*

*

Ads

Selasa, 17 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 060

Beberapa hari saja sesudah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencuci pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian Ci Goat terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkan dan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat tetap memaksanya.

"Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Lagi pula aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap adalah penolong kami?"

Perhatian gadis itu bukan hanya dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia pernah memergoki gadis itu menatapnya dengan pandang mata yang aneh, pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa disengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu lalu menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali!

Dua hari kemudian mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang murid merangkap anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan bala bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusun semenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan juga sudah disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati.

"Taihiap, silakan makan pagi," kata Ci Goat sesudah dia menyiapkan makan pagi di meja ruangan makan. "Semenjak pagi sekali tadi ayah bersama tiga orang suheng sudah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan Taihiap makan sendiri."

"Ahh, mari kita makan bersama, Nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?"

"Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya... seakan-akan kita ini saling merasa asing..."

"Tapi engkau pun menyebut taihiap padaku, Nona."

"Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut taihiap. Akan tetapi aku... ahh, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat."

"Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toako (kakak)."

Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah sekali. "Baiklah..., Toako." katanya sambil menunduk. "Silakan makan pagi, Toako."

"Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?"

Biar pun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, akan tetapi wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka.

Namun mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum dikulum yang membuat wajahnya tampak manis selalu. Juga ketika dia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih.

"Goat-moi, setelah kita kini menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya jika aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?" tanya Han Siong ketika mereka baru saja selesai makan dan dia turut membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok.

Dara itu menarik napas panjang. "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, Twako, dan yang dapat diceritakan hanya hal-hal yang menyedihkan saja. Aku sudah kehilangan ibuku saat berusia kurang dari sepuluh tahun. Semenjak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Sesudah remaja aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Kemudian terjadilah mala petaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku..."






"Ahhh...! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!" kata Han Siong yang terkejut dan juga ikut bersedih.

Gadis itu kemudian menarik napas panjang. "Jangan engkau salah duga, Twako. Bagiku kematiannya tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suheng-ku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah, namun bagiku dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan sering termenung dan sulit membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah, kini dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai."

Sekarang Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut jika mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencintai tunangannya yang tewas itu, dan kalau dia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena dia mentaati perintah ayahnya saja. Secara diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya.

"Toako, sekarang tiba giliranmu. Aku pun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toako?" tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi.

"Tidak ada hal yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan yang sangat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahuan. Kebetulan saja aku lewat di sini sehingga bertemu dengan kalian berlima."

Han Siong memang tidak suka terlalu banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itu pun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang sejak tadi agaknya mengganjal hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika dia menatap wajah pemuda itu, dia pun berkata,

"Toako, kurasa usiamu jauh lebih tua dari pada aku yang berusia delapan belas tahun," Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahuannya tentang usia pemuda itu.

Han Siong tersenyum. "Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun."

"Ah, kalau begitu tentu engkau telah berkeluarga, Toako," kata gadis itu cepat dan sambil lalu, seolah acuh.

Mendengar pertanyaan ini, Han Siong merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkoan Bi Lian, gadis yang dicintanya namun juga telah menolaknya! Ci Goat telah berterus terang kepadanya, maka sudah sepantasnya kalau dia pun berterus terang, sekalian mendapat kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya.

"Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, tapi pertunangan itu gagal..."

Dara itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum segera menghilang dari ujung bibirnya. "Dia... dia juga... mati...?"

Han Siong menggeleng kepala kemudian menghela napas. "Dia menolak untuk berjodoh denganku."

"Ahhh...!" Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih, "tidak mungkin... tidak mungkin..."

Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran. "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?"

"Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!" tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena dia merasa betapa dia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya.

Han Siong tersenyum pahit, kemudian dia pun berjalan meninggalkan gadis itu menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong gelisah dan tidak bisa tidur. Percakapan dengan Ci Goat tadi telah membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri.

"Taruh saja di atas meja, Goat-moi, nanti kalau lapar aku akan mengambilnya sendiri," katanya dengan lesu.

Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka dia pun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siang pun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara.

Malam telah larut, namun Han Siong masih rebah termenung tidak dapat pulas. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya lantas berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah.

Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju ke kebun di belakang sambil membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran. Apa yang hendak dilakukan gadis itu pada malam hari begini?

Ci Goat berhenti dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu dia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang di atas bangku, menyalakan hio dan mulai bersembahyang!

Dara itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik. Dia merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang sangat lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andai kata ada orang didekatnya pun tak akan bisa menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik.

Dia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain dari pada orang biasa. Biar pun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sesunyi itu dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas!

Ternyata gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali,

"Ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang kelak, lindungilah Toako Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andai kata dia kalah pun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku..."

Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi dengan jantung berdebar dan muka terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Begitu sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian, namun yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang bagi keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya!

Pada keesokan harinya dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandangan mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Ternyata pandangan mata gadis itu penuh dengan sinar kagum dan cinta! Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu.

Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat pada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini yang dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andai kata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak akan seperti cintanya kepada Bi Lian.

Sepekan kemudian siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah sekumpulan orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tak kurang dari dua ratus orang!

Mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata mempunyai ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing. Tentu saja para pimpinan ini pun lihai, satu tingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar