*

*

Ads

Senin, 25 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 004

Kakek itu menghela napas panjang, lega dan nyaman rasanya ketika dia duduk diatas lantai dekat api unggun. Bun An menambahkan kayu pada api unggun itu sehingga ruangan itu menjadi lebih hangat dan terang. Ketika Bun An menengok, kakek itu ternyata masih saja memejamkan kedua matanya.

Melihat roti dan daging masih banyak, sisa makanan perampok tadi, Bun An berkata,
“Lo-kai….., apakah engkau lapar?”

“Hemm…..?” kakek itu menengok kekanan, ke arah anak itu duduk, akan tetapi kedua matanya tetap terpejam. “Kalau aku lapar, mengapa?”

Bun An memandang ke arah roti dan daging, masih amat banyak, cukup untuk dimakan empat lima orang dan mulutnya menjadi basah. Dia menelan ludah sebelum menjawab,

“Kalau kau lapar, disini ada roti dan daging, boleh kau makan, Lo-kai.”

Pada saat itu, perut Bun An berkeruyuk. Sejak kemarin malam, dia tidak makan apa-apa. Sehari tadi sama sekali perutnya tidak diisi apa-apa, kecuali air jernih. Dia cepat menengok kepada kakek itu, merasa malu kalau-kalau kakek itu mendengar bunyi perutnya. Sudah terlalu sering selama dua tahun lebih ini dalam perantauannya dia menderita kelaparan. Dia sampai hafal bagaimana rasanya kelaparan itu.

Mula-mula, kalau perut mulai lapar, berkeruyuk dan melilit-lilit, seolah ada jari-jari tangan di dalam lambungnya yang bergerak-gerak, menggapai-gapai dan mencakar-cakar. Air mampu mengurangi rasa melilit-lilit ini, dan makin lama, tubuh terasa lemas, ringan dan kepala mulai agak pening, mata terasa mengantuk. Kemudia terasa kembali perut yang melilit-lilit, sebentar saja, dan kembali lemas dan ringan.

Kini, perutnya juga melilit-lilit dan berkeruyuk. Maka, dia dengan cepat menelan ludahnya dan menghentikan suara berkeruyuk itu. Biasanya ini dapat menghilangkan atau sedikitnya mengurangi kebisingan perutnya yang menuntut isi.

“Siauw-kai, apakah engkau juga lapar?”

Bun An mengangguk karena merasa agak malu untuk menjawab, akan tetapi dia ingat akan kebutaan kakek jembel itu, maka diapun menjawab lirih.

“Ya, sejak kemarin malam aku tidak makan apa-apa, akibat ulah tujuh orang perampok itu yang mengacau kota sehingga rumah-rumah makan tutup, tak seorangpun mau memberi sedekah makanan kepadaku.”

“Kalau begitu, mari kita makan,” kata Lo-kai dengan wajah gembira.

Bun An mengambilkan roti dan daging terbaik untuk kakek itu dan merekapun mulai makan dengan hati lega. Bun An sudah berpengalaman. Pernah dia hampir mati karena setelah dia hampir kelaparan dan mendapatkan makanan, dia makan dengan lahap.

Perut yang tadinya kosong itu secara tiba-tiba diisi dengan dijejal, dan hampir saja dia mati karena ini. Dia jatuh sakit sampai beberapa hari lamanya. Setelah peristiwa itu, dia berhati-hati dan kini, biarpun menurut nafsunya, ingin dia melahap roti dan daging itu, namun pengertiannya membuat dia makan dengan hati-hati.

Dia makan sedikit demi sedikit, dan itupun dikunyah sampai lembut benar baru ditelannya. Dia melihat bahwa kakek itupun makan dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Akan tetapi ternyata kakek yang sudah tidak bergigi lagi itu mampu mengunyah daging yang agak keras.

Setelah selesai makan, dan sisa makanan dibungkus kembali oleh Bun An, kakek itu minum arak. Bun An juga minum arak sedikit. Dia lebih suka minum teh atau air jernih.

“Siauw-kai, dimanakah rumahmu?” Tiba-tiba kakek itu bertanya.

Bun An menundukkan mukanya, teringat akan ibunya yang menikah dengan Ma Cun yang menjadi ayah tirinya itu. Lalu dia menggeleng kepala.

“Aku tidak mempunyai rumah, Lo-kai.”

“Yatim piatu?”

Bun An ingin mengiyakan, akan tetapi tidak tega membohongi kakek tua renta yang buta ini, apalagi kakek ini tadi telah menyelamatkannya dari tangan para perampok.

“Ayahku telah meninggal, ibuku menikah lagi dan ayah tiriku terlalu galak kepadaku, maka aku minggat sudah dua tahun lebih yang lalu.”






Kakek itu terdiam, merenung lama.
“Dan kau sendiri, Lo-kai? Dimana rumahmu?”

Kakek itu sadar dari lamunannya.
“Aku tidak punya rumah, akan tetapi aku mempunyai tempat tinggal di dalam goa, di Pegunungan Himalaya sana. Sudah lima tahun aku meninggalkan tempat tinggal itu, dan sekarang aku sudah bosan merantau, ingin tinggal disana, rindu akan keheningan. Kau mau ikut?”

“Ikut padamu, Lo-kai?” Lalu dia teringat akan peristiwa aneh tadi. “Lo-kai, kalau aku ikut, apakah kau mau mengajarkan aku cara mengalahkan para perampok seperti tadi?”

Kakek itu mengangguk.
“Tentu saja, kau kira mau apa aku mengajakmu ikut aku? untuk menjadi muridku, tentu saja. Dan kalau engkau sudah tamat belajar, jangankan tujuh orang itu, biar ada seratus orang seperti mereka, engkau takkan dapat terganggu oleh mereka!”

Bun An adalah seorang anak yang cerdik. Biarpun baru sepuluh tahun, namun kepahitan hidup membuat dia matang dan sudah banyak dia mendengar cerita dari para jembel lainnya tentang adanya orang-orang sakti dan para pendekar yang gagah perkasa. Diapun dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang diantara para tokoh sakti, maka diapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Suhu, teecu (murid) suka sekali ikut denganmu dan menjadi muridmu!”

Kakek itu tertawa. Suara ketawanya demikian nyaring, membuat Bun An terheran dan dia mengangkat muka. Pada saat itu, dia melihat kakek itu sedang memandang kepadanya, dengan sepasang mata terbuka dan mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Kakek itu sama sekali tidak buta!

“Suhu…..!” katanya ia terkejut dan agak ngeri ketakutan.

Kakek itu menyentuh kepalanya.
“Siauw-kai, tidak perlu engkau merubah sebutan. Aku tetap Lo-kai bagimu atau bagi siapapun. Aku tidak pernah mencampuri urusan dunia, dan hanya kebetulan saja kita saling bertemu. Karena itu, namaku tidak ada yang mengenalnya di dunia persilatan. Dan aku tidak mau engkau kelak memperkenalkan namaku. Maka, bagiku engkau tetap Siauw-kai dan bagimu aku adalah Lo-kai! Mengerti!”

“Baik, su….. eh, Lo-kai!”

Demikianlah, pada keesokan harinya, Lo-kai mengajak Bun An meninggalkan kuil.
“Akan tetapi, disini banyak sekali barang berharga, hasil perampokan Tujuh Harimau malam tadi, Lo-kai, lihat, ada satu buntalan besar berisi perhiasan, emas dan perak!”

“Hemm, untuk apa?”

“Lo-kai, kita mengemis untuk sepiring makanan, dan disini ada harta yang akan dapat membeli laksaan piring makanan, cukup untuk kita makan selama hidup puluhan tahun!”

“Huh, aku tidak butuh! Di tempat tinggalku sana, emas tidak laku, dan kita tidak bisa makan emas.”

“Tapi kalau barang ini ditinggalkan disini, tentu para perampok itu akan kembali datang mengambilnya!”

“Kalau begitu, bawalah, kita bagikan kepada mereka yang membutuhkan di dalam perjalanan nanti.”

Biarpun masih merasa penasaran dan heran Bun An tidak membantah lagi dan berangkatlah mereka menuju ke barat. Lebih besar lagi rasa heran dalam hati Bun An ketika melihat betapa kakek itu benar saja membagi-bagikan barang itu kepada rakyat dipedusunan yang miskin. Tentu saja barang itu dalam waktu sebentar saja habis dan mereka berdua tidak punya apa-apa lagi. Di sepanjang perjalanan untuk mengisi perut, guru dan murid itu mengemis!

Lo-kai mengajak Bun An ke Pegunungan Himalaya dan ternyata kakek itu benar saja tinggal di sebuah goa yang terpencil, di puncak sebuah bukit. Hawa disitu dingin bukan main, juga amat sunyi. Namun Bun An sudah mengambil keputusan bulat untuk mempelajari ilmu dari kakek itu, dan biarpun mereka hidup menghadapi keadaan yang serba kurang dan hawa udara yang kadang-kadang demikian dinginnya hampir tak tertahankan, namun anak itu mempunyai kenekatan luar biasa dan dia dapat mengatasi semua kesulitan hidup di tempat terasing ini.

Dan ternyata kakek itu, biarpun sama sekali tidak terkenal di dunia ramai, memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Banyak tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini yang tidak pernah mau memperkenalkan diri dan lebih suka bersembunyi di tempat-tempat asing, seolah-olah membawa kepandaian dan kesaktian mereka mati bersama mereka! Dari Lo-kai, Bun An mempelajari banyak macam ilmu. Bukan hanya ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu lain seperti menyamar dan merobah wajah, ilmu pengobatan dan lain-lain.

Tidak kurang dari sepuluh tahun lamanya Bun An menerima gemblengan dari kakek sakti yang hanya dikenalnya sebagai Lo-kai dan dia sendiri disebut Siauw-kai oleh kakek sakti itu.

Dengan tekun sekali Bun An mempelajari ilmu-ilmu dari kakek itu yang akhirnya, betapapun saktinya, tidak dapat melawan usia tua. Kalau ditanya oleh Bun An, Lo-kai sendiri tidak tahu berapa usianya, mungkin sudah ada seratus tahun! Dan pada waktu pagi, ketika Bun An terjaga dari tidurnya dan melihat gurunya, ternyata kakek itu sudah tidak bernapas lagi dalam keadaan duduk bersila!

Bun An tidak menangis, bahkan berdukapun tidak. Kakek itu selalu mengingatkan kepadanya bahwa antara mereka tidak ada ikatan apapun! Karena hal ini selalu disinggung, dan karena dia sendiri tidak pernah memperlihatkan keakraban yang menunjukkan kasih sayang, maka biarpun Bun An berterima kasih sekali kepada kakek yang menjadi gurunya itu, namun tidak ada ikatan apapun dalam perasaannya terhadap Lo-kai. Dan jenazah gurunya, kemudian diapun meninggalkan goa itu.

Pakaiannya tambal-tambalan seperti seorang pengemis muda, namun kini Bun An merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, penuh semangat dan gairah hidup karena dia percaya penuh kepada diri sendiri yang sudah diisi ilmu-ilmu oleh gurunya, yang membuatnya menjadi seorang pemuda yang amat lihai!

Tentu saja Bun An meningggalkan Himalaya, segera menuju ke kota raja, untuk mencari ibunya. Dia tidak takut kepada Ma Cun, bahkan diam-diam dia mengambil keputusan untuk menghajar ayah tirinya itu kalau berani menghinanya lagi!

Akan tetapi, setelah dia mendapatkan kenyataan yang sama sekali berubah! Ibu dan ayah tirinya sudah tidak berada di rumah lama itu, dan menurut para tetangga, ayah dan ibunya telah bercerai! Dia melakukan penyelidikan dan akhirnya dia memperoleh keterangan yang menyayat perasaan hatinya.

Menurut keterangan itu, harta benda yang dibawa oleh ibunya dihamburkan dan dihabiskan oleh Ma Cun, kemudian terjadi percekcokan setiap hari dan akhirnya ibunya disia-siakan oleh Ma Cun! Dan dalam keadaan yang amat terjepit itu, ibunya terjepit ke sarang pelacuran dan kini menjadi seorang pelacur!

Hebat sekali pukulan batin ini bagi Bun An. Dia ingin mendengar lebih jelas, maka dia cepat pergi kerumah pelacuran untuk mencari ibunya. Para penjaga rumah pelacuran itu, yang juga bertindak sebagai tukang pukul dan pelindung mucikari dan para pelacur, tentu saja menerima kedatangannya dengan marah. Seorang pemuda, biarpun tampan wajahnya, berpakaian seperti pengemis, mau apa datang ke rumah pelacuran? Yang datang kesitu hanyalah pria-pria tua muda yang berpakaian mewah, yang sakunya padat uang, bukan segala macam kaum jembel!

“Hei! Mau apa kau datang kesini?” bentak seorang tukang pukul yang bertubuh kurus kering karena suka menghisap madat.

“Kalau mau mengemis jangan ditempat ini! Pergi kesana ke pasar!” bentak orang kedua yang perutnya gendut seperti perut babi dan mukanya bulat itu membayangkan ketinggian hati.

Tentu saja sikap kedua orang ini memanaskan hati Bun An, akan tetapi dia masih dapat menahan diri dan masih dapat tersenyum.

“Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk mengambil seorang wanita yang bernama Kui Hui. Suruh ia keluar menemuiku, ada urusan penting yang akan kubicarakan dengannya.”

Mendengar disebutnya nama ini, dua orang tukang pukul itu saling pandang lalu tertawa. Yang kurus terkekeh menghina dan berkata.

“Kui Hui? Ha, ha! Memang ia paling tua disini, akan tetapi bukan paling murah. Disini dikenal istilah tua-tua keladi, makin tua semakin jadi! Apakah engkau mempunyai uang maka berani hendak memesan Kui Hui?”

“Keluarkan dulu uangmu, perlihatkan kepada kami!” kata si gendut.

Bun An mengerutkan alisnya. Memang dia sudah marah sekali mendapat kenyataan bahwa ibunya menjadi pelacur. Hal ini saja sudah mendatangkan kemarahan dan kebencian terhadap wanita yang menjadi ibunya. Maka, dia tidak dapat menahan lagi kesabarannya.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar