bicara tentang wanita!

Akan tetapi tentu saja Han Siong pura-pura tidak mempedulikan itu semua. Setiap malam, dia selalu merasa betapa ada daya tarik yang amat kuat, dan dia tahu bahwa pada saat seperti itu, tiga orang pendeta Lama itu memperkuat pengaruh ilmu hitam mereka kepada dirinya dan diapun berpura-pura jatuh ke bawah pengaruh mereka.

Kalau ada dorongan agar dia tidur pulas, diapun pura-pura tidur! Padahal, dengan bantuan pengaruh batu giok mustika, dia mampu menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, diperkuat oleh tenaga saktinya sendiri.

Ketika hidangan dikeluarkan, tanpa ragu dan tanpa rikuh lagi Han Siong juga ikut makan, diam-diam dia menduga dimana adanya Hay Hay dan apakah kawan itupun sedang makan. Dia kagum bukan main karena selama dalam perjalanan ini, tak pernah dia melihat bayangan Hay Hay. Demikian pandainya Hay Hay membayangi perjalanan mereka sehingga sama sekali tidak sampai terlihat atau terdengar oleh mereka yang dibayangi.

Selagi mereka makan dan hampir selesai, tiba-tiba masuklah seorang tamu baru dan melihat betapa tiga orang pendeta itu menoleh dengan mata terbelalak kagum, diapun melirik. Dan diapun kagum. Gadis yang memasuki kedai itu memang pantas untuk dikagumi setiap orang pria.

Seorang gadis yang bentuk tubuhnya tinggi semampai dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna, dada bidang membusung, leher panjang, pinggang ramping dan pinggul besar dan bulat. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir dua seperti kebiasan gadis Tibet, dan wajahnya manis sekali. Kulit mukanya putih kemerahan dan segar, sepasang mata sipit namun sinarnya tajam, sepasang alis yang hitam sekali, subur namun bentuknya kecil panjang melengkung, hidungnya agak besar seperti hidung kebanyakan orang Tibet. Namun mulutnya kecil, dengan sepasang bibir yang penuh dan kemerahan karena sehat. Pakaiannya sederhana dan ringkas, pakaian wanita Tibet pada umumnya. Yang menarik, diikat pinggangnya, terselip sebatang pecut yang biasa dipergunakan orang untuk menggembala ternak.

Han Siong yang melirik merasa heran sekali. Apakah gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun ini seorang gadis penggembala? Akan tetapi, ketika ia melangkah masuk ke dalam kedai makan itu, langkahnya bebas dan tegap, sama sekali tidak malu-malu seperti kebiasan gadis dusun. Bahkan sepasang mata yang sipit itu dengan terbuka menatap ke kanan kiri dan memandang kepada tiga orang pendeta Lama penuh perhatian, kemudian ketika gadis itu memandang kepadanya sepasang alis yang hitam subur itu berkerut. Hanya sebentar karena gadis itu sudah disambut oleh seorang pelayan tua yang tersenyum ramah kepadanya.

"Heii, nona Mayang! Engkau sudah kembali lagi dari mengantar domba-domba itu menyeberang Sungai Lan-cang? Silakan duduk, hendak makan sayur labu kesukaanmu itu?"

Gadis itu tersenyum dan Han Siong semakin kagum. Indah sekali deretan gigi seperti mutiara teratur rapi itu ketika gadis yang disebut Mayang itu tersenyum.

“Benar, paman, sudah menyeberang dengan selamat. Ya, aku ingin makan dengan sayur labu, dan tolong beri anggur manis."

Pelayan itu mengangguk-angguk dan kini Han Siong melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu berbisik-bisik di depannya. Dia pura-pura tidak melihat atau mendengar, seperti orang yang setengah sadar, akan tetapi diam-diam dia memperhatikan dan mendengar Pat Hoa Lama yang dia tahu paling cabul dan mata keranjang itu berbisik kepada dua orang temannya.

"Wah, suheng, tak kusangka disini terdapat yang seperti ia! Hebat.... ah, sebaiknya kalau malam ini kita bermalam disini semalam. Bagaimana?"

Gunga Lama yang paling tua diantara mereka, menyeringai!
"Dasar engkau rakus dan mata keranjang, sute. Akan tetapi baiklah, akan tetapi harus aku yang pertama kali menghisap madu kembang itu."

Mereka bertiga menyeringai dengan genit dan diam-diam Han Siong mengerahkan tenaga batinnya untuk bersabar agar mukanya tidak membuka rahasia hatinya. Biarpun dia tidak mengenal gadis itu, akan tetapi kalau tiga orang monyet tua ini hendak mengganggunya, terpaksa dia akan turun tangan menghalangi mereka. Biar sandiwaranya gagal, tidak mengapa karena bagaimanapun juga, dia tidak rela membiarkan kekejian terjadi di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk menentangnya.

Setelah selesai makan, Pat Hoa Lama bangkit dari tempat duduknya dan dengan lagak seorang pendeta sejati, diapun menghampiri meja gadis manis itu dan merangkap. kedua tangan di depan dada sambil membungkuk.

"Omitohud...., semoga engkau dilimpahi berkah yang membuat hidupmu bahagia, nona."

Gadis itu yang sedang makan mengangkat mukanya dan memandang kepada pendeta Lama yang berdiri di depannya. Han Siong melirik dan diapun melihat betapa sepasang mata pendeta Lama itu mencorong penuh wibawa, maka tahulah dia bahwa Pat Hoa Lama telah menggunakan sihir untuk mempengaruhi gadis itu!

Akan tetapi, dia belum berani melakukan sesuatu, hendak melihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Kalau sudah mencapai titik berbahaya bagi gadis itu, barulah dia akan turun tangan dengan resiko ketahuan permainan sandiwaranya. Dia melihat gadis itu mengejap-ngejapkan matanya yang sipit, lalu gadis itupun berkata dengan lembut.

"Maafkan aku, lo-suhu. Sayang sekali aku belum menerima upah menggiring sekelompok domba itu menyeberang sehingga hari ini aku tidak mungkin dapat menyerahkan sumbangan kepadamu. Uangku hanya tinggal cukup untuk pembayar makanan ini. Maaf, dan lain kali. saja.”

Pat Hoa Lama kelihatan tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Omitohud, nona memang dermawan dan bijaksana. Tidak mengapa, nona. Malam nantipun masih belum terlambat kalau nona hendak menyerahkan kebaktian. Pinceng menanti di gubuk peristirahatan, di luar pintu gerbang barat dusun ini”

"Nah, sampai malam nanti, nona. Kami tunggu!"

Dalam kalimat terakhir ini terkandung getaran kuat yang terasa pula oleh Han Siong. Dia melihat nona itu mengangguk dan diam-diam Han Siong marah bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah terpengaruh sihir dan mudah diduga bahwa malam nanti gadis itu tentu akan datang ke tempat yang dijanjikan Pat Hoa Lama, datang seperti seekor kijang muda menyerahkan diri kepada sekelompok srigala yang buas dan haus darah!

Biarlah, pikir Han Siong. Kalau sampai terjadi gadis itu datang, dan kelihatan terancam bahaya, dia akan turun tangan. Sukur kalau Hay Hay yang membayangi mereka tahu pula akan bahaya yang mengancam gadis Tibet bernama Mayang itu dan Hay Hay yang turun tangan menyelamatkannya agar dia tidak usah membuka rahasia permainan sandiwaranya.

Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong bangkit dan mereka menghampiri meja kasir. Ketika Han Siong melirik, dia melihat gadis itu justeru sedang mengamati mereka dengan penuh perhatian. Celaka, pikir Han Siong gemas, tentu gadis itu benar-benar telah terpengaruh sihir! Pat Hoa Lama yang agaknya mengenal baik pemilik kedai itu, setelah membayar lalu bertanya lirih kepada pemilik kedai makan.

"Siapakah gadis penggembala itu?"

"Ah, lo-suhu maksudkan Mayang? Ia bukan gadis dusun ini dan pekerjaannya adalah mengawal atau menggiring kelompok domba atau ternak lain dari satu ke lain daerah. Ia terkenal cekatan dan dapat dipercaya, juga pandai sekali menggiring ternak yang ratusan ekor banyaknya. Ia memang gadis luar biasa. Kenapa lo-suhu bertanya tentang Mayang? Ia puteri seorang janda, begitu kami dengar, sudah tidak berayah lagi."

"Omitohud, kasihan sekali," kata Pat Hoa Lama sambil merangkap kedua tangan depan dada. “Kami hendak mendoakannya, dan siapa tahu, barangkali kami dapat mengabarkan tentang pekerjaannya sehingga akan banyak saudagar ternak yang akan menggunakan tenaganya.”

Mereka lalu meninggalkan kedai itu dan keluar dari dusun Wang-kan dan ketika tiba di luar pintu gerbang, dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di tepi jalan, di luar sebuah hutan kecil. Agaknya gubuk ini dibangun penduduk Wangkan sebagai tempat peristirahatan.

Agaknya orang-orang daerah itu memang memiliki kebiasaan membangun bangunan gubuk sederhana di luar dusun sebagai tempat peristirahatan bagi para pendatang yang tidak mempunyai keluarga di dusun itu, atau sebagai tempat peristirahatan bagi para pedagang atau perantau yang kebetulan lewat di dusun itu.

Gubuk itu sederhana sekali, lantainya tanah dan hanya ada sebuah ruangan dan sebuah kamar. Di lantai tanah kering itu terdapat jerami kering dan di dalam kamar terdapat sebuah dipan kayu sederhana dan kasar, ditilami jerami kering sebagai kasurnya. Biarpun sederhana tempat itu cukup bersih. Agaknya para pendatang yang mempergunakan tempat itupun tahu diri dan selalu membersihkan tempat itu sebelum meninggalkannya.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar