*

*

Ads

Senin, 25 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 005

“Mulut kalian sungguh busuk dan pantas dihajar!” Secepat kilat tangannya bergerak ke depan.

“Plak! Plakkk!”

Dua orang itu terpelanting, tubuh mereka terbanting keras dan mereka memegangi pipi yang di tampar sambil mengaduh-aduh. Sedikitnya ada tiga buah gigi yang copot dan darah mengalir keluar dari ujung bibir mereka yang menjadi bengkak sampai ke telinga. Akan tetapi mereka menjadi marah sekali. Dengan suara tidak jelas karena mulutnya bengkak sebelah, keduanya memaki-maki dan sudah mencabut golok, lalu menyerang kalang kabut. Akan tetapi, menghadapi dua orang tukang pukul di rumah pelacuran ini, tentu saja tidak ada artinya bagi Bun An. Kembali tangannya bergerak dan dua batang golok terlempar, lengan yang memegang golok menjadi lumpuh karena tulang lengan itu patah ditekuk tangan Bun An. Kini, dua orang itu mengaduh-aduh dan berteriak minta tolong.

Muncul empat orang kawan mereka, jagoan-jagoan yang menjadi tukang pukul di tempat pelesir itu. Melihat betapa dua orang teman mereka mengaduh-aduh dan agaknya dihajar oleh seorang pemuda berpakaian jembel, empat orang itu langsung saja menyerang dengan golok mereka.

Kembali Bun An berkelebatan dan empat batang golok beterbangan, diikuti robohnya empat orang itu yang merintih kesakitan, tangan kiri memegangi lengan kanan yang patah tulangnya! Melihat kenyataan ini, betapa enam orang tukang pukul itu dalam segebrakan saja roboh dengan patah tulang lengan, barulah mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Mereka menjadi ketakutan ketika Bun An melangkah maju.

“Kalian masih belum mau memanggil keluar Kui Hui? Ataukah harus kupatahkan dulu batang leher kalian?” kata pemuda itu.

Si tinggi kurus cepat memberi hormat dengan kaku karena lengannya tak dapat digerakkan.

“Harap ampunkan kami, taihiap (pendekar besar), saya akan memanggil keluar wanita itu……!”

Dengan terpincang-pincang si kurus itu berlari masuk. Tak lama kemudian keluarlah dia bersama seorang wanita cantik. Usia wanita itu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, apalagi karena pakaiannya indah dan mukanya dirias dengan bedak tebal dan gincu, juga penghitam alis.

Bun An segera mengenal ibunya dan ia merasa muak. Ibu kandungnya, seorang pelacur! Hampir saja dia meloncat pergi lagi, akan tetapi terbayang olehnya betapa ketika ia masih kecil, ibunya ini amat sayang kepadanya.

Wanita itu memang Kui Hui, ibu Bun An. Tadi ia diberitahu oleh si kurus yang ketakutan bahwa ada seorang tamu, seorang pemuda berpakaian jembel akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi minta agar ia keluar.

Kini, melihat seorang pemuda berpakaian tambal-tambalan, berwajah tampan, berdiri disitu sedangkan para tukang pukul masih mengaduh-aduh, Kui Hui menjadi heran. Wajah pemuda tampan yang tidak asing baginya, akan tetapi ia lupa lagi dimana ia pernah bertemu dengan pemuda itu. Biarpun ia merasa ragu untuk menerima tamu yang berpakaian tambal-tambalan, akan tetapi karena takut, iapun tersenyum manis dan melangkah maju lalu memberi hormat.

“Selamat datang, tuan muda. Siapakah tuan muda dan ada keperluan…..”

“Aku Tang Bun An!”

Bun An memotong dengan suara lirih, akan tetapi pandang matanya mencorong, penuh kemarahan.

Kui Hui menahan jeritnya, menutupi mulut dengan punggung tangan, matanya terbelalak, wajahnya pucat sekali ketika ia memandang kepada wajah pemuda itu. Kini iapun teringat. puteranya! Tanpa dapat dicegah lagi, kedua mata yang terbelalak itu dipenuhi air mata dan berderailah air matanya berjatuhan di atas kedua pipinya.

“Bun An…… Bun An….., kau….”

Bun An tidak ingin ibunya bicara di tempat itu, didengarkan banyak orang, maka dia lalu memegang tangan ibunya.

“Sudahlah, mari kita pergi dan bicara di tempat lain!”

Dia menarik tangan ibunya. Wanita itu menahan karena bagaimana mungkin ia pergi begitu saja tanpa pamit? Dan pakaiannya, barang-barangnya masih berada di dalam kamarnya.






“Nanti…. dulu, aku…. pamit dan mengambil barang-barangku….”

“Tak usah. Mari kita pergi!”

Bun An menarik dan wanita itu merasa betapa kuatnya tarikan tangan puteranya. Ia sama sekali tidak mampu menahan dan tubuhnya ikut tertarik. Melihat sikap puteranya, iapun tidak membantah dan keduanya melangkah untuk keluar dari pekarangan rumah pelacuran itu.

Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita tua, usianya kurang lebih enampuluh tahun dengan tubuhnya gendut sekali.

“Heiiii! Mau kemana kau, Kui Hui? Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Engkau harus membayar dulu hutang-hutangmu!”

Kui Hui tidak berani menjawab, hanya memandang dengan gelisah. Bun An juga membalikkan tubuh, menghadapi nyonya gendut itu.

“Aku mengajaknya pergi dari tempat terkutuk ini, engkau mau apa?”

Nyonya itupun sudah mendengar betapa pemuda ini merobohkan enam orang tukang pukulnya, maka ia tidak berani bersikap galak.

“Orang muda, kalau hendak membawa pergi, harus ada tebusannya, harus ada uang penggantinya!”

“Babi betina, kuganti ia dengan nyawamu!” kata Bun An dan sekali menendang, tubuh nyonya itu terjengkang.

Wanita itu menguik-nguik seperti babi disembelih, akan tetapi Bun An tidak memperdulikannya lagi, menarik tangan ibunya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sebentar saja mereka tiba di tempat sunyi, diluar pintu gerbang kota. Di tempat sunyi ini, Bun An menyuruh ibunya bercerita tentang keadaan sebenarnya.

Sambil menangis, Kui Hui menceritakan bahwa memang benar Ma Cun telah berubah sejak Bun An minggat. Orang itu menghamburkan harta yang dibawanya dari keluarga Tang, berfoya-foya, main perempuan, berjudi dan akhirnya, setelah harta itu ludes, Ma Cun memaksa ia untuk mencari uang dengan menjual diri! kalau ia menolak, Ma Cun memukuli dan menyiksanya! Keadaan seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka lalu bercerai.

Akan tetapi, Ma Cun masih menyeret Kui Hui ke rumah pelacuran itu dan menjual isterinya kepada mucikari. Demikianlah, Kui Hui lalu menjadi anak buah mucikari itu, dan harus bekerja siang malam melayani tamu untuk mencari uang karena ia dianggap mempunyai hutang yang makin lama makin besar sesuai dengan perhitungan bunganya yang amat berat!

“Itulah nasib ibumu, anakku….,” kata Kui Hui yang menceritakan semua itu sambil menangis. “Aku…. aku menjadi pelacur…… aku……. aku menderita sakit, kadang-kadang batuk darah….. tapi sekarang, engkau mengajak aku pergi, dan semua pakaianku berada disana, juga sedikit tabunganku, padahal engkau…. ah, engkau sendiri berpakaian tambal-tambalan seperti seorang pengemis…..! bagaimana kita selanjutnya akan hidup, Bun An?”

Bun An mengerutkan alisnya. Ibunya telah terperosok sedemikian dalamnya, pikirnya sehingga yang dipikirkan hanya harta benda dan uang saja!

“Kalau harta yang ibu inginkan, malam nanti aku akan mencarikannya untuk ibu. Sekarang, ibu ikut saja dengan aku!”

Dia lalu mengajak ibunya ke dalam sebuah kuil tua yang kosong yang berada di dalam hutan kecil di atas bukit di luar kota. Di sinilah selama beberapa malam dia menginap. Tentu saja Kui Hui yang tidak biasa hidup seperti itu, hanya bisa menangis. Di dalam hatinya sudah merasa menyesal sekali mengapa puteranya muncul dan memaksanya keluar dari rumah pelacuran itu.

Disana, ia sudah mulai dapat menyesuaikan diri, dapat bersenang-senang dengan para pria yang membelinya, makan dan pakaian tidak pernah kurang, kamarnya indah. Dan sekarang, tanpa bekal sepotongpun pakaian sebagai pengganti, ia harus rebah di atas lantai kotor sebuah kuil yang menyeramkan, yang pantasnya hanya menjadi tempat tinggal iblis dan siluman!

Dan malam itu, Bun An meninggalkan ibunya. Pemuda ini tidak banyak bicara, bahkan ketika ibunya bertanya tentang pengalamannya, dia hanya menjawab singkat bahwa sepuluh tahun lebih ini dia hidup sebagai pengemis dan mempelajari ilmu silat.

“Ibu tunggu saja disini, aku akan mencarikan harta benda yang ibu inginkan itu. Jangan ibu pergi dari sini kalau ibu ingin selamat, karena diluar tentu banyak bahaya mengintai!”

Setelah berkata demikian sekali berkelebat Bun An lenyap dari depan ibunya. Wanita itu terbelalak, lalu menangis di atas lantai kuil itu, ketakutan dan mengira bahwa puteranya itu agaknya telah menjadi iblis yang pandai menghilang!

Bun An mengintai dari luar kuil, membiarkan ibunya menangis, sedikitpun dia tidak merasa kasihan, bahkan dia merasa betapa hatinya membenci wanita ini. Ibunya telah membunuh ayahnya. Hal ini dia ketahui benar. Masih teringat dia akan semua percakapan antara ibunya dengan kekasihnya, Ma Cun, dan dialah yang menerima bungkusan racun itu dari Ma Cun, untuk diserahkan kepada ibunya.

Kemudian, ibunya yang berzina dengan Ma Cun, menjadi isteri Ma Cun setelah mencuri banyak barang perhiasan keluarga Tang. Lebih menggemaskan lagi, kini ibunya menjadi seorang pelacur! Akan tetapi, bagaimanapun juga dia adalah putera kandung ibunya, dia harus memelihara ibunya. Dan yang lebih dari itu, dia harus membuat perhitungan dengan Ma Cun!

Siang tadi dia sudah menyelidiki di mana adanya orang itu. Tidak sukar untuk mencari Ma Cun yang biasa berjudi di Hok Pokan (Rumah Judi Mujur). Tempat judi besar di kota raja ini menjadi pusat perjudian dan disitu terdapat banyak golongan sesat yang mengadu nasib dengan berjudi.

Sebuah tempat berbahaya dan tidak ada orang baik-baik berani mengunjungi tempat ini. Orang yang bukan penjudi ulung, yang baru saja datang dan berani mencoba-coba untuk berjudi, tentu akan habis di curangi oleh ular-ular judi. Segala macam maling, perampok dan penjahat lain mempergunakan Hok Pokan sebagai tempat pelesir dan disitu banyak terdapat pelacur-pelacur yang dipergunakan oleh bandar judi untuk memikat para langganan. Ramailah keadaan di rumah perjudian itu. Meriah penuh gelak tawa dari sore sampai pagi.

Seperti tadi ketika dia datang berkunjung ke rumah pelacuran, kini Bun An disambut oleh para penjaga keamanan, tukang-tukang pukul di rumah perjudian itu, dengan alis berkerut. Tukang-tukang pukul di tempat itu tidak boleh disamakan dengan tukang-tukang pukul di rumah pelacuran, disini merupakan tempat para penjahat berkumpul, dimana terdapat banyak uang di perjudikan, maka penjagaannya amat ketat. Jagoan-jagoan pilihan menjaga tempat itu dengan bayaran tinggi dari bandar judi.

“Heii, kau jembel gila! Mau apa kau kesini?” bentak seorang jagoan ketika melihat Bun An memasuki pintu pekarangan.

“A-boan, lemparkan saja sekeping uang kecil padanya agar tidak membikin kotor tempat ini!” kata orang kedua.

Bun An merasa betapa perutnya panas mendengar ucapan yang nadanya menghina itu, akan tetapi dia menahan sabar,

“Aku datang bukan untuk mengemis, akan tetapi untuk mencari seorang bernama Ma Cun. Harap kalian suka memanggil dia keluar.”

Ma Cun amat terkenal di rumah perjudian itu, karena selain dia merupakan langganan lama, juga Ma Cun terkenal sebagai seorang jagoan pula, bekas perwira pengawal pembesar dan memiliki ilmu silat tinggi. Mendengar betapa pengemis muda ini menyebut nama jagoan dan penjudi itu begitu saja dan minta dipanggilkan, beberapa orang penjaga itu menjadi marah.

“Cuhh!” orang pertama meludah. “Orang jembel macam kau berani menyuruh kami memanggil orang?”

“Tidak seorangpun langganan kami boleh diganggu, apalagi di ganggu jembel…..”

“Kalau kalian tidak mau memanggilnya, biarlah aku mencarinya sendiri ke dalam!”

Bun An memotong, kehilangan kesabarannya, dan dia lalu melangkah hendak masuk ke dalam ruangan depan rumah judi itu.

“Heii! Berhenti!” bentak seorang tukang pukul dan diapun memegang lengan kiri Bun An lalu menariknya dengan pengerahan tenaga, dengan maksud agar pemuda jembel itu tertarik dan terpelanting.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar