*

*

Ads

Rabu, 27 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 014

Mendengar ini, Kui Hong menjadi semakin berduka.
“Dan kong-kong?”

“Dia selalu mengurung diri di dalam kamar samadhinya, tidak pernah mau keluar lagi.”

“Ah, ahhh…., mengapa keluarga kita menjadi begini? Biar kucoba jumpai mereka!”

Kui Hong lari meninggalkan kamar ibunya, lalu dicarinya makam Siok Bi Nio di bukit belakang kebun Cin-ling-pai. Dan benar saja, di makam yang sunyi itu ditemukannya ayahnya, sedang duduk bersamadhi didalam sebuah pondok sederhana yang dibangun dekat sebuah makam sederhana.

“Ayah….!”

Kui Hong menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu sambil memegang lututnya, mengguncang-guncangnya.

Cia Hui Song adalah seorang pendekar yang usianya sudah empatpuluh dua tahun. Dulu, diwaktu mudanya, dia terkenal lincah, gembira, ugal-ugalan dan nyentrik. Ilmu kepandaiannya tinggi, sebagai ahli waris ilmu-ilmu keluarga Cin-ling-pai dan juga pernah menjadi murid Siangkiang Lojin, satu diantara Delapan Dewa yang kini telah tiada.

Akan tetapi, semenjak dia diharuskan menikah lagi dan terpaksa anak isterinya pergi meninggalkannya, wataknya sudah berubah menajdi pendiam. Kini, dia lebih berubah lagi. Sinar matanya redup ketika dia membuka mata memandang kepada Kui Hong, dan tersenyum lemah menghias bibirnya. Wajahnya juga kurus dan rambutnya kusut, agaknya tidak pernah dia mempersolek diri.

“Kui Hong, engkau datang……..?” katanya sambil membuka lipatan kedua kakinya, lalu duduk diatas bangku yang terdapat di pondok itu. “Duduklah.”

Kui Hong bangkit dan iapun mengambil tempat duduk diatas bangku, berhadapan dengan ayahnya. Pria itu pura-pura tidak melihat sinar mata anaknya yang penuh keprihatinan dan tuntutan, lalu bertanya,

“Bagaimana dengan perjalananmu, Kui Hong? Bagaimana pula dengan pemberontakan yang beritanya santer sampai disini pula itu?”

Akan tetapi Kui Hong tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan tak pernah ia melepaskan pandang matanya yang dengan tajam mengamati wajah ayahnya. Kemudian ia berkata, suaranya penuh tuntutan.

“Ayah, apakah yang terjadi dengan keluarga kita? Dahulu kuanggap bahwa ayah dan ibu adalah dua orang yang paling gagah perkasa di dunia ini! Akan tetapi apa yang kudapat sekarang? Ayah dan ibu hanyalah orang-orang yang lemah dan cengeng!”

Hui Song yang tadinya menunduk kini mengangkat mukanya dan matanya bersinar sekilat ketika memandang kepada puterinya. “Kui Hong, apa yang kau katakan ini? Engkau tidak tahu apa yang telah terjadi…”

“Aku tahu semua, Ayah. Aku sudah mendengar semua cerita ibu tentang peristiwa yang terjadi pada keluarga kita. Semua itu sudah terjadi! Tidak ada yang bersalah dalam hal ini! Semua terjadi karena keadaan! Perlu apa bersikap lemah dan cengeng, mengurung diri dan menyiksa batin sendiri seperti yang dilakukan Ayah dan Kakek? Apakah kalau Ayah bersikap seperti ini, murung, berduka, menangis, menjaga makam selama hidup, apakah dengan sikap semacam ini lalu segala yang sudah terjadi itu akan berubah? Apakah isteri muda Ayah yang telah meninggal itu akan hidup kembali? Apakah kesalahan yang bukan berasal dari keluarga kita akan tertebus? Apakah dengan sikap ini Ayah mendatangkan kebaikan-kebaikan, baik bagi diri sendiri mau pun bagi keluarga kita dan orang lain?”

“Kui Hong…!” Cia Hui Song terkejut bukan main setelah diberondong serangan kata-kata oleh puterinya itu.

“Dengar dulu, Ayah!” Kui Hong melanjutkan, setengah membentak dan sekarang gadis itu bangkit berdiri, wajahnya merah dan matanya mencorong. “Sikap Ayah ini terlampau iba kepada diri sendiri, terlalu lemah sehingga Ayah lupa bahwa Ayah adalah seorang suami, seorang ayah, bahkan seorang ketua yang masih memiliki banyak tugas dalam hidup ini! Dan Ayah meninggalkan semua tugas itu hanya untuk menangisi dan merenungi nasib di depan makam ini! Apakah Ayah mengira bahwa isteri Ayah yang telah meninggal ini, yang menurut ibu amat mencinta Ayah, akan girang dan arwahnya akan tenteram kalau melihat keadaan Ayah seperti ini? Menurut ibu, isteri muda Ayah itu membunuh diri dan sengaja berkorban demi kebahagiaan Ayah! Dan sekarang, apabila dia melihat bahwa Ayah justru sama sekali menjadi tidak berbahagia seperti ini, apakah dia tak akan menyesal? Dengan demikian Ayah akan semakin menjerumuskan diri ke dalam dosa. Sudah berdosa kepada ibu dan kini berdosa pula kepada isteri kedua Ayah. Dan Ayah juga membikin susah aku, anakmu, dan juga adil Kui Bu!”

Semenjak tadi Hui Song mendengarkan ucapan puterinya, kata demi kata, dan terjadilah perubahan pada wajahnya. Wajah yang tadinya layu itu sekarang perlahan-lahan berubah kemerahan seperti orang marah, kemudian pucat kembali, dan akhirnya ia menggerakkan kedua tangannya menutupi mukanya!

Melihat ada air mata keluar dari celah-celah jari tangan ayahnya, Kui Hong menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis. “Ayah…! Ayah… maafkan anakmu…!”

Akan tetapi tiba-tiba ayahnya merangkulnya dan memegang pinggangnya dengan kedua tangan, lantas ayahnya mengerahkan tenaga dan tubuh Kui Hong diangkatnya ke atas. Ketika dengan hati terkejut Kui Hong menunduk untuk melihat wajah ayahnya, dia melihat sebuah wajah yang basah dengan air mata, akan tetapi wajah itu penuh senyum, matanya bersinar-sinar, wajah itu berseri bagaikan setangkai bunga yang tadinya layu namun kini mendapatkan siraman hujan dan hidup kembali, segar kembali!

“Engkau benar! Engkau Kui Hong anakku yang hebat! Engkau benar! Ah, betapa tololnya aku! Sungguh, aku telah gagal sebagai suami dan ayah, akan tetapi mulai sekarang akan kurubah semua itu!”

Dia membawa Kui Hong keluar pondok, menurunkan gadis itu dan dengan gerakan kaki tangannya, pendekar itu lantas menghancurkan pondoknya! Pondok sederhana itu hancur berantakan diterjang kaki tangannya!

“Ha-ha-ha! Hancurlah semua bayangan muram. Habislah sudah keluh kesah dan iba diri!”

Kemudian dia menghampiri bong-pai (nisan) makam Siok Bi Nio, menepuk-nepuk nisan itu kemudian terdengar dia berkata lirih, “Bi Nio isteriku, maafkan kelemahanku selama ini. Engkau mengasolah yang tenang, isteriku, karena pengorbananmu tak akan sia-sia. Mulai sekarang suamimu hidup berbahagia, dan anak kita Kui Bu akan kudidik menjadi seorang manusia yang luhur budi!”

Dengan kedua mata basah saking gembiranya Kui Hong mengamati semua gerak-gerik ayahnya. Kemudian mereka saling rangkul, dan dengan berangkulan mereka lalu kembali ke rumah induk Cin-ling-pai!

Tentu saja Ceng Sui Cin menyambut kedatangan ayah dan anak itu dengan terbelalak. Hampir dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri! Dia melihat suaminya dan puterinya itu berangkulan dan bergandengan, datang kepadanya dengan sikap demikian gembira, seakan-akan kedua orang itu sedang berpesta. Keduanya jelas habis menangis, bahkan pipi mereka masih basah air mata, pipi yang kemerah-merahan dan berseri-seri, dengan bibir penuh senyum.

Ketidak percayaannya itu lenyap seketika setelah suaminya melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian memeluknya dan di depan Kui Hong, suaminya itu mencium kedua pipinya. Dia meronta dan melepaskan diri, mukanya berubah merah sekali dan sekarang dia percaya bahwa suaminya beserta puterinya itu agaknya mabok atau gila

“Ihhh…! Apa-apaan ini?” bentaknya. “Apakah engkau telah menjadi gila?”

Hui Song tersenyum, senyum yang amat dikenalnya, senyum yang dahulu ketika mereka masih sama-sama muda, senyum yang membuat wajah suaminya demikian tampan dan menarik, senyum yang dulu membuat hatinya jatuh cinta kepada Hui Song!

“Memang aku sudah gila, kita berdua sudah gila, isteriku. Namun berkat kehebatan anak kita Kui Hong, mulai hari ini aku sembuh, aku waras! Selama ini kita terlalu membesar-besarkan iba diri, tidak berani melihat kenyataan dan sudah menyia-nyiakan hidup kita! Cin-moi, bukankah kita masih saling memiliki, saling mencinta? Katakanlah di depan anak kita, bukankah engkau masih cinta kepadaku, seperti cintamu dahulu? Jawablah!”

Semenjak tadi Sui Cin merasa perasaannya seperti diremas, keharuan dan kebahagiaan memenuhi hatinya sehingga kedua matanya menjadi panas dan air matanya jatuh bertitik. Kini dia tak mampu menjawab, melainkan hanya mengangguk. Dan bagaikan ditarik besi sembrani, suami isteri itu saling berangkulan lagi dan sekarang Sui Cin membalas ciuman suaminya!

“Ihhh! Ayah dan ibu lupa bahwa aku berada disini, hik-hik!”

Kui Hong dengan nakal berseru. Hui Song dan Sui Cin menghentikan ciuman dan dengan muka merah mereka memandang puteri mereka. Seketika, merekapun sadar akan kekeliruan masing-masing. Membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal yang telah lalu, sungguh tidak ada gunanya sama sekali! Itu merupakan suatu kebodohan besar!

Menyadari kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan dalam hidup adalah suatu kebijaksanaan! Waspada akan diri sendiri sehingga setiap saat dapat melihat kesalahan diri sendiri, kelemahan dan keburukan diri sendiri, adalah kebijaksanaan yang mutlak perlu kita miliki.

Akan tetapi, kesadaran ini membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu dibarengi tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lalu menyesali dan membenamkan diri dalam duka! Sikap seperti tiu sungguh tidak ada gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada maupun penciptanya, yaitu Sang Maha Pencipta!

“Ih, anak bengal! Kau seperti anak kecil saja mau menggoda orang tua!” kata Sui Cin dengan kedua pipi kemerahan.

Wanita ini nampak cantik sekali dan kini tanpa disadarinya, kedua tangannya merapikan rambut kepalanya!

“Wah, ibu cantik sekali kalau begini. Lihat, ayah. Bukankah ibu cantik sekali? Dan ayah harap berganti pakaian yang baik, mencukur kumis itu dan mencuci rambut ayah!”

Hui Song tersenyum, maklum akan godaan puterinya.
“Sudahlah, anakku. Engkau berjasa besar bagi kehidupan ayah ibumu. Sekarang, ceritakan semua pengalamanmu.”

Sambil duduk diantara kedua orang tuanya dan merangkul ibunya, Kui Hong lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah dialaminya ketika ia membantu pemerintah membasmi pemberontak. Juga diceritakannya betapa ia bertemu dengan banyak pendekar-pendekar lihai disana.






“Hampir semua tokoh sesat yang membantu pemberontakan dapat ditewaskan, dan pasukan pemberontak dapat dibasmi,” demikian Kui Hong mengakhiri ceritanya.

“Mungkin hanya sedikit saja yang lolos.”

Ayah ibunya mengangguk-angguk, dan mereka saling pandang, teringat betapa anak mereka bukanlah anak kecil lagi, melainkan seorang gadis yang sudah dewasa, lebih dari dewasa untuk mendirikan kehidupan baru sebagai seorang isteri di samping suaminya tercinta!

“Ah, pengalamanmu itu amat berharga, Hong-ji, dan tentu dapat menambah pengetahuanmu, juga membuatmu semakin matang. Tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?” tanya Sui Cin.

“Eh, ibu ini! Kenapa sih tanya-tanya usia? Bukankah ibu juga ingat bahwa usiaku sekarang sembilan belas tahun?”

“Sembilan belas tahun!” Hui Song yang sudah tahu akan isi hati isterinya berseru, “Betapa cepatnya waktu! Sekarang engkau sudah seorang gadis yang dewasa, terlalu dewasa untuk hidup sendirian lebih lama lagi.”

Kui Hong mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ayahnya.
“Apa maksud ayah dengan ucapan itu?”

Hui Song tertawa,
“Ha, apalagi kalau bukan sudah tiba waktunya bagi kami untuk mempunyai seorang menantu? Sembilan belas tahun sudah bukan kanak-kanak lagi, Hong-ji, dan kami akan merasa gembira kalau engkau sudah mempunyai seorang pilihan hati sendiri. Mungkin, engkau bertemu dengan seorang pemuda yang berhasil menjatuhkan hatimu?”

Wajah Kui Hong berubah merah. Ayahnya ini benar sudah pulih kembali wataknya, bicara tentang hal itu demikian terang-terangan! Dan ibuya juga tersenyum-senyum. Iapun teringat kepada Hay Hay! Terbayang pengalaman ketika itu untuk pertama kalinya bertemu dengan pemuda itu. Sikap dan wajah Hay Hay sangat menarik perhatiannya dan kata-kata Hay Hay yang demikian penuh rayuan juga kehebatan ilmu silat pemuda itu, telah menjatuhkan hatinya. Bahkan di dalam hutan, ia pernah berciuman dengan pemuda yang di kaguminya itu.

Akan tetapi, Hay Hay menolak hubungan yang lebih akrab. Ketika ia mengaku cinta, pemuda itu dengan terus terang mengatakan bahwa biarpun pemuda itu suka dan kagum kepadanya, namun ia tidak mencintainya! Betapa nyeri rasa hatinya! Apalagi ketika ia mendengar tuduhan-tuduhan, betapa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul yang memperkosa wanita, ia merasa benci sekali dan ingin membunuhnya. Namun, kemudian ternyata bahwa pemerkosa itu bukan Hay Hay, melainkan Ang-hong-cu! Dan setelah melihat kenyataan bahwa Hay Hay bukanlah pemuda jahat seperti yang dituduh orang, cintanyapun tumbuh kembali.

“Hei, Hong-ji, kenapa engkau menjadi melamun? Jawablah pertanyaan ayahmu tadi. Agaknya benar bahwa ada seorang pemuda yang telah menjatuhkan hatimu, ya?” tegur ibunya.

Kui Hong mengangguk, akan tetapi mukanya tidak menunjukkan kegembiraan, sehingga ayah ibunya saling pandang, kemudian memandang anaknya dengan khawatir dan pandang mata mereka penuh pertanyaan. Kui Hong menarik napas panjang, lalu memaksa diri tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.

“Aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda, akan tetapi…. dia tidak cinta kepadaku……” Lehernya terasa seperti dicekik, akan tetapi Kui Hong mengeraskan hatinya dan iapun mampu tersenyum, “Sudahlah, aku tidak mau bicara tentang dia lagi!”

Diam-diam suami isteri itu merasa terharu dan kasihan kepada puteri mereka. Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya dan diam-diam ia mengutuk pemuda yang telah menjatuhkan hati puterinya itu. Butakah pemuda itu sehingga ia menolak cinta kasih seorang gadis seperti Kui Hong? Apakah kekurangannya? Cantik, jelita, manis, bentuk tubuhnya indah, budi pekertinya baik, gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Adapun Hui Song hanya tersenyum walaupun hatinya juga dipenuhi perasaan iba, lalu dia berkata untuk menghibur hati anaknya.

“Cinta tidak datang sepihak saja, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Engkau benar, Kui Hong, tidak perlu lagi mengingat tentang orang yang tidak mencintaimu. Sebaiknya kita melakukan persiapan untuk mengadakan pesta dan pertemuan besar.”

“Ehh? Pesta apa dan pertemuan besar apa?”

Sui Cin bertanya, mengamati wajah suaminya, juga Kui Hong memandang heran kepada ayahnya.

Hui Song tidak menghentikan senyumnya.
“Pertama, dan hal ini hanya kita bertiga yang mengetahui, untuk merayakan persatuan hati kita kembali. Kedua, untuk memilih seorang ketua Cin-ling-pai yang baru…..”

“Ayah…..! Mengapa? Bukankah ayah yang menjadi ketua Cin-ling-pai dan hal ini sudah tepat sekali? Kenapa harus dilakukan pemilihan ketua baru?”

Ayahnya menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Sebetulnya, sejak dulu aku tidak suka menjadi seorang ketua. Aku sudah biasa bebas, dan watakku tidak mau terikat. Apalagi sekarang. Aku ingin merantau bersama ibumu, ingin berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan mengunjugi tempat-tempat indah lainnya, berdua saja.”

“Wah, akupun ingin sekali!” seru Sui Cin dan ia nampak bersemangat sekali, seolah-olah kembali muda membayangkan betapa ia akan pergi berdua saja dengan suaminya. “Akan tetapi….., Kui Bu…..,” sambungnya ragu.

“Anak itu masih terlalu kecil untuk dapat kita didik. Biarlah dia dirumah dan kita serahkan kepada inang pengasuh yang dapat dipercaya. Bukankah Kui Hong juga berada di rumah? Ia dapat mengamati adiknya.”

“Jangan khawatir, ibu. Aku akan menjaga adik Kui Bu,” kata Kui Hong yang ikut girang melihat keadaan ibunya. “Akan tetapi, ayah. Kalau ayah mengundurkan diri selaku ketua Cin-ling-pai, lalu siapakah yang akan menjadi penggantinya? Siapa yang tepat untuk menjadi ketua baru?”

“Karena itulah harus dilakukan pemilihan. Hal ini sebelumnya telah kubicarakan dengan kong-kongmu dan diapun setuju. Kebetulan, kita akan merayakan hari ulang tahun kong-kongmu yang ke tujuh puluh. Kita mengambil peristiwa itu untuk mengadakan pesta, mengundang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal untuk menjadi saksi pula akan pemilihan itu agar nama Cin-ling-pai menjadi semakin cerah dan terpandang.”

“Akan tetapi, ayah. Bukankah selama ini Cin-ling-pai diketuai oleh keluarga Cia turun temurun? Ayah menggantikan kakek, dan kakek menggantikan kakek buyut?”

“Memang demikian, dan inilah sesungguhnya yang membuat keadaan menjadi tidak sehat. Perkumpulan bukanlah milik seseorang, apalagi perkumpulan seperti Cin-ling-pai yang juga menjadi perguruan silat. Bukan anak keturunan saja yang mewarisi ilmu silat dari ketua. Masih banyak murid lain yang mungkin lebih pandai. Kalau anak keturunan yang diharuskan menggantikan menjadi ketua, seperti kaisar, maka mungkin terjadi perkumpulan itu dipimpin oleh seorang yang tidak berbakat menjadi pimpinan, atau yang tiada minat terhadap perkumpulan. Seperti aku ini. Dan perkumpulan tidak akan maju. Karena itu, aku hendak mengubah kebiasaan ini. Sekarang yang terpandai sajalah yang berhak menjadi ketua, terpandai bukan saja dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam hal memimpin perkumpulan, yang berbakat dan berminat.”

Diam-diam Sui Cin menyetujui pendapat suaminya ini. Bukankah keretakan keluarganya yang pernah terjadi juga menjadi akibat dari kekukuhan ayah mertuanya yang ingin sekali memperoleh cucu laki-laki agar kelak dapat melanjutkan sebagai ketua Cin-ling-pai? Dan tanpa kata-katapun ia dapat menyelami pikiran suaminya. Kalau datang banyak tamu dari dunia persilatan, berarti membuka kesempatan bagi puteri mereka untuk mencari atau dicarikan jodoh!

“Ah, tentu banyak datang kenalan lama, tokoh-tokoh persilatan yang lihai, pimpinan perkumpulan-perkumpulan dan perguruan silat yang terkenal,” katanya. “Dan siapa tahu, diantara mereka itu ada yang berjodoh untuk menjadi besan kami!”

“Ihh, ibu! Agaknya ayah dan ibu yang sudah merindukan besan, padahal aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!” berkata demikian Kui Hong merangkul ibunya.

Ayah, ibu dan anak ini bercakap-cakap dengan asyik dan melepaskan kerinduan mereka, kemudian Kui Hong yang tahu bahwa ayah dan ibunya baru saja “akur” kembali, mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua saja.

“Aku ingin menemui kong-kong dan para suheng dan sute!” Dan keluarlah ia dari dalam rumah itu.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar