*

*

Ads

Rabu, 23 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 146

Biarpun dimaki, Hek-hiat Mo-ko tidak marah, bahkan tertawa mencicit lalu menjawab.
“Manis, engkau sungguh cantik jelita dan engkau patut sekali menjadi isteriku! Aku, biarpun begini, masih belum mempunyai isteri dan aku adalah Hek-hiat Mo-ko. Marilah, Nona manis, hentikan kemarahanmu dan kita menyongsong hidup baru penuh kenikmatan dan…”

“Tutup mencongmu yang kotor”

Bi Lian membentak dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang orang cebol itu. Marahlah gadis ini sehingga serangannya ganas dan juga amat cepat.

Namun, sebelum menghadapi gadis itu, Hek-hiat Mo-ko sudah mempelajari gerakan Bi Lian dan jagoan ini maklum bahwa gadis itu selain memiliki tenaga sin-kang yang dapat menandingi kekuatan Kui-kok-pangcu, juga memiliki gin-kang atau kecepatan gerakan yang luar biasa, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar.

Karena itu, dia sudah bersiap siaga dan begitu gadis itu bergerak cepat, diapun mengerahkan tenaga sinkangnya dan kini kedua telapak tangannya berubah hitam dan tercium bau amis yang memuakkan!

Bi Lian terkejut dan melangkah mundur menjauhi, akan tetapi Hek-hiat Mo-ko sudah menyerang dengan cepat, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam dada dan muka. Bi Lian mengelak dan meloncat ke samping, akan tetapi ada hawa busuk yang memuakkan menyambar sehingga hampir saja ia muntah, bau itu membuatnya pusing sekali dan tahulah ia bahwa lawan ini tentu memiliki ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Iapun lalu mempercepat gerakannya dan kini ia berkelebatan mengelilingi lawan, selalu mengelak dan menjauhi kedua tangan yang hitam itu, dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.

Hek-hiat Mo-ko memiliki tingkat ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari Kui-kok-pangcu. Biarpun gadis itu berkelebatan di sekelilingnya dan mengirim balasan serangan yang mendadak, namun dirinya dengan kedua tangan hitam itu.

Karena Bi Lian tidak berani terlalu dekat, takut kalau menjadi pening dan roboh oleh bau yang busuk, dan karena Hek-hit Mo-ko pandai melindungi dirinya, maka perkelahian itu berlangsung cukup lama. Bagi Hek-hiat Mo-ko sendiri, tidak mudah untuk dapat merobohkan lawan karena gerakan gadis itu memang terlampau cepat baginya, bagaikan menyerang bayang-bayang saja.

Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Hek-hiat Mo-ko mengeluarkan suara mencicit tinggi dan kini dari mulutnya juga keluar uap menghitam yang baunya lebih busuk lagi.

Bi Lian terkejut ketika disambar oleh hawa busuk yang keluar dari kedua tangan dan dari mulut. Lawan itu sengaja meniupkan hawa busuk itu, mengarah mukanya sehingga repotlah gadis itu menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahannya. Maklum bahwa ia terancam bahaya, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara melengking yang bukan saja mengejutkan lawan, bahkan mengejutkan seluruh tamu yang hadir karena lengkingan itu mengandung getaran yang mengguncangkan jantung mereka.

Cepat mereka mengerahkan sing-kang untuk melindungi tubuh bagian dalam. Tidak mengherankan kalau suara ini menggetarkan jantung karena gadis itu telah mengerahkan tenaga khikang yang disebut Pek-houw Ho-kang (Suara Gerengan Harimau Putih) yang dipelajarinya dari Tung-hek-kwi).

Yang paling hebat menderita karena gerengan ini adalah Hek-hiat Mo-ko sendiri yang diserang secara lagnsung! Seketika tubuhnya terhuyung dan cepat dia meloncat ke belakang ketiak Bi Lian menampar mukanya. Akan tetapi, kagetlah hati iblis ini ketika dia melihat tangan gadis itu tetap saja mengejarnya dan tak dapat dihindarkan lagi, dalam keadaan terhuyung oleh pengaruh suara, tangan gadis yang terus mengejarnya itu berhasil manampar pipinya. Lengan tangan itu dapat mulur dan terus mengejar sehingga tamparannya tepat mengenai sasaran.

“Plakk!”

Pipi itu menjadi matang biru karena tamparan yang keras dan Hek-hiat Mo-ko menyumpah-nyumpah sambil meludahkan dua buah gigi yang copot! Pada saat suara lengkingan gadis itu terhenti, terdengarlah suara melengking yang jauh lebih kuat dari lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian akan tetapi lebih parau.

“Hebat… habat….!”

Tiba-tiba saja Kulana, bangsawan Birma yang tadi hanya menonton sambil tersenyum dan matanya memandang kagum kepada Bi Lian, kini sudah berada di depan gadis itu. Bi Lian memandang penuh perhatian dan dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang asing, dapat dilihat dari pakaiannya dan sorban di kepalanya.






“Pergilah engkau, orang asing! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!”

Bi Lian membentak. Hatinya marah bukan main karena tidak disangkanya, di tempat itu setelah berhasil menemukan empat orang musuh besarnya, ternyata terdapat banyak sekali orang pandai yang membela empat orang musuhnya itu.

Akan tetapi, orang asing yang anggun dan berwibawa itu hanya tersenyum, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh yang membuat Bi Lian merasa ngeri.

“Nona, tidak baik menurutkan perasaan amarah. Mengapa kita tidak bersahabat saja dan bicara dengan baik-baik? Namaku Kulana, Nona, dan aku pernah menjadi seorang pangeran Kerajaan Birma, seorang bagsawan yang tidak suka akan kekerasan. Nona yang baik, bolehkah aku tahu siapa nama Nona yang terhormat?”

Terjadi keanehan pada diri Bi Lian. Tiba-tiba saja semua kemarahannya lenyap dan ia menjadi lemas, tertarik oleh sikap manis itu dan seperti di luar ksadarannya sendiri iapun membalas penghormatan Kulana yang membungkuk kepadanya dan menjawab dengan suara halus.

“Aku bernama Cu Bi Lian.”

“Cu Bi Lian, sebuah nama yang indah dan sungguh pantas kalau nama itu dirobah menjadi Nyonya Kulan. Tidakah kau juga berpendapat demikian, Nona Bi Lian?”

Terkejut hati Bi Lian mendengar ucapan yagn halus namun jelas bermaksud tidak sopan itu, akan tetapi lebih terkejut lagi ketika ia mendapatkan dirinya sendiri mengangguk membenarkan! Seketika iapun dapat menduga bahwa ada kekuatan aneh yang memaksanya bersikap lunak, maka iapun cepat mengeluarkan suara melengking, mengerahkan khi-kangnya dan kekuatan sihir yang dilakukan Kulana dan yang sudah mempengaruhi dirinya tadi seketika membuyar!

Kulan adalah seorang yagn pandai sihir, terutama dalam hal menguasai segala macam ular. Kekuatan sihirnya yang tadi membuat Bi Lian menjadi lembut dan lemah, akan tetapi setelah kekuatan itu buyar oleh lengkingan Bi Lian, gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi telah memperlihatkan sikap yang tidak sewajarnya! Marahlah ia karena sudah yakin bahwa orang Birma di depannya ini tadi mempergunakan sihir.

“Tak perlu banyak cakap, minggirlah!” bentaknya dan iapun menerjang ke depan, mendorong dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Serangan ini hebat sekali dan angin besar menyambar ke arah Kulan. Akan tetapi, orang ini tenang-tenang saja, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok dan diapun mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan Bi Lian.

“Desss …!”

Hebat sekali pertemuan tenaga ini karena Bi Lian mengerahkan sebagian besar tenaganya dan akibatnya, tubuh Kulan bergoyang-goyang akan tetapi Bi Lian terpaksa mundur dua langkah!

Diam-diam gadis ini terkekut sekali. Tak disangkanya orang asing ini bahkan lebih kuat daripada semua lawannya tadi. Juga Kim San Ketua Kui-kok-pang yang tadi memandang rendah orang Birma itu, kini terbelalak kagum dan mukanya berubah merah. Baru dia tahu bahwa orang Birma itu selain kaya raya, juga ternyata memiliki ilmu kepandaian yang agaknya jauh lebih tinggi daripadanya.

Maklum akan kekuatan lawan, Bi Lian kini menerjang maju dan mengerahkan gin-kangnya yang istimewa sekali. Namun, lawannya bergerak dengan tenang sekali, bahkan gerakannya nampak lambat, namun anehnya, Bi Lian tidak melihat lowongan yang dapat diserang dan setiap kali ia menyerang, selalu dapat dielakkan atau bertemu dengan tangkisan.

Bagaimanpun juga, karena kecepaan gadis itu, Kulan juga tidak berdaya, tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang melainkan hanya melindungi dirinya dengan ilmu ilat bertahan yang amat kokoh kuat dan rapat sekali. Akan tetapi, tiba-tiba Kulan mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak dimengerti oleh Bi Lian, lalu disambung ucapan yang amat halus dan berwibawa.

“Nona, tidakkah engkau sudah lelah sekali? Mengasolah dan jangan memaksa diri mengerahkan kekuatan, aku tidak ingin menyusahkanmu….”

Sungguh aneh sekali, tiba-tiba saja Bi Lian merasa betapa tubuhnya lelah bukan main, matanya mengantuk dan ia membayangkan betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya melambat, tiba-tiba saja jari tangan Kulan, berhasil menyentuh dadanya. Ia terkejut dan mengeluarkan suara lengkingan panjang dan buyarlah semua pengaruh yang membuatnya lelah dan mengantuk tadi. Wajah gadis itu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Orang asing itu secara kurang ajar telah menyentuh buah dadanya!

Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yang dikeluarkan Bi Lian dan tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan dada dan sebagaian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu, tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia sungguh seperti seorang bayi montok yang besar!

Orang ke dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker memandang ke arah Kulan, kemudian tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya mencengkeram ke arah orang Birma itu!

Kulana terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat naik!

Orang Birma ini cukup lihai, maka diapun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yagn segera mengayun tubuh itu dan melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk, duduk kembali di atas kursinya yang tadi.

“Hemmm….!”

Kakek tinggi besar mengangguk-angguk, tanda bahwa dia mengagumi kepandaian orang Birma itu.

Sementara itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar diantara mereka terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gundut bundar adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur.

Mereka inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena mereka adalah dua orang diantara Empat Setan, adapaun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang susioknya itu, Lam-hai Giam-lo juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.

“Susiok Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat dan selamat datang!”

Suaranya yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yang selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya. Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu.

Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi memandang kepada oang yang berlutut di depan mereka itu, dan Pak-kwi-ong terkekeh.

“Heh-heh-heh, sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernam Kin Cung. Engkau bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan seperti kuda ini?”

Tung-hek-kwi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
“Susiok, teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong.” Kata Lam-hai Giam-lo cepat-cepat.

Kembali dua orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatikan.

“Aha, kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah? Tanya Pak-kwi-ong.

“Benar, Susiok.”

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar