*

*

Ads

Rabu, 04 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 026

Siangkoan Ci Kang yang buntung lengan kirinya itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih.

“syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."

Toan Hui Cu kini bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping.
"Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian."

"Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, suhu dan subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."

"Ahh ! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?"

Suami isteri itu bertanya. Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang amat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio dimana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil.

"Ibu……, dan ayah ……. kenapa ibu dan ayah begitu ……nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui diriku sebagai anak?"

Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar .

"Haiiii, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa ia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?"

Ibu gadis itu berbalik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum mampu menjawab pertanyaan puterinya.

Siangkoan Ci Kang tertawa,
"Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Marilah kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing akan diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar agar tidak ada lagi rasa penasaran menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, engkau akan mendengar semua jawaban pertanyaanmu."

Gadis itu digandeng ayah ibunya, berjalan di tengah, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada sebuah hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya.

Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada murid, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia telah dijodohkan kepada Bi Lian. Dahulu, hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya.

Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus prosen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati. Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagaimana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu kalau mendengar bahwa ia dijodohkan dengan suhengnya!

Dan selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga apa perasaan gadis itu terhadap dirinya. Gadis itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi baginya juga penuh rahasia. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan, hatinya sendiri? Hal ini membuat dia diam-diam gelisah ketika dia mengjkuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang.

Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subonya melingkar dipinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!

Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir riang berdendang diantara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang Jalan berada didusun yang berada di kaki gunung.






Setelah berada di dalam pondok, duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat bercakap-cakap. Mula-mula, untuk menghilangkan rasa penasaran di hati Bi Lian, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang telah yatim piatu saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, dan masuk ke dalam kuill Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw.

"Namun, agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkaupun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu.

"Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya?” Sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu, Bi Lian bertanya.

Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya.
"Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan selama masing-masing dua puluh tahun….”

"Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?"

"Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dan menyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya.

"Dan ayah ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak.

Suami isteri itu saling lirik dan Siangkoan Ci Kiang menjawab,
"Ya, kami menerimanya dan kami menganggapnya sudah pantas."

"Tidak! Tidaaaaaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada ibu, kakek yang tak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum ayah dan ibu untuk memuaskan dendamnya!"

"Sumoi…… !" Kembali Han Siong berseru menegur.

Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong, dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya,

"Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?"

"Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" jawab Bi Lian. "Ayah dan ibu, kami tadinya masuk ke dalam kamar tahanan ayah dan ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan. Hampir saja aku membunuhnya!"

"Bi Lian…… !" Toan Hui Cu merangkul puterinya.

Kini Han Siong ikut bicara.
"Suhu dan subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa ia adalah puteri suhu dan subo, karena teecu hanya mengajak ia untuk menghadap suhu dan subo yang ia ingat sebagai guru-gurunya ketika ia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari suhu dan subo di kuil, kami bertemu dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa ia adalah puteri suhu dan subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."

"Aku heran sekali menapa ayah dan ibu membiarkan saja orang berbuat sekejam itu kepada ayah dan ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran.

Ayahnya tersenyum.
"Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa ayah dan ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang ditumpuk oleh para kakek nenekmu dahulu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biarpun kemudian, setelah hampir duapuluh tahun losuhu itu membuat pengakuan, kami tidak merasa penasaran, karena dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang amat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu, kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, dan kemudian bahkan kami bertemu dengan suhengmu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio."

"Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."

Bi Lian mengangguk-angguk.
"Mungkin benar juga pendapat ayah dan ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, mengapa ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?"

"Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun di dalam kurungan, sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Karena itulah maka setelah berpikir masak-masak, kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Dan kami mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."

"Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak suka kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau ingat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu dimasa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu……”

Bi Lian merangkul ibunya.
"Aku percaya, ibu. Akupun merasakan kasih sayang ibu dan ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."

"Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya.

"Nanti dulu, ayah dan ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan "jual mahal". "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."

Toan Hui Cu tersenyum dan mengangguk kepada muridnya.
"Kamipun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Berceritalah, Han Siong."

"Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika aku bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo dan menjadi muridnya."

"Ya, aku sudah tahu akan hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian.

Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada kedua orang gurunya.
"Ketika suhu dan subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari kearah mana. Akan tetapi teecu mengambil keputusan tidak akan kembali menghadap suhu dan subo sebelum berhasil menemukan sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu suhu dan subo, dan juga kenekatan. Dalam perjalanan itu, teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambll murid selama satu tahun."

"Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia seorang diantara Delapan Dewa?"

"Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang diantara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir….."

"Wah, ayah dan ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"

“Hemm, coba kau perlihatkan sedikit sihirmu agar kami melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subonya.

“Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap suhu dan subo?” kata Han Siong.

"Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kau pelajari itu," kata suhunya.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar