*

*

Ads

Kamis, 12 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 026

See-thian Lama membuka matanya dan berkata kepada Hay Hay.
"Nah, mereka sudah tiba. Mari kita keluar, Hay Hay dan jangan kau melakukan sesuatu, serahkan saja kepada pinceng."

Dia pun turun dan menggandeng tangan Hay Hay diajak keluar dari pondok. Ketika mereka tiba di luar pondok, disitu sudah berdiri dua orang pendeta Lama yang sudah amat tua. Usia mereka sebaya dengan See-thian Lama, yang seorang bertubuh pendek kecil akan tetapi sinar matanya mencorong penuh wibawa, sedangkan orang kedua gemuk dan gendut seperti Ji-lai-hud dan mulutnya selalu tersenyum lebar.

Melihat bahwa yang muncul adalah seorang Dalai Lama yang cukup besar kekuasaannya di Tibet, yaitu Bai Long Lama yang masih terhitung suhengnya sendiri, pendeta yang kecil pendek itu, dan Bai Hang Lama yang terhitung sutenya, Si Gendut itu, maka See-thian Lama cepat-cepat maju dan memberi hormat.

"Selamat datang di gubukku, Suheng dan Sute!" katanya.

"Omitohud.….engkau masih belum menghilangkan kesukaanmu menyendiri dan menyepi, Sute." kata Bai Long Lama, cukup lembut dan ramah, akan tetapi pandang matanya tetap saja keren berwibawa.

Sebaliknya, Bi Hang Lama yang memang selalu tersenyum lebar itu kini tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau kelihatan semakin sehat saja, Suheng!"

"Terima kasih,.. Sute. Engkau pun semakin gendut."

"Ha-ha-ha-ha-ha!"

Si Gendut itu tertawa bergelak dan perutnya yang penuh gajih itu bergoyang-goyang seperti hidup.

"Suheng dan Sute, kalian berdua ini datang untuk berkunjung saja ataukah ada keperluan lain yang penting?"

See-thian Lama bertanya, sementara itu, dua orang pendeta Lama sudah menatap wajah Hay Hay dengan penuh perhatian.

“Sute See-thian Lama, perlukah engkau berpura-pura lagi? Kami datang untuk mengambil anak ini!"

Tiba-tiba suara pendeta Lama yang pendek kecil itu penuh wibawa dan ketegasan, bahkan sinar matanya yang mencorong itu mengandung tantangan.

See-thian Lama tentu saja sudah tahu akan maksud kedatangan mereka dan dia pun tersenyum ramah penuh kesabaran.

"Suheng, dengan alasan apakah Suheng hendak mengambil anak yang menjadi muridku ini?”

"Karena dia Sin-tong! Engkau pun tahu sendiri bahwa calon Dalai Lama harus berada di biara untuk dididik." kata pula Bai Long Lama.

"Kalau dia Sin-tong, memang benar apa yang kau katakan itu, Suheng. Akan tetapi bagaimana kalau dia bukan Sin-tong? Dan pinceng dapat memastikan bahwa dia ini hanyalah muridku, sama sekali bukan Sin-tong.”

"Hemmm, hal itu harus kami selidiki dulu. Apa buktinya bahwa anak ini bukan Sin-tong? Bukankah engkau merampasnya dari Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang merampas anak ini dari Lam-hai Siang-mo?"

"Benar, akan tetapi Lam-hai Siang-mo mungkin juga tidak tahu bahwa anak ini bukan Sin-tong. Lihatlah baik-baik, Suheng dan Sute!"

Berkata demikian, See-thian Lama lalu menarik baju Hay Hay sehingga merosot turun dan memperlihatkan punggungnya yang putih bersih, sedikit pun tidak ada tanda merah disitu.

"Bukankah Sin-tong sudah diramalkan memiliki tanda merah di punggungnya? Anak ini tidak mempunyai tanda merah. Kalau dia mempunyai tanda itu tentu sudah dulu-dulu kubawa ke Tibet untuk diserahkan kepada para pimpinan Lama, Suheng."

Melihat punggung yang kulitnya putih halus dan sama sekali tidak nampak ada tanda merahnya itu. Bai Long Lama dan Bai Hang Lama saling pandang dan merasa terkejut, juga terheran-heran. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya semula. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tahu bahwa See-thian Lama adalah seorang pandai luar biasa. Bukan tidak mungkin dengan satu dan lain cara, See-thian Lama. sudah berhasil menghapus tanda merah itu dari punggung Sin-tong!






"Omitohud... pinceng benar-benar merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong yang kami cari ataukah bukan."

Terkejutlah hati See-thian Lama mendengar ucapan ini. Disangkanya bahwa kenyataan akan tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay akan cukup membuktikan bahwa anak itu bukan Sin-tong.

Pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga terdengar sayup sampai saja, akan tetapi semakin lama, suara ketawa itu menjadi semakin keras dan jelas. Semua orang terkejut karena maklum bahwa suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang amat kuat.

Akan tetapi See-thian Lama mengenal suara itu setelah terdengar dekat dan dia pun mengerahkan khikangnya sambil berkata.

"Omitohud, Ciu-sian Sin-kai, jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng bercakap-cakap?"

Kembali terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang masih tertawa bergelak. Kakek ini usianya juga sebaya dengan mereka, mendekati delapan puluh tahun. Tubuhnya agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang akan tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggangnya terselip sebatang suling yang tiga kaki panjangnya.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Justeru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali. Ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau setidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, seorang diantara Delapan Dewa, rekan dari sutenya, See-thian Lama.

"Siancai... Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kau anggap lucu menggelikan, apanya yang lucu?" Biarpun suaranya masih lunak, namun mengandung kekerasan dan tantangan.

"Ha-ha-ha-ha!" kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia berkata, "Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih sehat ketawa dari pada menangis, bergembira daripada berduka! Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah salah? Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci para Dalai Lama di Tibet, pernah bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?"

"Tentu saja belum pernah!" kata Bai Long Lama dengan marah.

"Heh-heh-heh, pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semua tentu benar dan sama sekali tidak pernah bohong!" Sambung Bai Hang Lama yang gendut.

“Nah, nah, itulah yang lucu!" Kakek jembel itu kembali tertawa. "Aku sendiri mendengar berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang baru adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah di kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih bersih, sedikitpun tidak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak percaya! Bukankah ini lucu sekali ? Dua orang Lama tingkat tinggi tidak mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!"

Wajah kedua orang pendeta Lama itu menjadi agak merah.
"Bukan tidak percaya, engkau salah sangka, Sin-kai. Calon itu sudah pasti punggungnya ada tanda merahnya. Yang kami kurang percaya bahwa, Sin -tong ini memang tidak memiliki tanda itu. Siapa tahu tanda itu hilang atau sengaja dihilangkan. Karena itu, kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!"

"Ha-ha-ha, itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang diantara Delapan Dewa? Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong? Dan siapa pula tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai? Biar pengemis, aku selamanya tidak pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti yang dikabarkan orang. Kalau dia Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya sebagai murid? Tentu sudah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga. Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena sejak kecil tidak boleh berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja pria! Benarkah itu? Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan semacam itu, See-thian Lama!"

Ucapan terakhir ini benar-benar menyentuh kelemahan para pendeta Lama ltu. Muka mereka menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih mereka dengan berkedok menjadi kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan yang amat memalukan seperti itu.

"Sudahlah, mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini memang tidak memiliki tanda merah di punggung sebelumnya, berarti dia bukan Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal ini kepada para pimpinan, terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat tinggal." kata pendeta Lama yang kecil pendek itu.

"Suheng, selamat tinggal. Mari, Sinkai!" kata pendeta ke dua, Bai Hang Lama yang gendut dan suka ketawa.

"Selamat jalan, Suheng dan Sute." kata See-thian Lama.

"Terima kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana, ha-ha-ha!"

Ciu-sian Sin-kai juga berkata. Dua orang pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh sekali dan sebentar saja mereka hanya nampak seperti titik-titik hitam yang cepat sekali menghilang.

Setelah mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum simpul.

"Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau menyerang aku untuk dapat kulihat sampai dimana kemampuanmu setelah lima tahun digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!"

Ciu-sian Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang berjiwa sebagai "pemakan rumput". Bukan mengejek untuk mencemooh atau mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah mahluk-mahluk yang paling besar dan kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau, serigala dan sebagainya.

Tentu saja Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia memang masih ingat kepada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun tidak jumpa, tentu saja dia sungkan kalau datang-datang disuruh menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya.

"Hay Hay, Gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberi petunjuk, kenapa engkau malu dan sungkan? Seranglah dan habiskan kepandaianmu!"

Mendengar perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun cepat meloncat ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu.

Sebaliknya, Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan kebahagiaan hidup, selalu gembira, berbeda dengan sikap See-thian Lama yang selalu lembut dan tenang seperti air danau yang dalam. Sebaliknya sikap kakek jembel ini seperti anak sungai yang airnya berdendang dan gemericik terus-menerus, mengalir cepat diantara batu-batu sungai. Timbullah niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul antara kedua orang kakek itu dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar