*

*

Ads

Senin, 21 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 137

Mari kita ikuti perjalanan Pek Eng yang sedang di cari jejaknya oleh Han Siong. Seperti kita ketahui, gadis ini meninggalkan rumah orang tuanya tanpa pamit dan hanya meninggalkan surat bahwa ia hendak pergi mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong.

Sesungguhnya bukan untuk mencari kakaknya penyebab utama dari kepergiannya tanpa minta ijin orang tua itu. Ia merasa penasaran dan marah karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song. Ia sama sekali tidak mencinta pemuda she Song walaupun harus diakuinya bahwa Song Bu Hok adalah seorang pemuda yang gagah sekali, juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, putera Ketua Kang-jiu-pang yang amat terkenal pula. Ia tidak menganggap bahwa pilihan orang tuanya itu keliru karena memang sudah sepatutnya kalau ia berjodoh dengan Song Bu Hok, keduanya putera ketua perkumpulan besar dan diantara orang tua mereka terdapat pertalian persahabatan yang erat.

Akan tetapi, ia sama sekali tidak mencinta Song Bu Hok. Hal ini terutama sekali dirasakannya setelah ia bertemu dengan Hay Hay! Ia amat tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda yang ugal-ugalan itu, bukan karena ia pernah mencium Hay Hay karena ia mengira pemuda itu kakaknya, bukan pula karena tingkat kepandaian pemuda itu sedemikian tingginya sehingga ia merasa kagum. Atau mungkin juga ada sebagian dari kedua kenyataan itu yang memperkuat perasaan cintanya. Akan tetapi yang jelas, ia tidak lagi dapat melupakan Ha Hay!

Itulah sebabnya maka ia menjadi nekat untuk pergi tanpa pamit dan ingin mencari kakaknya kepada siapa ia akan membuka semua isi hatinya dan mengharapkan kakak kandungnya itu akan mau membelanya. Ia membawa bekal uang secukupnya, beberapa stel pakaian lengkap yang dibuntalnya dalam sebuah bungkusan kain tebal, tidak lupa membawa sebatang pedang dan dengan pakaian sebagai seorang gadis suku bangsa Yi, iapun melakukan perjalanan menuju ke selatan.

Tidak aneh kalau di sepanjang perjalanannya, Pek Eng menjadi perhatian banyak orang, terutama sekali para pria yang melihatnya melakukan perjalanan seorang diri. Gadis ini cantik manis dan biarpun kulitnya agak gelap. Teruatam sekali mata yang agak sipit itu bersinar tajam, dan hidungnya dapat mempesona hati seorang pria dengan bentuknya yang mungil, ujungnya agak naik sedikit. Bibirnya merah basah dan pipi kirinya terdapat sebuah lesung pipit yang nampak jelas kalau tersenyum. Bentuk tubuhnya yang tinggi ramping dengan kaki panjang juga memiliki daya tarik tersendiri, dengan lekuk-lengkung tubuh gadis yang mulai dewasa. Dari pandang mata dan bibir yang selalu dihias senyum itu dapat diketahui bahwa gadis ini lincah, jenaka dan gembira, akan tetapi juga memiliki ketabahan besar.

Orang-orang yang melihat betapa gadis ini membawa pedang di punggungnya, agak segan untuk mengganggu dan biarpun ada pula pria yang merasa dirinya kuat dan sudah biasa mengganggu wanita mencoba untuk bersikap kurang ajar, namun Pek Eng dapat mengatasinya bahkan telah merobohkan beberapa orang pengganggu.

Pada suatu hari tibalah ia di kota Kui-yang. Seperti yang selalu dilakukan semenjak ia meninggalkan rumah, setiap kali ada kesempatan ia bertanya-tanya kepada orang tentang dua orang pemuda, yaitu Pek han Siong dan Hay Hay! Ia sendiri tidak tahu apa yang ia katakana atau ia lakukan kalau ia berhasil menemukan Hay Hay. Akan tetapi ia ingin sekali bertemu kembali dengan pemuda itu. Di kota Kui-yang, Pek Eng juga bertanya-tanya ketika ia berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota itu di waktu senja, setelah ia mendapatkan sebuah kamar di rumah penginapan. Ia hanya meninggalkan buntalan pakaiannya saja di kamar, dan semua uangnya ia bawa, demikian pula pedangnya.

Perhatian Pek Eng tertarik sekali melihat sebuah rumah makan besar yang dikelilingi pagar tembok tebal dan tinggi, dan di depan pintu gerbangnya terdapat papan yang bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi “HUI-HOUW BU-KOAN” (Perguruan Silat Macan Terbang). Apalagi ketika dari pintu gerbang yang terbuka itu ia dapat melihat belasan orang sedang berlatih gerakan silat, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar.

Belasan orang itu, seperti pelatihnya, hanya mengenakan celana sampai ke bawah lutut dan tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan tubuh yang kokoh kuat penuh otot-otot melingka-lingkar. Ah, perguruan silat, pikir Pek Eng. Mungkin diantara mereka itu ada yang mengenal kakaknya atau Hay Hay. Bukankah kakaknya, seperti yang diharapkan oleh keluarganya, memiliki ilmu silat tinggi dan Hay Hay tidak perlu diragukan lagi adalah seorang yang sakti? Orang-orang seperti kakaknya atau Hay Hay memang sepatutnya dikenal oleh golongan persilatan.

Dengan pikiran ini, tanpa ragu lagi Pek Eng lalu memasuki pintu gerbang yang terbuka dan tibalah ia dipelataran depan, dimana belasan orang itu sedang melatih gerakan pukulan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring. Ketika belasan orang yang rata-rata masih muda, berusia antara duapuluh sampai tiga puluh tahun itu melihat betapa tiba-tiba muncul seorang dara yang manis dari depan pintu, tentu saja mereka semua memandang dengan kagum dan gerakan mereka kacau, juga bentakan-bentakan itu tergagap dan tidak nyaring lagi, bahkan kini sebagian dari mereka menghentikan gerakan silat mereka dan berdiri bengong memandang ke arah Pek Eng, dengan senyum-senyum ceriwis!

Melihat keadaan para murid itu, pelatihnya terheran dan diapun menengok. Pelatih itu sudah lebih tua, kurang lebih empat puluh tahun usianya dan diapun terkejut ketika melihat seorang gadis berdiri disitu, gadis yang tidak dikenal dan cantik manis.

“Aih, pantas kalian menjadi kacau. Kiranya ada seorang bidadari muncul di sini!” kata Si Pelatih yang ternyata lebih ceriwis lagi sikapnya dari para murid itu.

Bahkan kini dengan langkah lebar dia menghampiri Pek Eng dan berdiri di depan Pek Eng. Karena pealtih itu berdiri terlalu dekat sehingga bau apak dan tidak enak dari tubuh setengah telanjang berkeringat itu menyerang hidung Pek Eng, gadis ini mundur dua langkah dan hidungnya yang mungil bergerak-gerak lucu.






“Hai, Nona manis, siapakah engkau dan apa keperluanmu masuk ke tempat latihan kami ini?” tegur Si Pelatih, menyeringai lebar seperti merasa lucu melihat pedang yang tergantung di punggung gadis pengunjung itu.

“Hati-hati, Toako. Lihat pedang di punggungnya itu! Jangan-jangan ia seorang pendekar pedang yang lihai sekali!” terdengar suara seorang diantara para murid, akan tetapi karena nada suaranya jelas mengandung ejekan, semua orang tertawa dan pelatih yang di sebut Toako (kakak) itupun tertawa bergelak.

Melihat mereka berlagak dan memandang rendah kepadanya, sepasang alis Pek Eng berkerut dan ia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang ugal-ugalan dan bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.

“Ha-ha-ha!” Pelatih itu tertawa lebar. “Nona manis, benarkah engkau seorang pendekar pedang seperti kata ia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memperlihatkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?”

Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tidak mau melayani kekurang ajaran mereka, langsung saja bertanya.

“Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah diantara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?”

Pelatih itu dan para anak buahnya sebenarnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng itu, akan tetapi pura-pura sudah mengenalnya.

“Aahh, kiranya engkau mencari mereka?”

Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak disangkanya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay.

“Benar, tahukah engku dimana mereka?”

Pelatih itu mengangguk-angguk.
“Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberitahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan.”

Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik.
“Syarat? Syarat apa itu?”

Pelatih itu tertawa.
“Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Kalau engkau menang, tentu akan segera kuberitahukan dimana mereka, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?”

Semua laki-laki yang berlatih silat, tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang kepada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini ia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu dimana adanya dua orang pemuda yang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah.

Akan tetapi, ia tetap tersenyum, bahkan menangguk-angguk. Andaikata ia kalah, iapun masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurangajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, ia yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.

“Baik, akan tetapi kalau engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!” katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.

“Toako, biar aku menangkap gadis ini untukmu!” tiba-tiba terdengar seruan seorang diantara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, sudah meloncat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu.

Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, sedangkan tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!

Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga amat lambat dan lemah baginya itu. ia menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, sedangkan tangan kanannya sendiri bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang hendak merangkulnya, kemudian cepat sekali ia menekuk lengan kanannya dan dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.

“Crottt!”

Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darahpun bercucuran keluar. Pek Eng mengangkat kakinya ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, dan lututnya sudah menghantam perut lawan.

“Ngekkkk!:”

Dan pemuda itupun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung dan perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri hidung remuk dan perut mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk

Pelatih itu marah. Sambil berseru keras diapun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.

“Plakkk!”

Tubuh yang tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan diapun meloncat-loncat seperti monyet menari-nari diatas papan yang panas.

Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itupun terpelanting roboh. Kini, belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan diantara mereka ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun, mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar diantara sekelompok capung saja. Belasan orang itupun satu demi satu roboh terpelanting roboh sambil mengaduh-aduh!

Pada saat itu, dari pintu tengah muncullah seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang dara muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lalu memutar tubuhnya, dan berseru kearah dalam rumah.

“Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!”

Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana-sini, dan sinarnya mengandung kelicikan.

Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya. Hampir tidak ada orang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain dia lihai, banyak anak buahnya, dan seluruh jagoan dan tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya, juga dia terkenal mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Dia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar