*

*

Ads

Kamis, 26 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 079

Kakek itu memandang kepada Sui Cin dan puterinya.
"Agaknya Ji-wi bukan orang sini, ya?"

"Benar, Lopek, kami pelancong. Apakah yang terjadi tadi?"

"Mari kita bicara agak jauh disana." kata kakek itu dan mereka pun berjalan menjauhi tempat itu. Setelah jauh dan kiranya tidak terdengar orang lain, kakek itu bercerita.

"Kongcu itu adalah Lui-kongcu, seorang kongcu putera jaksa di kota ini yang mata keranjang dan hampir setiap tiga hari sekali pelesir disini. Dia tidak dapat membedakan mana perempuan yang mau dibegitukan dan mana tidak, karena terlalu mengandalkan kedudukan dan uangnya. Gadis penyanyi tadi bukan pelacur, akan tetapi dia hendak memaksa gadis itu ikut bersamanya dan melayaninya. Gadis itu tidak mau dan menangis, lalu muncul pemuda peniup suling tadi. Terjadi perkelahian dan seperti Ji-wi lihat, enam orang tukang pukul kongcu itu dihajar sampai babak belur dan kongcu itu sendiri dipaksa membayar seratus tael perak. Hemm, memang menyenangkan sekali kami kaum kecil ada yang membela."

"Lopek, siapakah sebenarnya pemuda peniup suling itu tadi?" Sui Cin kembali bertanya.

"Jangan tanya padaku. Bagaimana kami bisa tahu? Tempo hari dia muncul dan menggulingkan perahu kongcu hidung belang yang kurang ajar, kini dia muncul begitu saja menolong gadis penyanyi dan menghilang begitu saja. Aku tidak akan merasa heran kalau dia ….." kakek itu tidak melanjutkan, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah telaga dengan pandang mata penuh arti.

"Kau maksudkan……. mahluk halus penunggu telaga?" tanya Sui Cin.

"Ssst....." kakek itu berbisik, "Nyonya sudah tahu, tak perlu dibicarakan lagi.... "

Dan diapun pergi dengan tergesa-gesa. Hampir Sui Cin tertawa bergelak melihat sikap dan bicaranya, akan tetapi karena Kui Hong kelihatan ketakutan dan gadis itu sudah memandang ke kanan kiri, iapun diam saja.

"Mari kita kembali ke penginapan." katanya dan Kui Hong hanya mengangguk.

Di dalam perjalanan menuju ke penginapan yang berada tak jauh dari telaga, di tepi sebelah sana, Sui Cin berkata,

"Tak kusangka kiranya pemuda itu adalah seorang pendekar pembela kaum lemah. Sungguh mengagumkan sekali."

"Hemm, belum tentu, Ibu."

"Belum tentu bagaimana?"

"Siapa tahu dia itu... dia itu ...."

Kui Hong tidak melanjutkan melainkan menuding ke telaga seperti yang dilakukan oleh kakek yang menceritakan mereka tentang perkelahian tadi sehingga Sui Cin tertawa.

Setelah mereka tiba di dalam kamar penginapan Kui Hong masih nampak takut dan ngeri.

"Ibu, katakanlah, sebetulnya setan dan siluman itu ada ataukah tidak?"

"Bagaimana aku tahu?" jawab ibunya dengan suara wajar, bukan bergurau lagi.

"Kenapa Ibu tidak tahu?"

"Anakku yang baik, kalau Ibu mengatakan tidak tahu, itu berarti Ibu jujur dan tidak mengada-ada. Memang Ibu tidak tahu, karena Ibu sendiri belum pernah bertemu dengan setan, walaupun sejak muda dahulu, Ibu ingin sekali dapat bertemu dengan setan."

"Ihh! Ibu ini aneh-aneh saja! Ingin bertemu dengan setan ?"

"Benar, kalau dapat bertemu kan dapat kita ajak dia bercakap-cakap menceritakan hal-hal yang belum pernah kita ketahui, tentang dunia setan, tentang kehidupannya dan lain-lain. Menarik sekali, bukan? Dan kalau Ibu sudah bercakap-cakap dengan setan sendiri, barulah aku dapat menjawab pertanyaan setan itu ada atau tidak. Selama ini yang kuketahui tentang setan hanyalah melalui dongeng dalam buku atau mendengarkan cerita orang. Dan yang mendongeng kepadaku itupun tentu mendengar pula dari lain orang, dari mulut ke mulut. Belum tentu diantara seribu orang yang mendongeng tentang setan itu pernah melihat atau bertemu sendiri dengan setan yang sesungguhnya."






"Kalau begitu, apakah ada setan yang palsu? Dan mengapa banyak orang mengatakan mereka pernah melihat setan, bahkan tempat ini angker tempat itu gawat menjadi tempat yang dihuni mahluk halus?"

“Tentu saja, karena yang biasa dilihat orang-orang itu adalah penglihatan khayal sendiri yang timbul dari rasa takut. Orang yang takut tentu akan dapat melihat benda-benda aneh dan menakutkan, yang sesungguhnya hanya benda biasa saja. Sebatang pohon akan nampak seperti setan raksasa di waktu malam bagi orang yang sudah ketakutan akan setan. Kalau batin sudah takut, sudah kacau balau, tentu saja panca indera juga menjadi lemah dan kacau. Setan-setan yang nampak karena khayal inilah yang kumaksudkan bukan mahluk halus yang sesungguhnya, melainkan hanya pantulan dari setan yang sudah digambarkan di dalam benak sendiri. Rasa takut seperti itu adalah suatu kebodohan, bukan? Takut akan sesuatu yang sama sekali tidak kita ketahui! Kenapa mesti takut? Kepercayaan akan setan membuat orang menjadi takut dan tahyul!"

"Tapi, apakah Ibu sendiri tidak percaya akan adanya setan?"

Ceng Sui Cin tersenyum.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak tahu apakah setan itu ada ataukah tidak. Kalau kukatakan ada, buktinya aku belum pernah bertemu dengannya. Kalau kukatakan tidak ada, bagaimana mungkin kalau aku tidak tahu akan keadaannya? Siapa tahu dia ada namun tidak nampak? Jadi, lebih tepat kalau kukatakan tidak tahu saJa."

"Tapi Ibu tidak takut?" .

Ibunya menggeleng kepala.
"Tentu saja tidak. Kenapa mesti takut kepada setan yang belum pernah kutemui?"

"Kabarnya, setan itu amat jahat. Bukankah orang-orang jahat dinamakan setan, iblis dan siluman?"

"Yang jahat adalah manusianya, ini jelas. Apakah setan itu jahat atau tidak, akupun tidak tahu. Mungkin saja orang jahat itu digerakkan setan, akan tetapi yang nampak adalah orang itu sendiri. Orang yang jahat inilah yang harus kita hadapi dengan hati-hati, mereka inilah yang berbahaya, bukan setan-setan yang tidak nampak. Sudahlah, Kui Hong, perlu apa kita bicara tentang setan-setan? Yang lebih menarik bagiku bukan cerita dan dongeng tukang perahu tentang setan, melainkan pemuda itu sendiri. Dia amat menarik hati. Sudah kusangka bahwa dia bukan orang biasa. Kepandaiannya memainkan musik, membuat sajak yang indah, kemudian cerita tentang dia menggulingkan perahu para kongcu kurang ajar. Ternyata memang benar dan kita melihat sendiri betapa dia membela gadis penyanyi itu dari tekanan seorang kongcu hidung belang."

"Sayang dia tidak menanggapi ketika kutantang. Aku ingin mencoba sampai dimana kelihaiannya. " kata Kui Hong penasaran.

"Hushhh, jangan begitu, Kui Hong! Kita harus selalu melihat dan mempertimbangkan baik-baik dengan siapa kita berhadapan. Bukan asal ada orang pandai ilmu silat lalu kita tantang untuk mengadu ilmu! Bukan itu tujuan mempelajari ilmu silat, anakku. Kalau kita berhadapan dengan orang jahat dan kuat yang melakukan penindasan terhadap kaum lemah, boleh kita turun tangan menentangnya seperti yang dilakukan pemuda peniup suling itu. Akan tetapi kalau bertemu dengan seorang pendekar, tidak sepantasnya kalau kita menantangnya. Kecuali tentu saja kalau kita ditantang untuk mengadakan pi-bu (adu silat) yang berdasarkan persahabatan, bukan perkelahian."

"Aku juga tidak memusuhinya, Ibu, setelah tahu bahwa dia seorang pendekar. Hanya ingin menguji sampai dimana kepandaiannya."

Mereka tiba di kamar dan malam itu Kui Hong agak gelisah tak dapat tidur karena pikirannya masih membayangkan setan-setan, juga kadang-kadang nampak wajah pemuda peniup suling itu yang membuatnya penasaran.

Tiba-tiba telinganya yang terlatih dan tajam itu mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng, seperti suara seekor kucing yang berjalan dengan lembut. Sebagai seorang ahli silat tinggi, Kui Hong merasa curiga dan iapun sudah siap siaga, dengan seluruh urat syaraf menegang.

Ketika ia melihat bayangan berkelebat di luar jendela kamar yang gelap itu, bulu tengkuknya tiba-tiba meremang karena ia teringat akan setan-setan. Jangan-jangan iblis yang lewat di depan jendela tadi, gerakannya demikian cepat dan bayangan itupun makin lama semakin membesar!

Kalau menghadapi lawan manusia, betapapun lihainya, Cia Kui Hong takkan mundur setapakpun. Akan tetapi kalau harus melawan siluman, hliihhh, belum apa-apa bulu tengkuknya sudah meremang, tengkuknya terasa dingin dan jantungnya berdebar, tubuhnya agak gemetar!

Matanya terbelalak memandang bayangan yang makin membesar di luar jendela. Dari kertas yang menempel jendela, dapat nampak bayangan itu, bayangan seorang lak-laki tentu karena tubuhnya nampak tegap, bukan seperti tubuh wanita walaupun bayangan itu tentu saja tidak nampak jelas.

Karena rasa takut akan bayangan yang disangkanya iblis itu, yang muncul dari dalam pikiran Kui Hong sendiri karena sarat dengan gambaran-gambaran tentang iblis, Kui Hong seketika kehilangan kegagahannya dan iapun menyentuh kaki ibunya.

"Ibu, Ibu, bangunlah ….." bisiknya.

Sui Cin adalah seorang pendekar wanita. Ketidak wajaran sedikit saja sudah cukup untuk membuatnya tergugah dari tidurnya dan begitu sadar, iapun sudah bangkit duduk dengan cepat.

"Ada apa?" bisiknya kembali.

"Lihat …..!" Kui Hong menunjuk ke arah jendela.

"Srttt... srttt ……!!"

Nampak sinar merah kecil meluncur dari tangan pendekar ini ke arah jendela dan ternyata ia telah menyerang bayangan itu dengan jarum-jarum merahnya yang amat lihai. Jarum-jarum kecil Itu meluncur dan menembus kain dan kertas jendela, menyerang langsung bayangan yang berdiri diluar jendela, bayangan yang nampak sebentar besar sebentar kecil.

"Hemm ….!"

Terdengar seruan kaget dan bayangan itu pun lenyap! Sekali melompat, Sui Cin telah berada di dekat jendela, membukanya dan meloncat keluar, dikuti oleh Kui Hong. Akan tetapi tidak nampak seorangpun di luar, dan lampu gantung yang berada di ruangan luar kamar itu bergoyang-goyang. Melihat betapa orang yang diserang ibunya itu selain dapat menyelamatkan diri, juga menghilang demlklan cepatnya, kembali Kui Hong bergidik.

"Dia tentu iblis, Ibu ….." katanya dan suaranya gemetar.

Sui Cin mengerutkan alisnya. Percuma kalau mengejar atau mencoba untuk mencari orang tadi karena tentu sudah bersembunyi dan menghilang dan kalau ia mengejar, tentu hanya akan menimbulkan keributan yang tidak menguntungkan saja. Ia lalu mendekati jendela dan meneliti ke bawah. Di bawah sinar lampu gantung, ia melihat jelas bekas sepatu di bawah jendela, menginjak lantai yang berdebu.

"Dia bukan setan, melainkan manusia biasa. Lihat telapak sepatunya disini." katanya.

Kui Hong juga memeriksa tapak kaki itu.
"Aih, betapa bodohku, Ibu. Kalau aku tadi tidak takut setengah mati dan langsung menerjang keluar, mungkin aku dapat menangkapnya. Akan tetapi... hiiih, kenapa bayangannya dapat membesar mengecil seperti itu? Kalau bukan setan ....."

Sui Cin tersenyum.
"Permainan sinar lampu, Kui Hong. Masuklah dan kau lihat bayanganku di balik jendela."

Kui Hong melompat masuk kamar, menutupkan daun jendela dan ketika ia melihat, benar saja, bayangan ibunya menjadi kecil, kemudian membesar, persis seperti bayangan orang tadi. Ibunya masuk.

"Mengertikah engkau? Lampu itu tergantung disana. Kalau orang itu mundur dari jendela mendekati arah lampu, tentu saja bayangannya menjadi besar dan kalau dia menjauhi lampu, menghampiri jendela, bayangannya mengecil."

Ingin rasanya Kui Hong menampar kepalanya sendiri.
"Betapa tololnya aku, Ibu! Sungguh mati, tadi kusangka dia seorang iblis. Untung aku tidak mengompol saking seram dan takutku!" Gadis itu cekikikan teringat akan ulahnya sendiri.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar