*

*

Ads

Jumat, 29 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 025

"Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi...... Omitohud..... semoga dosa pinceng dapat diampuni....... anak itu kabarnya dilarikan penjahat setelah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh pehjahat....."

Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya pucat, matanya terbelalak ketika ia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu.

"Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan atau....... demi Tuhan, kubunuh kau!"

"Sumoi......!"

Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.

Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.

"Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silahkan nona, pinceng tidak akan menghindarkan diri....., silakan.....!"

"Sumoi......!" Han Siong kembali menegur.

Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong.
"Suheng engkau..... engkau tentu tahu.....anak.... anak itu..... ia.....?"

Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suarapun, Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Diapun mengangguk.

"Benar, sumoi. Engkaulah anak itu..... engkau adalah puteri suhu, dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu….. "

Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam kearah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip.

Akan tetapi, pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu mendorong tubuh Bi Lian mundur.

"Sumoi, tenanglah. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau mengoper dosanya.....! Jangan sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu....!"

Bi Lian mencoba untuk meronta, akan tetapi Han Siong memegangi kedua lengannya.
"Lepaskan! Suheng, dia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"

"Omitohud.... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar ia membunuh pinceng. Omitohud...... akhirnya........ akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan biar ia membunuhnya. Anak baik, kau bunuhlah pinceng...... kau bunuhlah pinceng...... " Hwesio itu kini menangis terisak-isak dan berbisik-bisik minta dibunuh.

Han Siong tetap mencegah Bi Lian,
"Ingat, sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali kalau mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka saja yang menerima hukuman itu, tidak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui mereka ayah ibumu...... ”

"Ayah? Ibu? Dimana.... dimana.... mereka...... ?" Gadis itu tergagap-gagap, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali.

"Losuhu, tolong beritahu, dimana adanya suhu dan subo kini?"

Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata,
"Mereka...... mereka..... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur..... tapi, tapi..... biarkan dulu ia membunuhku, Han Siong..... aku mohon padamu, biarkan ia membunuh pinceng...."

Akan tetapi Han Siong tidak memperdulikan kakek itu, menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang minta dibunuh diantara tangisnya, akan tetapi Han Siong terus mengajak sumoinya keluar.






Diluar kamar, mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. .Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio dan tentu saja para hwesio ini menjadi terkejut dan terheran, akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu.

Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong segera memperkenalkan diri.

"Para suhu dan suheng apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong......"

"Ah, Han Siong...... "

"Sute....."

Para hwesio itu kini mengenalnya akan tetapi Han Siong tidak ingin banyak bicara dengah mereka. Dia menggandeng tangan sumoinya dan berbisik,

"Mari kita pergi, sumoi..... !"

Dan diapun mengajak sumoinya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang di kegelapan malam. Para hwesio hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.

Mereka melanjutkan perjalanan didalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sukar dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan.

Tiba-tiba Bi Lian Berhenti.

"Marilah, sumoi....."

Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.

"Suheng....."

Dari suaranya dapat di ketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya. Memang sejak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak tersedu-sedu atau terisak-isak walaupun kedua matanya sudah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes keatas pipinya.

Pikirannya menjadi kacau tidak karuan. Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yaitu suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu ia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang datang diwaktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya.

Seorang pria yang gagah perkasa, akan tetapi buntung lengan kirinya sebatas siku dan seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi selalu wajahnya pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subonya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhunya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!

"Ya? Kenapa, sumoi?" tanya Han Siong, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoinya membunuh Ceng Hok Hwesio.

"Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?"

Han Siong mengangguk, akan tetapi lalu teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu.

"Aku tahu, sumoi. Suhu dan subo sudah memberi tahu kepadaku siapa namamu, yaitu Bi Lian dan mempergunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencarimu. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari kemana sampai pada suatu hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku….. aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Ketika mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."

"Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"

"Aku khawatir engkau tidak percaya, sumoi. Maksudku, membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar dari mereka sendiri. Tidak kusangka, kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kau ketahui…… "

Mereka melanjutkan perjalanan dan karena Kim-ke-kok ( Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung, dan perjalanan dilakukan lambat, baru setelah terang tanah mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu.

Tidak sukar mencari suami isteri itu setelah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong mereka.

Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari dan memegang lengan kanan Han Siong dan pemuda ini merasa betapa jari tangan gadis itu dingin gemetar. Seperti yang diduganya, dua sosok tubuh itu setelah tiba di depannya bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru,

"Heiiii….., bukankah itu engkau, Han Siong……..?"

Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum.
"Kami sudah menduga bahwa yang datang tentu engkau…… " Tiba-tiba ia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian.

Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata,

"Han Siong, ini..... ia ini……"

Toan Hui Cu seperti besi terbetot besi sembrani, melangkah maju menghampiri,
"....kau…… kau……. " Ia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau ia salah kira.

Akan tetapi suaminya berteriak,
"Pasti ia! Wajahhnya itu….. ah, serupa benar denganmu, Hui Cu. Ia Bi Lian…… !!"

"Kau…. kau Bi Lian….?” Dengan suaraa bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan.

Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini ia tidak dapat menahan dirinya lagi, ia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.

"Ibuuuuu ………., engkau ibuku………. !"

"Bi Lian anakku………. ah, Bi Lian……… !"

Kedua ibu dan anak itu berangkulan dan Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.

"Bi Lian…… ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku ………"

Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.
"Ayah………. !”

" Anakku……… !"

Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu, pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan.

Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang sejak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subonya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum menahan keharuan hatinya yang merasa ikut berbahagia.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar