*

*

Ads

Selasa, 01 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 093

Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas itu. Wajahnya yang tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, mulut yang selalu dihiasi senyum, hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan lenggang lepas, dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang tegap dan sedang besarnya itu seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan. Pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna kesukaannya. Dipunggungnya nampak sebuah buntalan pakaian.

Sepasang matanya yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di depan matanya, barisan rumput hijau segar yang bergerak-gerak tertiup angin, nampak seperti air berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai. Bukit kecil di depannya nampak demikian tenang, tidak terikat waktu, tenang dan indah hening. Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan terganggu kesibukan maka keindahanpun membuyar lenyap.

Ketika berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika pikirannya tidak diganggu sesuatu, batinnya menjadi hening dan keindahanpun menyentuh seluruh pribadinya.

Matahari sudah condong jauh ke barat, sudah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari puncak bukit itu, pasti indah pemandangannya, keindahan matahari terbenam di kaki langit sebelah barat. Ketika dia sudah melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang paling rendah dan hina, bahkan dipandang hina oleh para penjahat lainnya.

Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak haram lagi! Biasanya, kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan keheningan pun lenyap. Keindahan pun tidak nampak lagi. Yang ada hanya rasa penasaran, kekecewaan dan kemarahan.

Kemarahan datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan akunya, pikiran yang melihat betapa akunya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka akupun menjadi marah dan penasaran!

Padahal baru saja, sebelum pikiran mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikitpun rasa sesal atau marah mengganggu Hay Hay. Kemarahan tidak muncul dengan sendirinya. Kemarahan hanyalah akibat dari ulah sang pikiran sendiri. Semua ini nampak oleh mereka yang mau mengamati pikiran sendiri, mengamati saja penuh dengan kewaspadaan, dan dari pengamatan ini akan timbul suatu perubahan pada pikiran tu sendiri, seperti ombak samudera yang tadinya membadai menjadi tenang dengan sendirinya.

Pengamatan bukan berarti terseret ke dalam arus pikiran, melainkan mengamati tanpa ada yang mengamati. Yang ada hanyalah pengamatan, perhatian, kewaspadaan. Kalau ada yang mengamati berarti sang pikiran itu sendiri yang mengamati, dan hal ini merupakan suatu kesibukan lain dari pikiran saja! Gelombang yang lain lagi, namun masih sama, hasilnya mengeruhkan batin.

Kinl Hay Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua kesibukan pikiran yang tadipun lenyap. Indah sekali di puncak bukit itu. Ada sebidang padang rumput yang rata, disana-sini nampak pohon tua yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia, seperti raksasa-raksasa, dan nun disana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah!

Pena siapakah yang mampu melukis keindahan matahari terbenam seperti itu? Pena siapa yang mampu mencatat semua keindahan itu? Dia akan kehabisan warna, ruang dan bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk menceritakannya.

Dengan hati terasa lega, seolah-olah segala beban batin pada saat itu diangkat terlepas dari menindih hatinya, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu.

Dia lupa akan diri sendiri, merasa seolah-olah melayang diantara awan nun dibalik warna merah, awan yang menciptakan beribu macam bentuk yang indah-indah, aneh-aneh, malang-melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya, kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis!

Lihat rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang kering layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikitpun diantara mereka. Bahkan kesemuanya itupun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan membentuk suatu keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan perbandingan diantara benak Hay Hay, dan agaknya terbawa oleh suasana dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya.

“Matahari timbul diwaktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram dikala senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih berganti yang pernah hidup berakhir mati apa artinya duka nestapa kalau memang sudah demikian keadaannya? Selagi hidup kenapa layu dan mati? lebih baik bergembira hari ini!”






Hay Hay tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh sesuatu disaku bajunya. Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas muda dan permata merah. Ang-hong-cu, Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya!

Akan tetapi kini Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum. Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, menjadi jembatan bagi dia muncul ke permukaan dunia ini. Boleh jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawa sendiri-sendlri, pikiran sendiri-sendiri.

Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh, tidak ada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana! Tidak, dia tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja?

Wanita yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi kalau lautan menerima Ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya! Tidak, tak mungkin dia menerima laki-laki yang demiklan kejam terhadap wanita yang menjadi ibunya itu sebagai ayahnya!

Masih lebih baik orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li itu, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang bagaimanapun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua terhadap dirinya, daripada jai-hwa-cat she Tang itu. Dan diapun tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa marga, tanpa she. Biarlah, namanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja diapun tidak mau menggunakan she Siangkoan.

"Hemmm...., Ang-hong-cu....." bisiknya sambil memutar-mutar benda kecil itu diantara jari-jari tangannya.

Matahari makin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tidak kelihatan lagi merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah!

Orang yang membunuh dan memperkosa dua orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi diperkosa. Gadis-gadis yang demikian manis, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan gadis-gadis manis itu dan nasib mereka yang tertimpa malapetaka dengan kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu tanpa disadarinya, sambil mempermainkan benda perhiasan itu diantara jari-jari tangannya, diapun bersajak.

“Gadis yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan bunga sekuntum indah semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu meninggalkan bunga terkulai layu sunggub keji, sungguh gila …..!”

Hay Hay mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu keluar dari mulutnya seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya.

"Ang-hong-cu memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!"

Bentakan itu ditutup dengan datangnya serangan yang hebat sekali. Anginnya menyambar dahsyat ke arah tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tidak kalah hebatnya yang datang dari kanan kiri. Dia telah diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam telah menghampirinya dari arah belakang.

Karena angin menerpa dari depan, dan dia sedang melamun dan tenggelam dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada tiga orang datang menghampirinya. Apalagi karena gerakan mereka memang amat ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi.

Ketika merasa betapa ada angin pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin serangan.

Begitu cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut karena pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka!

Hay Hay yang merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerangnya itu dan menjadi semakin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apalagi berkenalan dengan tiga orang ini!

Mereka bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biarpun cuaca mulai remang-remang, masih dapat dilihat wajah mereka yang membayangkan kemarahan, wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce merah dan melihat sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang gagah, bukan dengan penjahat atau peranpok. Maka diapun mendahului mereka, bersoja dengan kedua tangan dirangkap didepan dada, sikapnya hormat dan bersungguh-sungguh, walaupun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias tersenyum.

“Harap Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum kukenal, maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?”

Tiga orang itu nampak marah dan seorang diantara mereka, yang bermuka penuh brewok yang terpelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka Hay Hay, diapun memaki.

“Jai-hwa-cat laknat! Biarpun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan bumi!"

"Akan tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat ….!"

"Hemm, sudah jahat pengecut pula!" teriak orang kedua yang tinggi besar dan mukanya kemerahan.

"Suheng, tak perlu banyak cakap kiranya. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu dilayani. Hantam saja!" teriak orang ketiga yang kurus dan mukanya kuning.

"Sungguh mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!" kata Hay Hay penasaran.

Kembali Si Brewok yang bicara.
"Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, tak perlu lagi menyangkal, mari hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai sekali?"

"Sungguh, aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian kira….”

"Hemm, percuma saja engkau menyangkal. Kami telah melihat benda yang berada di tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?"

"Benar, akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian tidak pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu? Usianya? Bentuk wajah dan tubuhnya?"

"Hemm, tak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan, dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang. Engkaupun tampan bertubuh tegap, membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi kalau bukan engkau?"

"Bukan, aku bukan Ang-hong-cu."

Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang diantara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata,

"Ketahuilah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!"

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar