*

*

Ads

Senin, 21 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 138

Pada waktu peristiwa keributan di pekarangan luar terjadi, Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya amat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam dan mereka bertiga bicara dalam ruangan tertutup bahkan tak seorangpun pelayan atau murid boleh masuk tanpa di panggil. Dan tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, dimana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda!

Tentu saja Ciok Cun terkejut dan marah bukan main melihat betapa belasan orang muridnya dihajar orang, apalagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid tingkat atas, agaknya sudah tidak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!

“Heii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut disini?”

Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa gadis ini biarpun masih muda, tentu memiliki kepandaian tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang murid itu roboh semua sedangkan gadis itu agaknya kusut pakaiannya pun tidak!

Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka iapun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.

“Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah mengira akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa disini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk dan kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Kemudian, orang tinggi besar ini memberitahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberitahukan dimana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan… beginilah jadinya.”

Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.

Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar dua nama itu, maka diapun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan dan bertanya,

“Benarkah engkau mengenal dua orang yang dicari Nona ini?”

Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku.
“Kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja….”

Mendengar ini, Pek Eng merasa mendongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian ia mengomel.

“Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, tidak perlu terjadi keributan ini. Sudahlah, kalau kalian tidak mengenal mereka, barangkali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu dan kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku dimana mereka, aku sungguh akan berterima kasih sekali.”

Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya dihajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya gadis muda ini, diapun bertanya.

“Siapakah mereka?”

“Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay.”

Ciok Cun mengerutkan alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka diapun menggeleng kepala.

“Aku tidak mengenal mereka.”

Pek Eng kecewa.
“Kalau begitu, biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!”

Setelah berkata demikian, Pek Eng membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.

“Nona, tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar bentakan orang dan Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini ia berhadapan dengan kakek dan nenek itu.






Melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Ia memperhatikan mereka sekarang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Adapun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, namun masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua. Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.

“Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?” tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.

“Benarkah yang kau cari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?” tanya kakek itu.

“Benar, apakah engkau mengenal mereka?”

Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan merekapun mengangguk, bahkan kakek itu berseru.

“Mengenal mereka? Ah, mengenal baik sekali!”

Pek Eng memandang dengan penuh curiga.
“Sekarang aku tidak akan mudah percaya kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadipun aku sudah dibohoni orang,” katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.

“Akan tetapi aku tidak berbohong!” kata pula kakek itu. “Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, lincah dan gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, dan dahulu ketika kecil disebut Sin-tong (Anak Ajaib)?”

Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan ditujukan kepada orang tua itu.

“Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!”

“Bagus!” tiba-tiba nenek itu yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian, kini membentak. “Nah, sekarang katakan dimana adanya Pek Han Siong itu!”

Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Ia tadi sudah kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa kira mereka malah bertanya kepadanya dimana adanya kakaknya!

“Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu dimana dia berada? Kalau begitu, kalianpun tidak ada gunanya bagiku. Selamat tinggal!”

Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya di palangkan seolah-olah hendak melarang dan mencegah ia keluar!

Diam-diam Pek Eng terkejut. Dari gerakan itu tadi saja ia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Ia menoleh dan kakek itupun menghampirinya. Ia telah di kepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu.

Pek Eng mengambil keputusan cepat. Ia harus keluar dari situ sebelum di kepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Kedua tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu kesamping agar ia dapat menerobos keluar!

Akan tetapi, nenek itu tidak mengelak, melainka menyambut dorongan kedua tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.

“Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami dimana adanya Sin-tong!” kata kakek itu dan tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi dan dari atas dia menubruk dengan kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar kelinci!

Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi, lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kirinya dan membarengi dengan pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.

“Dukk!”

Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras seperti baja, akan tetapi cengkeraman tangan kakek itu sudah dapat menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata jalan darahnya telah dapat dicengkeram dan iapun tidak mampu bangkit lagi.

Biarpun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut.

Nenek itu sekali loncat sudah di dekat Pek Eng.
“Hayo cepat katakan dimana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!”

Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa kakek dan nenek itu, dalam beberapa gebrakan saja telah mampu menangkap gadis yang amat lihai itu!

“Hebat… hebat sekali… kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!” Dia memuji. “Ah, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!”

Nenek itu mendengus tak menjawab dan kakek itu berkata,
“Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat diukur, karena itu, jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan.”

“Kami taat… tentu saja kami taat, apalagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi.”

Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya dan memperlihatkan kepada Pek Eng.

“Nona, kau lihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga mampu mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami dimana adanya Sin-tong, engkau akan menderita siksaan yang akan membuat engkau rindu akan kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!”

Kebetulan seekor anjing lewat tak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dan selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan.

Diam-diam Pek Eng merasa ngeri juga melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Ia maklum bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan ia tidak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau ia nekat melawanpun takkan ada gunanya. Diam-diam ia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi di sebut berjuluk LAm-hai Giam-lo.

Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu ia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)!

Kita telah mengenalnya sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai. Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena ternya bayi keluarga Pek yang mereka culik itu bukan Sin-tong. Suami isteri ini sekarang telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar