*

*

Ads

Rabu, 27 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 015

Setelah Kui Hong pergi, suami isteri itu bangkit berdiri, saling pandang sampai lama dan perlahan–perlahan kedua mata Sui Cin menjadi basah. Seperti didorong oleh kekuatan gaib maju dan dilain saat kedua suami isteri yang sudah lama berpisah batin itu, kini saling rangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, rangkulan yang penuh kerinduan, kemesraan dan saling memaafkan.

Sementara itu, Kui Hong lari menuju ke belakang, dimana kakeknya mengurung diri dan kabarnya tidak mau mencampuri urusan dunia. Setibanya di luar kamar kakeknya yang daun pintunya tertutup, ia tidak berani lancang membuka daun pintu. Ia tau betapa galak kakeknya itu, dan biarpun dahulu kakeknya itu amat menyayanginya, namun karena sudah lama ia pernah meninggalkan Cin-ling-pai bersama ibunya, ia merasa agak asing lagi dengan kakenya. Dari luar pintu kamar itu iapun berseru memanggil,

“Kong-kong…..! Kong-kong, ini aku Kui Hong yang ingin bicara dengan kong-kong”

Sampai tiga kali ia mengulang panggilannya, barulah ada jawaban dari dalam.
“Hemm, kau anak nakal sudah pulang? Bukalah pintunya dan masuklah!” Itulah suara kakenya jelas dan dalam.

Girang rasa hati Kui Hong. Iapun mendorong daun pintu kamar itu, dan baru saja hendak melangkah masuk, dari dalam kamar melangkah keluar seorang laki-laki muda. Usia laki-laki itu kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya putih dan boleh dibilang tampan, sepasang matanya tajam dan pria itu agaknya terpesona ketika bertemu pandang dengan Kui Hong. Akan tetapi dia segera menunduk dan bahkan agak membungkuk dengan sikap hormat, berdiri di samping membiarkan Kui Hong masuk lebih dulu!

Kui Hong tidak mengenal orang itu, akan tetapi karena orang itu keluar dari dalam kamar kakeknya, ia merasa heran bukan main dan menduga bahwa tentu ada hubungan baik antara orang ini dan kong-kongnya. Seorang laki-laki yang gagah dan sinar matanya sungguh tajam mencorong, akan tetapi asing baginya.

Kakek Cia Kong Liang duduk bersila diatas kasur. Sinar matahari menerangi kamar itu, masuk dari jendela kaca terbuka menembus ke dalam taman kecil dari kamar itu yang tertutup dinding. Taman itu adalah taman pribadi kakek Cia Kong Liang, Kui Hong memandang kepada kakeknya penuh perhatian.

Seorang kakek yang usianya sudah menjelang tujuh puluh tahun, tubuhnya masih tegak dan tegap, gagah. Rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua, terpelihara rapi. Kamar itupun nampak bersih walaupun sederhana sekali. Ada rasa haru dan iba di hati Kui Hong melihat keadaan kakenya ini yang mengasingkan diri. Agaknya seperti juga ayah dan ibunya, kakeknya ini penuh dengan rasa penyesalan dan mengalami banyak kepahitan hidup.

“Kong-kong, aku datang….!” kata Ku Hong, lalu ia duduk bersimpuh di depan kakeknya.

Orang tua itu memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Kui Hong, cucuku yang nakal! kemana saja kau selama ini?” tegur sang kakek dan rasa sayangnya terhadap cucu ini tergetar melalui suaranya.

Kui Hong dapat merasakan getaran kasih sayang kakeknya itu. Hatinya terharu.
”Kong-kong, aku telah pergi membantu pemerintah dengan para pendekar lain, membasmi gerombolan perampok dan berhasil dengan baik, Gerombolan perampok yang di Bantu oleh para tokoh sesat itu dapat di hancurkan dan sebagian besar tokoh sesatnya…”

Kui Hong bercerita tentang pembasmian gerombolan pemberontak itu, di dengarkan dengan wajah berseri oleh kakeknya. Setelah ia selesai bercerita, kakek itu mengangguk-angguk.

“Aku bangga sekali mendengar ceritamu, Kui Hong. Engkau tidak memalukan menjadi keturunan Cin-ling-pai, aku sebagai kong-kongmu ikut merasa bangga bahwa engkau telah bersikap seperti seorang pendekar sejati, dapat berbakti kepada nusa dan bangsa.”

“Kong-kong, ada berita yang lebih baik daripada itu!”

“Berita apa cucuku?”

“Berita yang datang dari tempat ini, kong-kong, yaitu bahwa mulai hari ini ayah dan ibu telah akur kembali, Ayah telah meninggalkan tempat pertapaanya di dekat makam dan kini berkumpul dengan ibu.”

Wajah kakek ini nampak cerah dan sepasang matanya yang tadinya redup itu agak bercahaya.

”Terima kasih kepada Thian…..! setiap saat itulah yang menjadi doa terutama.”






Lega rasa hati Kui Hong melihat betapa kakeknya juga bergembira mendengar berita ini.

”Lalu kapankah kong-kong sendiri meninggalkan kurungan ini dan hidup diluar seperti biasa? Berjalan memberi petunjuk ilmu silat kepadaku?” Ajaknya.

Kakek itu tersenyum.
”Hmm jangan kau mentertawakan kakemu, Kui Hong. Apa lagi yang dapat kulakukan untuk memberi petunjuk kalau tingkat ilmu silatmu sekarang lebih tinggi dari kakekmu yang loyo ini? Dan tentang keluar itu…, ah, aku sudah terlalu tua untuk ikut memusingkan urusan dunia akan tetapi aku berjanji akan sering keluar dari kamar ini”

“Tentu kong-kong harus keluar. Bukankah menurut ayah, disini akan diadakan pesta ulang tahun kakek yang ke tujuh puluh?”

Kakek itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, sambil mengelus jenggotnya yang putih.

”Baiklah, baiklah…. ah, Hui Song memang anak yang baik dan berbakti. Sayang dia tidak berbakat dan tidak suka menjadi ketua…”

Mendengar kakeknya menyinggung soal kedudukan ketua, Kui Hong menjadi berani untuk membicarakan soal itu.

”Kong-kong, menurut ayah, katanya dalam pesta itu yang dihadiri banyak tokoh persilatan, ayah akan mengadakan pemilihan ketua Cin-ling-pai yang baru, benarkah itu? Kata ayah, dia akan mengundurkan diri, akan merantau bersama ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah dan tempat-tempat lain.”

Kakek Cia Kong Liang mengangguk-angguk dan masih mengelus jenggotnya.
”Hal itu sudah kami bicarakan secara serius. Ayahmu hendak merombak ketentuan yang sudah turun temurun, hendak mamutuskan ikatan antara keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia benar juga. Cin-ling-pai adalah sebuah perguruan silat, bukan milik keluarga Cia. Siapa saja yang baik dan tepat untuk menjadi ketua demi kemajuan Cin-ling-pai. Dan aku sudah mempunyai pandangan, siapa kiranya yang paling tepat untuk menjadi ketua baru Cin-ling-pai menggantikan ayahmu.”

Kui Hong diam-diam terkejut, akan tetapi ia lalu teringat akan pria yang baru saja meninggalkan kamar kakeknya.

”Kong-kong, siapakah orang yang baru keluar dari sini tadi? Aku tidak pernah melihatnya.”

“Nah, dia itulah yang menjadi calonku, untuk memimpin Cin-ling-pai. Biarpun dia masih muda, namun dia bijaksana, dan dalam hal ilmu silat kiranya tidak di sebelah bawah tingkat ayahmu dan ibumu sekalipun.”

Tentu saja Kui Hong terkejut mendengar ini. Seorang murid Cin-ling-pai yang memiliki tingkat kepandain tidak kalah oleh ayahnya atau ibunya? Luar biasa!

“Tapi, siapakah dia, kong-kong? Apakah murid Cin-ling-pai!”

“Namanya Tang Cun Sek, tentu saja dia murid Cin-ling-pai!”

“Tapi, kong-kong. Kalau dia murid Cin-ling-pai bagaimana sampai aku tidak mengenalinya?”

“Memang dia murid baru. Hanya beberapa bulan setelah engkau dan ibumu meninggalkan Cin-ling-pai, dia menjadi murid dan anggauta Cin-ling-pai. Karena itu, engkau tidak pernah melihatnya.”

Kui Hong mengerutkan alisnya dan di dalam hatinya menghitung-hitung lalu berkata,
“Kong-kong, sampai sekarang, kepergianku itu baru lewat empat tahun. Bagaimana dia yang baru belajar empat tahun disini, sekarang sudah memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan ayah dan ibu? Hal itu sungguh tidak mungkin!”

Kakek itu tersenyum,
“Mengapa tidak mungkin? Ketika dia masuk menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah memiliki ilmu silat yang tinggi! Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecilnya suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga dia telah mempelajari banyak macam ilmu silat dari perguruan-perguruan silat yang besar. Dia masih juga belum puas dan dia belajar disini untuk menambah pengetahuannya. Ternyata dia berbakat sekali dan semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasai dalam waktu singkat. Dia memang pantas menjadi ketua baru, karena dengan ilmunya yang banyak macamnya itu, tentu saja ia dapat menambah perbendaharaan ilmu di Cin-ling-pai. Bahkan menurut pendapatku, diapun pantas untuk menjadi jodohmu, Kui Hong.”

“Ihhh! Kong-kong ini ada-ada saja!” teriak Kui Hong, mukanya berubah merah sekali.

Kakek itu tertawa.
“Aku tidak main-main, cucuku. Bahkan pernah aku membicarakan hal ini dengan ayahmu. Ketahuilah, sudah menjadi kebiasaan didalam dunia persilatan bahwa seorang gadis akan memilih jodohnya yang gagah perkasa dan yang mampu mengalahkan ilmu silatnya. Dan aku melihat bahwa semua syarat itu ada pada diri Cun Sek! Dia seorang pemuda yang sudah matang, wajahnyapun tampan, sepak terjangnya gagah perkasa, diapun memiliki pengetahuan cukup tentang ilmu baca tulis, dan ilmu silatnya tinggi. Apalagi kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai, berarti dia masih keluarga sendiri sebagai jodohmu, dengan demikian, walaupun berlainan she, tetap saja Cin-ling-pai masih dipegang oleh anggauta keluarga sendiri.”

Diam-diam Kui Hong mengerti mengapa kakeknya agaknya demikian bersemangat untuk menjodohkan ia dengan pria yang bernama Tang Cun Sek itu, dan mendukung pengangkatan Cun Sek sebagai ketua baru Cin-ling-pai. Kiranya kakek itu ingin agar pimpinan Cin-ling-pai tidak terjatuh kepada orang lain!

Kalau Cun Sek menjadi suaminya, berarti bahwa Cun Sek masih anggota keluarga, mantu dari ayahnya! Mengertilah gadis ini bahwa persetujuan kakeknya mengenai pergantian ketua di Cin-ling-pai adalah persetujuan yang terpaksa dan berlawanan dengan suara hati kakeknya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada kong-kongnya itu. Pendirian kakeknya masih tetap keras, akan tetapi kini terjadi perubahan, yaitu sikap kakeknya menjadi lebih lunak, tidak seperti dahulu bahwa setiap kehendaknya tidak boleh dibantah oleh siapapun.

Karena ia tidak ingin berbantahan dengan kakeknya atau mengecewakan hatinya, maka ketika kakeknya mendesaknya dan menanyakan pendapatnya, ia hanya menjawab,

“Kita lihat bagaimana nanti sajalah, kong-kong.”

Setelah meninggalkan kamar kakeknya, Kui Hong lalu keluar dan berkunjung keperkampungan Cin-ling-pai dimana terdapat sekelompok rumah yang menjadi tempat tinggal para murid Cin-ling-pai. Semenjak ayahnya menjadi ketua, Cin-ling-pai tidak pernah menerima murid wanita, dan ia merupakan satu-satunya murid wanita!

Semua murid Cin-ling-pai adalah pria, sebagian ada yang tinggal di luar dan mereka ini adalah murid-murid yang sudah berkeluarga, sedangkan yang masih bujangan tinggal di perkampungan Cin-ling-pai. Jumlah mereka mendekati seratus orang!

Kedatangan Kui Hong disambut oleh para murid Cin-ling-pai, ada yang menyambutnya dengan gembira, adapula yang bersikap biasa, dan bahkan ada yang bersikap dingin! Mereka itu terdiri dari pria-pria yang berusia antara duapuluh sampai empatpuluh tahun. Tentu saja banyak diantara mereka yang diam-diam mengagumi Kui Hong sebagai pria terhadap wanita, namun dapat dimengerti bahwa tak seorangpun berani menyatakan perasaan kagum dan suka ini secara berterang.

Kui Hong melihat jelas bahwa ada semacam kelesuan diantara para murid Cin-ling-pai. Hal ini adalah karena terjadinya peristiwa menyedihkan didalam keluarga ketuanya, sehingga membuat ketua mereka mengasingkan diri di dekat makam dan ketua lama mengasingkan diri didalam kamar. tentu saja mereka semua merasa bingung dan seperti kehilangan pasangan, namun mereka masih memandang muka nyonya ketua yang amat lihai sehingga tidak membuat ulah macam-macam.

Melihat sikap mereka yang dingin dan lesu, Kui Hong segera menegur mereka sambil tersenyum ramah.

“Heii, kalian ini mengapakah? Seperti lampu kehabisan minyak! Aku ini masih Cia Kui Hong yang dahulu itu, teman kalian berlatih silat dan bermain-main! Hayo kita berkumpul di lian-bu-thia (ruangan latihan silat), ingin aku meliah sampai dimana kemajuan para suheng dan sute disini’’

Melihat kegembiraan gadis itu, ajakan itu disambut oleh para murid yang masih muda dengan gembira. Mereka mengikuti Kui Hong dan sebentar saja lian-bu-thia itu penuh dengan murid Cin-lin-pai. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. Hanya mereka yang agak tua dan menjadi suheng (kakak perguruan ) dari Kui Hong yang tidak ikut. Mereka ini merasa diri sudah tua dan berkedudukan lebih tinggi, maka mereka tidak mencampuri kegembiraan para murid muda itu. Mereka adalah murid-murid tua dari Cin-ling-pai, bahkan ada beberapa orang masih terhitung susiok (paman guru) dari Kui Hong karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Cia Hui Song, atau murid langsung dari kakek Cia Kong Liang.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar