*

*

Ads

Kamis, 24 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 155

Kita biarkan dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di tepi anak sungai itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.

Seperti kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian, dan dengan janda muda yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai ilmu silatnya itu, hampir saja terjadi hubungan badan yang terdorong oleh berahi. Untung bahwa Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walaupun dia sudah hampir lupa dan buta oleh gejolaknya nafsu.

Mereka berdua dapat menguasai diri kembali, tidak terjadi suaiu pelanggaran walaupun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling berpisah, Hay Hay tidak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang wanita.

Kini dia masih mempunyai sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu. Batu giok mustika itu dirampas oleh Min-san Mo-ko dari tangan Jaksa Kwan ketika pembesar ini ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, para penjahat dapat diusir dan batu giok mustika dapat dirampas kembali.

Bahkan tanpa disengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mengembalikan batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan.

Setelah berpisah dari Hui Lian, ada memang perasaan kehilangan dan kesepian di dalam hati Hay Hay. Namun, dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri sendiri dan perasaan kehilangan dan kesepian itupun lenyap bagaikan tertiup angin pagi yang sejuk.

Dia tahu benar mengapa ada perasaan kehilangan itu menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang selalu menghendaki adanya kesenangan. Kalau ada sesuatu yang menyenangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain, atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita.

Pikiran kita selalu haus akan kesenangan, ingin mengulang kembali segala hal yang menyenangkan dan karena itulah, terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu. Dan sekarang. batin terikat, maka apabila saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah dari kita, timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka.

Hay Hay sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuatnya waspada dan dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan secara gamblang. Badan lahiriah memang harus mempunyai, demi kebutuhan badan sendiri, demi kehidupan badan sebagai anggauta masyarakat, memiliki keluarga, sahabat, benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandain dan sebagainya lagi.

Namun, batin haruslah bebas tidak memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang dipunyai badan, maka timbullah ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin harus kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi.

Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah gembira kembali ketika dia melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu.

Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Disinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat.

Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika Kwan-tajjin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam kepadanya.

Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap. Namun, berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu dapat diselamatkan dan diantar pulang bersama keluarganya oleh Hay Hay. Batu giok mustika terampas penjahat dan akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, setelah Hay Hay berpisah dari Hui Lian, dia harus kembali lagi ke Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya.

Kedatangan Hay Hay disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin. Melalui penjagaan yang ketat, akhirnya dia bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu.






"Aih, kiranya Tai-hiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu menyongsong kedatangan Hay Hay yang merasa canggung melihat betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Tai-hiap (Pendekar Besar).

Dia membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin segera menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruang yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia memperhatikan. Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, sepasang matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan.

Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini.

"Kebetulan sekali, kami baru menerima kunjungan Yang-taijin dan kami bahkan sedang bicara tentang dirimu,Tai-hiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!"

Hay Hay melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa tentu orang itupun seorang bangsawan tinggi walaupun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu.

Kwan-taijin membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu dan berkata dengan suara gembira,

"Yang-taijin, sungguh seperti dituntun oleh tangan Thian sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau ini adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."

Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara.

Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan kini, tiba-tiba saja dia berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo ditempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu.

"Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat kepada Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."

Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya.
"Aih, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk disini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku suka disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa muak dengan semua kehormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah disini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi didepannya, terhalang meja

Jaksa Kwan tertawa, hal yang tidak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya demikian tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan antar keduanya.

"Taihiap, jangan heran akan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia daripada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."

Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut dinamakan pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah, guru atau pemimpin, tidak merasa dirinya lebih besar. Diapun menghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan itu.

Jaksa Kwan memberi isarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan juga mengambilkan tambahan seguci arak harum. Hidangan sekedarnya juga ditambah, kemudian Kwan-taijin memberi isarat agar semua pelayan dan pengawal meninggalkan ruangan itu, hanya berjaga diluar pintu dan tidak ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu.

"Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" tanya Menteri Yang Ting Hoo dengan sikap ramah.

Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di hatinya. Tak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia bernama keluarga Tang, putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya, dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi kalau kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi?

"Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja." jawabannya sederhana.

Menteri itu tertawa dan mengangguk-angguk.
"Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang, bukan tergantung daripada namanya, kedudukannya, kepintarannya maupun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya di dalam kehidupan setiap harinya. Karena itu, mengapa risau tentang nama keluarga, yang namanya Tang di dunia ini banyak, yang baik banyak yang jahatpun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."

Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seolah-olah sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu mempergunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andaikata ayahnya itu seorang yang baik? Tentu dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Betapa palsunya sikap ini!

"Terima kasih atas peringatan Paduka. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya kemudian dan sekali ini menyebut nama keluarga Tang terdengar ringan saja di lidahnya, seolah tidak ada apa-apanya.

Kini Kwan-taijin mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasa gembira dan juga aneh. Dia duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, bahkan yang seorang adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini saja membuktikan betapa kedua orang itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana dan dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja!

"Nah, sekarang ceritakan keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?"

Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan saputangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata,

"Saya datang untuk menyerahkan batu giok mustika ini kembali kepada Paduka, Kwan-taijin."

Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira.
“Ah! Jadi engkau bahkan berhasil merampas kembali mustika ini?" Dia menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin. "Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan telah berhasil merampas kembali mustika ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay. !

"Apakah seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, eh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya."

"Ia she Kok……." kata Hay Hay dan dia teringat, lalu menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?

"She Kok? Ah, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang lalu, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak…… "

Mendengar ucapan Menteri Yang itu, diam-diam Hay Hay terkejut sekali sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan.

"Ah, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu dan Jaksa Kwan juga memandang kepadanya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar