*

*

Ads

Kamis, 26 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 078

Sui Cin teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang masih dilihatnya belasan tahun yang lalu, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan seorang diantara Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim.

Akan tetapi, belasan tahun yang lalu, Shantung Lo-kiam sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan juga belum pernah ia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup suling. Apalagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini. Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini?

Tiba-tiba suara suling dan yang-kim terhenti dan laki-laki bercaping itu lalu mengangkat muka, memandang ke angkasa dan dia pun bernyanyi, suaranya cukup merdu dan lantang nyanyiannya kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan oleh sepuluh jari tangannya.

“Minum arak meniup suling memetik yang-kim seorang diri di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas perahuku meluncur dengan bebas melalui jalur yang diciptakan matahari jalur emas sang surya di senja hari hidup begini bahagia dan indah perlu apa segala keluh kesah?”

Mendengar nyanyian yang seolah-olah merupakan nasihat dan hiburan bagi hati mereka yang memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang dan Sui Cin memuji,

"Bagus sekali sajak itu …..!"

Kui Hong sejak tadi juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, ia dapat melihat wajahnya dan ia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian yang merdu itu, kata-kata nyanyian yang demikian indahnya. Kui Hong memandang seperti terpesona, setuju atas pujian ibunya. Memang indah sajak itu, indah pula suaranya.

Laki-laki itu tadinya seolah-olah hanya merasa bahwa dlrinya sendirian di tempat luas itu dan agaknya terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin.

Sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandang matanya dan memandang kepada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali.

"Apakah kau hendak menggulingkan perahu kami? Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau dapat melakukan itu!" tantangnya. Sui Cin terkejut akan tetapi tidak sempat mencegah puterinya yang menantang itu.

Mendengar tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu kini ditujukan kepada tukang perahu seolah-olah orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu menjadi ketakutan dan diapun menjura di tempatnya.

"Mohon maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan saya….."

Melihat betapa tukang perahu itu demikian penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol.

"Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat, kalau engkau demikian pengecut tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya, maka kita tidak boleh kesana kesini sesuka hati?"

Kini sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia berkata.

"Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, kenapa engkau begitu ketakutan?" Kemudian dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Sui Cin dan Kui Hong. "Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi kemana saja dengan perahumu, siapa yang melarang?"

Setelah berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu.

"Siapa sudi kau manis-manis?" bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, ia melihat ibunya tersenyum geli.






"Kui Hong, engkau ini kenapakah. Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau marah-marah? Wah, jangan-jangan engkau kemasukan setan penunggu telaga ini!" kelakar ibunya.

"Mata orang itu seperti mata maling, membikin hatiku mendongkol. Ibu!" kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan.

Ia telah menantang digulingkan perahunya, kemudian ia marah-marah ketika disebut adik manis. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa sikap pemuda itu sopan dan manis budi.

"Memang telaga ini dihuni oleh mahluk-mahluk halus yang gawat." tiba-tiba tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu. "Tadinya kami menganggap pemuda peniup suling itu juga mahluk halus. Maka harap Nona tidak main-main disini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di telaga ini karena gangguan mahluk halus."

Tadinya Kui Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi mendengar kalimat terakhir, kembali ia tertarik.

"Kenapa banyak orang pelancong tewas di telaga ini? Diganggu mahluk halus katamu?"

Diam-diam Kui Hong melirik kekanan kiri. Cuaca sudah menjadi agak gelap dan ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Bagaimanapun juga, Kui Hong hidup di jaman dimana banyak orang masih percaya penuh kepada segala macam tahyul dan dongeng-dongeng tentang setan, iblis dan siluman. Semua itu merupakan hal-hal yang tidak dimengertinya dan menurut dongeng, mahluk halus tidak dapat dilawan dengan ilmu silat yang bagaimana tinggipun karena mahluk halus pandai menghilang. Tentu saja ia merasa takut begitu ada orang bercerita tentang mahluk halus, apalagi di telaga seperti itu dimana ia merasa agak lemah dan tidak leluasa seperti kalau ia menginjak tanah keras.

Agaknya tukang perahu nampak senang. Bagaimanapun juga, dia memperlihatkan bukti bahwa dia lebih tahu tentang telaga itu, dan lebih tahu tentang mahluk halus dan melihat gadis ini agaknya takut-takut, dia merasa lebih menang!

"Telaga ini mengandung banyak keanehan, Nona." katanya bercerita. "Biarpun nampaknya tenang, akan tetapi orang bilang bahwa di bagian tertentu, telaga ini demikian dalamnya sehingga tak seorang pun manusia mampu mengukurnya. Kata orang lebih dari seratus tingginya pohon cemara, dan bahkan ada yang bilang bahwa ada bagian dimana terdapat terowongan yang menghubungkan air telaga ini dengan lautan di timur! Dan kadang-kadang, seperti lautan saja telaga ini akan mengamuk, airnya bergelombang besar dan kalau sudah begitu, banyak perahu tenggelam dan banyak orang binasa. Juga, banyak pula binatang-binatang aneh seperti naga dan laln-lain bermunculan di telaga ini."

"Ihhh ……!" Kui Hong kembali melirik kekanan kiri.

“Tidak aneh kalau telaga ini menjadi gawat dan banyak dihuni setan, karena banyak roh penasaran berkeliaran disini."

"Kenapa begitu?" Kui Hong mendesak, dan diam-diam ia mengisar duduknya mendekati Ibunya.

"Telaga ini selain menjadi tempat hiburan para pelancong, juga terkenal sebagai tempat orang membunuh diri, Nona."

"Bunuh diri? Mengapa ….?"

"Aih, banyak sekali sebabnya, Nona. Patah hati, karena ketakutan, karena malu dan sebagalnya. Sebagian besar wanita yang membunuh diri disini."

"Maksudku, kenapa disini?"

"Karena tempat ini amat dalam, sekali terjun, mereka yang tak dapat berenang tentu akan tewas. Dan airnya dingin sekali, juga amat dalam. Orang yang sudah tenggelam, sukar untuk diselamatkan orang lain. Hanya mereka yang pandai renang sajalah yang tidak mati kalau sampai terlempar ke air. Baru kemarin dulu ada sepasang orang muda membunuh diri disini. Aih, kasihan sekali, masih muda remaja, seusia Nona ….."

Melihat puterinya nampak ketakutan, Sui Ceng cepat berkata.
"Sudahlah, jangan bicara tentang hal yang bukan-bukan. Antarkan kami ke tepi, kami hendak mengaso, malam telah mulai tiba."

"Baik, Toanio dan maafkan saya.”

Tukang perahu itu girang sekali dan cepat mendayung perahunya kembali ke tepi. Senang sekali kalau sudah terbebas dari dua orang wanita yang berani ini, yang tadi membuat dia ketakutan setengah mati karena diharuskan mendekati perahu kecil Si Peniup Suling.

Masih heran dia mengapa laki-laki peniup suling itu tidak menggulingkan perahunya tadi, atau tidak membunuh nona yang menantangnya, bahkan bersikap ramah dan sopan. Bahkan Si Peniup Suling itu kelihatan takut. Ya, takut! Aih, jangan-jangan... kakek itu menjadi pucat mukanya sambil melirik ke arah Sui Cin dan Kui Hong.

Ibu dan anak yang demikian cantik, bahkan yang lebih tua itu tidak patut menjadi ibu, cantik halus akan tetapi berani menantang Si Peniup Suling dan bertanya-tanya kepadanya tentang mahluk halus! Ih! Siapa tahu dua orang wanita ini malah mahluk halus yang sengaja menyamar dan mempermainkan dia.

Setelah tiba di tepi, Sui Cin dan Kui Hong meloncat ke darat, membayar tukang perahu itu dan pergi. Tukang perahu sejenak melongo sambil memandang uang yang berada di tangannya, setengah menduga bahwa uang itu tentu akan menjadi batu kerikil atau rumput seperti yang sering dia dengar dongeng orang-orang tentang pembayaran setan yang menyamar sebagai manusia.

Dan mulai keesokan harinya, diantara tukang-tukang perahu disitu, tentu akan muncul dongeng baru tentang siluman yang menyamar sebagai dua orang wanita cantik menyewa perahu kakek itu, siluman yang berani menantang Si Tukang Suling yang ditakuti itu!

Ketika Sui Cin dan Kui Hong berjalan menyusuri telaga, tiba-tiba mereka lihat ribut-ribut di tepi sebelah depan, dimana sebuah perahu pelesir yang besar berlabuh. Mereka segera menghampiri tempat itu dan melihat betapa ada enam orang lakl-laki tinggi besar yang berpakaian tukang pukul rebah malang melintang dan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun berpakaian mewah nampak berlutut minta ampun kepada seseorang, dan tak jauh dari situ nampak seorang wanita yang melihat pakalannya tentu seorang gadls penyanyi, menangis.

Ketika Kui Hong dan Sui Cin memandang, ternyata kongcu berpakaian mewah itu berlutut sambil minta ampun kepada seorang pemuda yang bukan lain adalah tukang suling tadi! Kini sulingnya terselip di pinggang dan tangannya memanggul yang-kim, laki-laki itu berdiri menundukkan muka memandang kepada kongcu yang minta ampun.

"Hemm, minta ampun? Orang macam engkau ini sepatutnya dilempar ke telaga biar dimakan ikan! Menggunakan kedudukan dan harta untuk menghina orang lain saja kerjanya! Boleh, aku beri ampun akan tetapi engkau harus mengganti kerugian kepada nona itu sebanyak seratus tael perak, dan mengantarkan ia kembali ke tempat tinggalnya dan jangan sekali-kali engkau berani mengganggunya. Kalau perintah ini tidak kau laksanakan, besok aku akan datang mengambil kepalamu!"

"Baik, Tai-hiap (pendekar), baik eng-hiong (orang gagah), baiklah, akan saya penuhi perintah Taihiap ……" Kongcu itu meratap.

"Laksanakan!"

Bentak pemuda itu dan sekali kakinya menendang, tubuh kongcu itu terguling dan sekali berkelebat, pemuda itupun lenyap diantara banyak orang yang merubung disitu.

Kongcu itu meratap kesakitan, akan tetapi lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengantar gadis penyanyi yang menangis itu setelah memberinya uang sebanyak seratus tael perak! Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong tertarik sekali. Mereka mendekati seorang kakek yang berada disitu dan bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar