*

*

Ads

Senin, 16 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 034

Kembali guru dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya, mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya.

Diam-diam dia merasa penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia merasa tidak akan menang. Bahkan kini untuk kedua kalinya dia terluka, lebih parah dari pada yang pertama. Untuk minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali tidak terkenal, apalagi kalau minta bantuan orang lain? Lima orang yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya dan bantuan mereka tidak ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu.

Demikianlah, kejar-mengejar terjadi sampai akhirnya Lam-hal Giam-lo menggunduli rambutnya dan menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian, dia menggunakan akal dan berhasil masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi karena Su Kiat dan Hui Lian tentu saja sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil Siauw-lim-si. Apalagi, guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo!

Inilah sebabnya, Lam-hai Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun. Akan tetapi memang dasar seorang jahat, ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu dan dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian kalau dua orang hukuman di dalam kuil, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di waktu malam.

Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan, terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tak sanggup melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu.

Demikianlah, Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya dan dia tidak berani lagi merajalela di selatan, takut kalau-kalau dua orang yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan buntung dan seorang gadis cantik.

Nama Pat sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang di dalam kisah Asmara Berdarah, nama mereka tidak pernah muncul karena mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah lagi berkecimpung di dunia persilatan sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat Sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis.

Kini, yang muncul di dunia setelah usia mereka tua, hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama, keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para Dalai Lama.

Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, hanya dua orang kakek itu yang agaknya masih hidup. Dua yang lain adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui, telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, di temukan secara kebetulan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam guha yang amat sukar untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati.

Berbeda dengan See-thian Lama yang hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya dan tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri.

Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak nampak dari pantai karena kecil saja pulau itu, akan tetapi setelah orang berada di pulau itu akan merasa kagum karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memilik tanah yang amat subur.

Pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah berbahaya sekali untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya. Karena tidak mengalami gangguan dari luar.

Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tidak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar akan banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak.






Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut dan menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya dan menyeret mereka ke darat untuk diadili. Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus.

Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dia pun dengan nekat memasuki daerah berbahaya itu, berhasil mendarat dengan selamat dan ternyata pulau itu, yang kemudian dinamakan Pulau Hiu, merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan. Dia menyerbu dan membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih.

Akhirnya, sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Akan tetapi dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertaubat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda

Sisa harta simpanan para bajak masih amat banyak dan mulai Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya.

Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil dan benar saja, para bekas bajak itu dapat merobah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak lagi mau melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka lalu berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu.

Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi semakin angker dan disegani para nelayan. Bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi di bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu.

Kini, anak-anak dari para bekas bajak telah belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat dan penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya.

Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekalipun, dalam sebuah di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau. Segala keperluan kehidupan para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan kalau membutuhkan ikan, hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, sedangkan keperluan-keperluan lain mereka peroleh dengan membeli ke daratan.

Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-.kai sekali ini agak terlalu lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu, juga diketahui oleh pihak lain yang mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek berperut gendut.

Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat. Dengan sigapnya, dari lima buah perahu besar itu berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka menjadi lima puluh orang.

Adapun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu, sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Dan lima puluh orang itu, sambil menghunus senjata tajam, segera dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, menyerbu ke tengah pulau.

Tentu saja gerakan lima puluh orang ini segera diketahui oleh penghuni pulau dan terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan para penghuni segera nampak berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu, kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang.

Dan mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh. Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut itu yang datang sengaja untuk membalas dendam terhadap Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ selagi kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam.

Terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh.

Akan tetapi, kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sukar dilawan dan banyak yang sudah roboh olehnya. Selain itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka terdesak.

Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay!

Mereka baru saja tiba dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya. Perahunya meluncur seperti terbang saja, apalagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam.

Melihat betapa anak buahnya banyak yang sudah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, apalagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok.

"Bajak-bajak tak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran.

Para penghuni pulau yang melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya sudah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas.

Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan kemana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu

Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu.

Akan tetapi, kakek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, menggunakan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Namun, rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai!

Biarpun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tidak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis.

"Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah mengacau ke sini?" Ciu-sian sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu.

Tadinya raksasa muka hitam itu terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, dia menjadi nekat.

"Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan atas rekanku!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar