*

*

Ads

Kamis, 24 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 154

“Aku tidak mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja ketika aku terancam bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai. Kemudian kita bertemu dengan Mulana dan isterinya yang lebih aneh lagi. Apalagi mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sin-tong yang sudah amat lama kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan dirimu, keluargamu. Begitu aku bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa suka sekali padanya.”

Han Siong menarik napas panjang.
“Tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku, Nona. Akan tetapi, sesungguhnya adalah suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang dirimu, Nona. Ketahuilah, sesungguhnya, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku… aku telah menjadi terkejut sekali karena aku mengenal namamu dengan baik sekali, Nona Cu.”

Bi Lian memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.
“Pantas ketika mendengar namaku engkau kelihatan kaget. Dimana engkau pernah mendengar namaku, Saudara Pek Han Siong?”

Han Siog mengambil keputusan untuk berterus terang. Kalau dia tidak mengaku, kelak tentu gadis ini akan merasa tersinggung dan marah karena dia pura-pura tidak mengenalnya. Padahal, dialah yang mendapat tugas dari suhu dan subonya untuk mencari puteri mereka ini. Akan tetapi, tentu saja tak mungkin dia berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan aganya tidak bijaksan kalau dia membuka rahasia bahwa gadis ini bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab

“Sebelumnya, ingin aku mendengar pengakuanmu, bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tak jauh dari sebuah kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?"

Bi Lian memandang dengan sinar mata berseri.
"Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah malapetaka di dusun itu. Terjadi pertempuran antara para tokoh sesat dan banyak orang dusun tewas pula dalam pertempuran itu, termasuk kedua orang tuaku! Ayah Ibuku tewas dan aku terjatuh ke dalam tangan kedua orang Guruku itu, ialah mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Ketika itu, aku berusia sebelas tahun dan mulai saat itu, aku menjadi murid mereka dan diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi, sekali lagi, bagaimana engkau bisa tahu akan keadaan diriku di dusun itu?"

"Ada satu hal lagi, Nona, harap kau jawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau ikut dengan kedua orang Gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu, yang mengakibatkan kematian Ayah Bundamu, sebelum itu, pernahkan engkau belajar ilmu silat?"

Bi lian kembali memandang tajam, penuh selidik dan ia mengingat-ingat. Masih teringat benar olehnya betapa ada dua orang yang selalu datang di malam hari, ketika ia masih kecil dan kedua orang itu secara bergiliran, laki-laki dan wanita, memberi petunjuk kepadanya akan dasar ilmu silat. Kedua orang itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subonya, kadang-kadang subonya itu mernperlihatkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Ia suka digendongnya dan ditimangnya, dan diciuminya!

Kini terbayanglah wajah mereka itu. Subonya seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Masih ingat ia betapa subonya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya lemah-lembut sekali.

Adapun suhunya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam namun ramah dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin dapat dilupakan dari suhunya itu adalah bahwa lengan kiri suhunya itu buntung sebatas siku. Lengan baju kirinya itu sebatas siku kosong. Hanya itulah yang teringat olehnya tentang suhu dan subonya, dan kini ia diingatkan dan ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa olehnya itu.

"Ya-ya-ya, aku tentu saja masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik kepadaku! Ah, mereka suka datang secara bergilir di waktu malam, kata mereka itu, mereka tinggal di sebuah kuil Siauw-lim-si dan mereka membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat."

Girang sekali rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang.

"Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?"

"Suhu dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo. Mereka tak pernah memperkenalkan nama, juga Ayah dan Ibu yang agaknya amat menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh agar aku patuh dan mentaati mereka sebagai Guru-guruku. Eh, Saudara Pek, apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?"






Han Siong mengangguk, sejenak dia termenung memandang ke arah api unggun sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang matanya dan dua pasang sinar mata itu saling bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang.

"Aku mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah juga Guru-guruku! Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan Subo bernama Toan Hui Cu."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis ini demikian mirip subonya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau subonya itu pendiam, gadis ini bermata tajam, sikapnya lincah, manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki pembawaan yang gagah perkasa seperti suhunya!

“Aihhh..., kalau begitu engkau……. "

"Aku adalah…… saudara seperguruan denganmu, Sumoi."

"Engkau Suhengku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat saja dari Suhu dan Subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang Guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!"

"Mereka itu merampasmu dari Suhu dan Subo.”

"Tapi... tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu, Suhu dan Subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang Guruku yang sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main.

Han Siong menggeleng kepalanya.
"Belum tentu, Sumoi. Kedua orang Gurumu itu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah amat tinggi ilmunya, walaupun Suhu dan Subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan tetapi aku tidak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka engkau hampir celaka."

"Dan engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, Suhu dan Subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu melawan Kulana?"

Han Siong menggeleng kepala.
"Tidak, biarpun Suhu dan Subo lihai, namun bukan rnereka yang mengajarkan ilmu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika engkau rnemperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut mengaku kepadamu. Baru sekarang aku mengaku karena sesungguhnya, Suhu dan Subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat kutemukan!"

Bi Lian tersenyum memandang. Di bawah sinar api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan menarik sekali, dan ia merasa betapa jantungnya berdebar. Entah karena senang mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini suhengnya, atau mengapa ia sendiri tidak dapat mengerti.

Yang jelas, diingatkan keadaannya ketika kecil mendatangkan kenangan yang aneh, ada pahitnya dan ada pula manisnya. Dan ia sama sekali tidak mengira bahwa suhu dan subonya yang dulu itu, ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat!

"Dan ternyata engkau berhasil Suheng. Kita telah dapat saling bertemu, lalu apa yang akan kau lakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Han Siong juga tersenyum. Gadis ini memiiliki pembawaan yang lincah gembira.
"Kita saling bertemu, bahkan bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan Suhu dan Subo bahwa... bahwa... engkau diminta untuk berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng, untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu."

"Engkau benar sekali, Suheng. Akupun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat seorang gadis seperti Eng-moi itu berada diantara mereka. Apalagi ia menjadi murid bahkan anak angkat seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang mendorong Adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya ia tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo dan dengan kecerdikannya, Adikmu itu telah dapat menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya dan bahkan mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Dan yang ke dua, Adikmu itu memang ingin mempelajari ilmu silat tinggi setelah ia minggat dari rumahnya karena tidak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi kalau bertemu denganmu, dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Akupun hendak kembali kesana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan disana."

"Apakah dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?"

"Pertama, aku harus membalaskan kematian Ayah Ibuku, dan kedua, akupun tidak akan tinggal diam saja karena kedua orang Guruku sampai tewas disana. Kulana harus bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku yang menjadi penyebab kematian kedua orang Guruku itu."

"Dan siapakah yang telah menewaskan Ayah Ibumu di dusun?"

"Ayah Ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi….”

"Aih??" Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa……"

"Begini, Suheng. Pada waktu itu kedua orang Guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Mereka itu bahkan menghasut orang dusun agar memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang dusun. Dengan demikian, biarpun orang tuaku tewas di tangan kedua orang Guruku itu, akan tetapi kedua orang Guruku itu tidak mempunyai permusuhan dengan orang tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itulah yang menghasut penduduk untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang telah menjerumuskan Ayah Ibuku sehingga menjadi korban.”

Han Siong mengerutkan alisnya, teringat dia akan semua nasihat suhu dan subonya, juga semua wejangan dari gurunya yang kedua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasihat dan petuah yang pernah didengarnya itupun meluncur lewat mulutnya tanpa dapat ditahan dan bahkan diluar kesadarannya sendiri.

"Sumoi, dendam merupakan suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam timbullah perbuatan-perbuatan kejam dan bahkan jahat. Apalagi dendam terhadap kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi dan jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang, walaupun orang itu bisa saja menjadi sebab daripada kematian orang lain. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tak mungkin orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu orang Kulana takkan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu saling serang sehingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada di tangan Thian.”

"Suheng…… !"

Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru sekarang ia mendengar pendapat seperti itu.

Han Siong tersenyum.
"Untuk mengambil nyawa orang, Thian mempergunakan banyak macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit kalau keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api kalau mati karena api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?"

"Tapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang seperti Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan kehendaknya?"

"Wah, itu lain lagi, Sumoi. Bukan persoalan dendam lagi, melainkan sikap seorang pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya karena engkau tahu benar bahwa mereka itu adalah sekelompok orang sesat yang hanya hendak mengancam kedamaian hidup orang lain, itulah panggilan jiwa kependekaranmu dan aku akan menemanimu kesana. Sekarang, kita beristirahat lebih dulu, besok pagi-pagi kita melakukan penyelidikan kesana. Akan tetapi ingat, bebas dari dendam, Sumoi."

Bi Lian tersenyum dan mengang:guk.
"Bebas dari dendam, Suheng." Ia masih tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas sedangkan Pek Han Siong duduk bersila dekat api unggun, mengumpulkan hawa murni dan berjaga karena dia tahu bahwa di tempat itu, dia tidak boleh lengah.

**** 154 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar