*

*

Ads

Selasa, 01 Mei 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 092

"Apakah engkau Pek Han Siong?" tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan dan harapan.

Han Siong memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia kurang lebih empat puluh satu tahun, dan seorang wanita yang usianya beberapa tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin.

Ketika ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat menduga bahwa kedua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, maka dengan suara lembut dan hormat diapun bertanya.

"Bolehkah saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?"

Dengan suara gemetar Pek Kong berkata,
"Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku....."

"Ayah! Ibu ...!" Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya, "saya adalah Pek Han Siong...."

"Han Siong ....!" Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan didalam rangkulan puteranya!

Dengan sikap tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong memondong tubuh ibunya dan berkata kepada ayahnya,

"Ayah, marilah kita masuk kedalam karena Ibu perlu dirawat. Ia telah menderita guncangan batin."

Pek Kong memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya demikian tenang, juga tadi dia telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya sehingga demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan,dia bersikap dewasa dan tenang sekali.

"Baik," katanya dan mereka semua memasuki perkampungan.

Setelah merebahkan Ibunya di atas pembaringan, kemudian mengurut beberapa jalan darah sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan.

"Ibu, tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu."

"Han Siong….. ah, Han Siong…..!" Wanita itu menangis. "Engkau telah datang, Anakku... eh, mana Eng-ji? Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji! Pulanglah, Nak….."

Melihat ibunya berduka, Han Siong mengelus dahi Ibunya sambil mengerahkan tenaga batinnya dan tak lama kemudlan ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit dan menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat kesemuanya itu dengan hati terharu.

“Ayah, siapakah Eng-ji yang disebut-sebut Ibu tadi?"

“Mari kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggauta keluarga kita." kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam dimana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang.

"Anakku, ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu." kata Pek Kong memperkenalkan.

"Ah, Kong-kong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kong-kong, juga Ayah.”

Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri.






"Aku merasa berbahagia sekali melihat engkau pulang sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang."

Han Siong lalu dlperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan.

"Eng-ji adalah adik kandungmu. Han Siong,” Ayahnya menerangkan. "Engkau mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas tahun."

"Ah! Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Dimanakah Adikku itu, Ayah?"

Wajah ketua Pek-sim-pang itu menjadi agak muram.
"Itulah yang menyebabkan Ibumu menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya ia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini," katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong.

Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja, minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apa yang menjadi adiknya itu, pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata saja.

“Ayah dan Ibu tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapapun. Aku mau pergi mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu.”

"Ditinggalkannya surat itu di atas meja dalam kamarnya." kata Pek Kong.

Kini, rasa kecewa yang tadi menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan agaknya keras hati bukan main.

"Maaf, Ayah. Apakah ia dipaksa untuk kawin?" dia bertanya, menatap wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu.

Ayahnya menarik napas panjang.
"Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, dan ketika kami memberitahukan kepada Eng-ji, ia menangis. Dan pada keesokan harinya, ia telah pergi meninggalkan surat ini."

Han Siong mengangguk-angguk,
"Hemm, alangkah keras hatinya. Biarlah aku akan mencarinya, Ayah. Setelah lbu sehat kembali, aku akan pergi mencari Adik Eng."

"Kami merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergiannya justru ketika Hay Hay tiba disini," kata Pek Ki Bu dan Pek Kong menganggu-angguk.

Memang dia dan isterinya pun merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang pemuda mata keranjang yang pandai silat dan sihir, dan bukankah terdapat hubungan intim antara Pek Eng dan Hay Hay?

"Siapakah Hay Hay itu, Ayah?"

"Dia adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu," kata ayahnya. Han Siong mengerutkan alisnya dan memandang heran.

"Apa maksud Ayah?"

“Aih, engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong."

Pek Kong dan Pek Ki Bu lalu menceritakan segala riwayat Han Siong semenjak dia dalam kandungan sudah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han Siong sendiri hanya tahu dari kakek buyutnya dan dari Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para pendeta Lama dan diperebutkan pula oleh para datuk sesat.

Baru sekarang dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya. Betapa sejak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya, betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula oleh bayi yang telah mati!

Betapa kemudian, bayi yang pernah menggantikannya itu, yang kini telah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek, bernama Hay Hay dan amat lihai pula, muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin gempar. Hay Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek.

"Nah, demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka kami hanya curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja."

Han Siong masih tertegun mendengar cerita tadi. Demikian banyak hal aneh dan mengerikan terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain.

"Ayah, aku akan pergi mencari Adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay Hay itu, walaupun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju akan perjodohan itulah."

Han Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan puterinya. Kalau puteranya pergi, dia tidak merasa khawatir, apalagi puteranya telah menjadi seorang yang amat lihai. Barpun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, namun bagaimana juga ia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan menghadapi banyak gangguan.

Kepergin Pek Eng sudah kurang lebih lima enam bulan, maka tidaklah mudah bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi secara untung-untungan saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka diapun menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si.

Tentu adiknya pergi kesana. Diurungkan niatnya mengunjungi kakek buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu telah meninggal dunia karena usia tua.

**** 092 ****
Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar