*

*

Ads

Senin, 25 Juni 2018

Ang Hong Cu Jilid 003

Bun An membuka mata, sadar benar sekarang dan dia melihat tujuh orang yang kasar sikapnya, tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, wajahnya menyeramkan, berada di dalam kuil tua itu. Memang ruangan yang dia pakai adalah ruangan yang terbersih dan terlindung oleh dinding yang belum runtuh benar seperti bagian lain kuil itu, dan agaknya tempat itu dipilih oleh tujuh orang itu untuk beristirahat.

Melihat sikap mereka yang kasar dan menyeramkan, tanpa banyak cakap lagi Bun An lalu meninggalkan ruangan itu ke ruangan sebelah dan diapun duduk diatas lantai sambil memandang kepada mereka yang kini duduk mengelilingi api unggun. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, mengeluarkan bingkisan berisi makanan dan minuman yang serba lezat. Arak wangi, daging dan roti! Mereka lalu makan minum sambil bersenda gurau.

“Ha-ha-ha-ha, hari ini Wuhan geger! Banyak toko dan rumah makan tidak berani buka!”
“Heh,heh, bahkan kulihat tadi banyak orang kaya yang mengungsi ke kota lain, takut kalau-kalau kita datang lagi!”

“Baru mereka tahu siapa adanya Yang-ce Jit-houw (Tujuh Harimau Sungai Yang-ce)!”

Bun An mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia mendengar suara gerakan di belakangnya. Dengan adanya sinar api unggun, dia dapat melihat bahwa diruangan itu ternyata ada seorang laki-laki berpakaian pengemis yang sedang tidur nyenyak dan agaknya pengemis tua inilah yang membuat gerakan tadi.

Akan tetapi, dia sudah menoleh lagi kepada tujuh orang laki-laki kasar itu dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka selanjutnya, yakinlah Bun An bahwa mereka itu yang menyebut diri mereka Tujuh Harimau Sungai Yang-ce adalah gerombolan perampok yang mengganggu kota Wuhan dan yang membuat kota itu hari tadi menjadi kota mati dan rumah-rumah banyak yang tutup!

Hatinya mulai terasa panas. Jadi mereka inilah yang telah membuat dia kelaparan, yang merampas rejekinya! Lebih lagi melihat betapa mereka minum dengan lahapnya membuat dia makin merasa gigitan kelaparan di dalam perutnya!

“Ha,ha,ha, biar tahu rasa para hartawan yang kita ambil sebagian hartanya itu! Kita mewakili golongan miskin menuntut keadilan!”

“Benar! Kalau tidak begitu, mereka tidak tahu betapa kaum miskin membutuhkan uluran tangan, membutuhkan bantuan!”

“Kita mewakili pengadilan. Hidup haruslah adil, tidak baik ada yang terlalu kaya, akan tetapi banyak yang terlalu miskin!”

Mendengar ucapan-ucapan itu, Bun An merasa betapa perutnya semakin panas.
“Bohong semua itu!”

Tiba-tiba mulutnya membentak dan diapun bangkit berdiri lalu melangkah ke pintu tembusan yang menghubungkan kedua ruangan itu. Tujuh orang itu terkejut dan mereka semua memandang kepada anak kecil yang muncul di ambang pintu tanpa daun itu, dan mengenalnya sebagai jembel kecil yang tadi mereka usir dari dalam ruangan yang kini mereka tempati.

Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan besar, orang-orang yang sudah biasa mengandalkan kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka, bahkan pernah mereka menjadi bajak-bajak Sungai Yang-ce sehingga mereka mendapat julukan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce.

Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dengan kepala besar yang tidak lumrah, dua kali besar kepala manusia biasa, bangkit berdiri menatap Bun An dengan sinar mengancam.

“Jembel cilik! Apa maksudmu mengakan bahwa semua itu bohong? Apa yang bohong?”

“Percakapan kalian itu tadi yang semua bohong!” kata Bun An tanpa takut sedikitpun, karena dia sudah marah sekali.

Orang-orang inilah yang membuat dia kelaparan, dan masih merampas tempat tidurnya pula di kuil itu, di samping membuat dia semakin lapar dengan makan minum di tempat itu dan percakapan mereka tadi sama sekali bohong.

Si kepala besar melangkah maju dan menghardik,
“Bocah setan! Jangan lancang mulut kau! Apa kau ingin aku menampar hancur mulutmu? Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa percakapan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce semua bohong?”

Dengan berani Bun An memandang mata orang itu, lalu berkata lantang agar keruyuk perutnya tidak sampai terdengar orang.

“Kalian tadi bicara seolah-olah kalian mewakili golongan miskin, seolah-olah kalian ini pembela-pembela keadilan dan penolong rakyat miskin! Akan tetapi buktinya mana? Kalian makan minum tanpa memperdulikan orang lain, bahkan kalian mengusir aku si jembel cilik! Kalian adalah perampok-perampok jahat yang mengacau kota Wuhan sehingga orang-orang seperti aku ini tidak dapat makanan karena warung-warung dan toko-toko tutup semua takut kepada kalian! Nah, bukankah ucapan kalian tadi bohong semua? Mulut mengatakan pembela rakyat miskin akan tetapi kaki tangan malah menindas kaum miskin?”






“Wah, wah, anak setan ini memang bosan hidup!” bentak si kepala besar dan diapun cepat melayangkan tangannya yang lebar dan besar, menampar ke arah Bun An.

Kalau muka anak itu terkena tamparan tangan yang mengandung tenaga raksasa itu, tentu akan terkelupas kulitnya, hancur dagingnya dan remuk-remuk tulang dan giginya. Atau mungkin kepala anak itu akan retak-retak dan tewas seketika.

Akan tetapi sungguh aneh, sebelum tangan itu mengenai muka Bun An, tiba-tiba saja si kepala besar itu mengeluarkan seruan kesakitan dan tangannya terhenti di udara, tidak jadi melakukan tamparan kuat itu. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi lalu kakinya bergerak melakukan tendangan ke arah perut Bun An.

Kalau mengenai sasaran, tendangan ini akan lebih hebat akibatnya. Isi perut anak itu akan remuk dan pasti dia akan tewas seketika, tubuhnya akan terlempar jauh menghantam dinding ruangan kuil.

Akan tetapi, kembali terjadi keanehan. Sekali ini, bukan saja kaki yang menendang itu terhenti di udara, bahkan tubuh si kepala besar itu lalu terpelanting roboh! Hanya dia yang tahu betapa terjadi keanehan pada dirinya. Ketika dia memukul tadi, tiba-tiba lengan tangan yang melakukan pukulan itu terasa nyeri dan lumpuh, ada sesuatu seperti seekor lebah yang menyengat sikunya! Dan ketika dia menendang, bukan hanya lutut yang menendang yang di sengat lebah, juga lutut kirinya sehingga dia terjungkal tidak mampu berdiri lagi.

Peristiwa ini tentu saja mengejutkan enam orang perampok yang lain. Mereka berloncatan berdiri, dua orang lalu membantu pimpinan mereka, si kepala besar, untuk bangkit berdiri lagi. Semua mata ditujukan kepada Bun An dengan heran dan marah.

Akan tetapi anak itu sendiri berdiri bengong saking herannya karena dia sendiri tidak mengerti mengapa perampok yang memukul dan menendangnya itu mengurungkan niatnya bahkan jatuh sendiri!

“Bocah siluman! Berani engkau melawan kami?” bentak mereka dan kini tujuh orang itu serentak maju mengepung Bun An yang sudah melangkah maju untuk melihat lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi.

Kini, tujuh orang itu mengepungnya dan sikap mereka buas, tangan mereka sudah siap untuk mengeroyok dan menghajar Bun An.

Pada saat itu, terdengar suara halus.
“Anjing-anjing srigala pengecut tak tahu malu, mengeroyok seekor domba kecil! Kalian ini namanya saja Tujuh Harimau, akan tetapi bernyali srigala yang pengecut!”

Tujuh orang itu terkejut dan cepat memandang orang yang mengeluarkan kata-kata itu. Kiranya hanya seorang kakek tua renta yang melihat pakaiannya tentu hanya seorang pengemis jembel. Kakek itu usianya tentu sudah tua sekali, pakaiannya compang-camping dan tambal-tambalan di sana-sini, rambutnya yang sudah putih semua, juga jenggot dan kumisnya, awut-awutan tidak terpelihara, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, dan kedua matanya terpejam, seperti orang buta!

Tentu saja tujuh orang jagoan itu terkejut dan kini merekapun mengerti bahwa agaknya jembel tua inilah yang tadi telah membantu jembel cilik. Maka, merasa malu untuk mengepung dan mengeroyok seorang anak kecil yang usianya baru sepuluh tahunan, mereka lalu membalik dan kini bergerak mengepung pengemis tua itu.

“Jembel tua, berani engkau mengatakan kami srigala pengecut?”

“Tua bangka ini harus dibunuh, mulutnya terlalu lancang!”

“Hai, pengemis tua, siapakah namamu?”

Menghadapi pertanyaan terakhir ini, jembel tua itu tersenyum memperlihatkan mulutnya yang ompong tanpa gigi lagi, akan tetapi matanya tetap terpejam.

“Namaku ya yang seperti kau tanyakan tadi, ialah Lo-kai (Pengemis Tua)!”

Orang yang bertanya merasa dipermainkan,
“Aku tahu engkau pengemis tua yang busuk, akan tetapi siapa namamu?”

“Namaku tidak ada, orang menyebut aku Lo-kai (Pengemis Tua).”

“Aliok, untuk apa ribut-ribut dengan pengemis tua tanpa nama ini? Orang macam dia ini ada namapun percuma. Bereskan saja!” kata pimpinan Yang-ce Jit-houw yang berkepala besar.

Temannya yang mukanya hitam itu lalu maju menghantam ke arah dada kakek yang minta di sebut Lo-kai saja itu. Pukulan yang keras sekali. Si muka hitam agaknya sudah menduga bahwa kakek ini tentu memiliki kepandaian, maka diapun menonjok dengan pengerahan tenaga pada kepalan tangan kirinya, sekuatnya, diarahkan ke ulu hati Lo-kai.

Anehnya, kakek tua renta yang selalu memejamkan mata itu agaknya tidak tahu bahwa dia dipukul orang. Dia diam saja! Agaknya karena memejamkan mata, dia tidak melihat serangan itu, ataukah memang dia buta? Namun, simuka hitam adalah jagoan tukang pukul yang sudah biasa melakukan kejahatan dan tindakan sewenang-wenang. Memukuli orang lemah tak melawan baginya adalah hal yang biasa, maka kini, melihat betapa Lo-kai tidak mengelak atau menangkis, dia tidak mengendurkan tenaga pukulannya, apalagi menghentikannya. Pukulan yang keras itu dengan tepatnya menghantam ulu hati kakek tua renta.

“Krekkk…..!”

Pukulan keras itu memperdengarkan suara tulang patah, akan tetapi agaknya bukan tulang iga kakek itu yang patah karena dia sama sekali tidak terguncang, masih berdiri tegak, sebaliknya pemukulnya, si muka hitam itu mengaduh-aduh sambil melompat ke belakang lalu memegang-megang tangan kirinya dengan tangan kanan. Kiranya yang bunyi patah tadi adalah tulang tangan kiri si muka hitam.

Dari kesakitan, muka hitam itu menjadi marah sekali. Tanpa memperdulikan lagi tangan kirinya yang nyeri, tangan kanannya mencabut golok. Enam orang kawannya juga sudah mencabut golok semua dan kini serentak mereka menerjang maju menyerang kakek jembel itu dengan golok mereka. Seolah-olah tujuh orang itu hendak berlumba siapa yang lebih dulu merobohkan kakek jembel itu!

Bun An terbelalak menonton. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat tujuh batang golok berkelebatan mengeluarkan sinar yang mengerikan, menyambar ke arah tubuh kakek itu yang agaknya buta karena sejak tadi tidak membuka matanya.

Akan tetapi, dalam pandangan Bun An, tiba-tiba kakek itu lenyap dan yang nampak hanyalah bayangan berkelebatan disusul robohnya tujuh orang perampok itu seorang demi seorang. Golok mereka terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai dan tubuh mereka kini terkulai lemas tak mampu bergerak lagi!

Ternyata kakek jembel itu tadi mempergunakan tongkat bututnya dengan kecepatan luar biasa, menotok tujuh orang penyerangnya dan merobohkan mereka dengan hanya satu kali totokan saja!

Melihat ini, tanpa disadarinya, Bun An bertepuk tangan memuji,
“Bagus! Bagus, kalau saja aku mampu, akupun akan menghajar mereka yang jahat ini!”

Kakek jembel itu tersenyum, lalu menggunakan tongkatnya mencongkel tubuh tujuh orang itu, satu demi satu dicongkel dan dilontarkan keluar kuil dengan mempergunakan ujung tongkat bututnya, seperti mencokel dan membuang tujuh ekor cacing saja!

Sambil melontarkan, kakek itupun membebaskan totokan sehingga ketika tubuh tujuh orang itu, satu demi satu terlempar dan terbanting jatuh berdebuk di luar kuil, mereka mengaduh-aduh dan tanpa menoleh lagi merekapun lari tunggang langgang meninggalkan kuil!

“Lo-kai, engkau hebat sekali!” Bun An memuji sambil menghampiri kakek jembel itu dan memegang tangan kirinya.

“Siauw-kai (jembel kecil), engkaupun berani sekali!” Kakek itu tertawa dan menggunakan tangan kirinya untuk mengusap kepala Bun An.

Bun An mengira kakek itu buta, maka diapun menuntun kakek itu menghampiri api unggun.

“Kita duduk disini, Lo-kai, dekat api unggun. Biar kutambah lagi kayunya.”

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar