*

*

Ads

Kamis, 26 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 077

Perjalanan yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah perjalanan yang amat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walaupun mereka mempergunakan ilmu berlari cepat!

Tentu saja ibu dan anak ini mengalami banyak kesukaran. Selain lelah dan hati mereka tertekan duka, juga masih banyak gangguan mereka hadapi sebagai dua orang wanita cantik melakukan perjalaran tanpa kawalan. Biarpun usianya sudah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita. Tubuhnya yang ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan sebelum ia mempunyai anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat karena ia masih terus berlatih silat sehingga ia lebih tepat dikatakan bertubuh montok.

Wajahnya nampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya sehingga dalam melakukan perjalanan bersama Kui Hong, mereka lebih pantas disebut enci adik, daripada ibu dan anak.

Sampai sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya yang dahulu, yaitu sikapnya bebas dan pakaiannyapun agak nyentrik. Ia lebih mengutamakan enak dipakai daripada indah dipakai. Karena ia melakukan perjalanan yang jauh, ia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang telah mengangkat namanya ketika ia masih gadis, di samping benda itu dapat pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik matahari dan curahan air hujan.

Juga puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, pakaian pria yang ketat sehingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu nampak indah menarik seperti buah yang sedang ranum. Berbeda dengan ibunya yang membawa sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung kalau tidak dipergunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa sebatang pedang yang dipasang di atas buntalan di punggung.

Karena gadis ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang banyak menolong mereka, karena kalau ada laki-laki yang tertarik dan berniat kurang ajar, mereka mundur teratur melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli silat) yang tidak boleh sembarang diganggu.

Kurang lebih sebulan kemudian setelah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini memang indah karena letaknya di tepi telaga besar itu yang menampung air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar. Karena hari telah menjelang sore dan tidak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin lalu mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini.

Mereka memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah penginapan yang terletak di tempat indah sekali, di tepi telaga. Setelah mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka yang sedapat mungkin mereka sembunyikan di bawah baju, sedangkan Sui Cin membawa payungnya, mereka lalu meninggalkan rumah penginapan untuk melihat keindahan telaga itu dimana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang pesiar ke telaga.

"Ibu, kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu menyenangkan sekali!" kata Kui Hong.

Sui Cin tersenyum. Setelah melakukan perjalanan dengan puterinya, sedikit demi sedikit Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya dan ia merasa kasihan kepada puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya.

"Baik, Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan untuk mengantar ke perahu yang kita sewa."

Dengan gembira,seperti dua orang ibu dan anak yang sedang pergi pelesir dan sama sekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lalu memilih perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu oleh kakek pemilik perahu.

Tak lama kemudian, perahu itu pun didayung perlahan oleh kakek tukang perahu sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja didayung menuju ke barat, menyongsong matahari yang sedang tenggelam.

Bukan main indahnya pemandangan itu. Matahari yang condong ke barat itu membakar langit di barat dan bayangannya di air yang tenang dan jernih sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali.

Gembira hati ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak pula perahu-perahu pesiar yang hilir mudik di permukaan telaga yang teramat luas. Terdengar pula suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis penyanyi yang bermain yangkim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar.






Sui Cin dan Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang di atas perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu, lalu menyuruh tukang perahu untuk mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai. Dari jauh nampak perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu seperti binatang-binatang aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua buah perahu yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak tergesa-gesa.

Tiba-tiba terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim (semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja hari itu. Petikan yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seolah-olah memberi penghormatan dan mengiringkan Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan diri di istana barat.

Ibu dan anak itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka. Perahu itu meluncur tenang dan ternyata digerakkan oleh layar kecil yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke mana pun arahnya karena penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu karena dialah yang sedang asyik membunyikan musik itu. Akan tetapi, seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya pula, sungguh sukar untuk dipercaya!

"Dekati perahu itu …." kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena ia tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju.

Akan tetapi kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan menggeleng kepala.
"Tidak boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)."

"Eh, memangnya kenapa?" tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran.

"Saya adalah tukang perahu yang setiap hari bekerja disini dan segala peristiwa yang terjadi di telaga ini saya ketahui, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada hari pertama, ada perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan yang-kim itu!"

Tentu saja Sui Cin dan Kul Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu.
"Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?" tanya Kui Hong, mencoba untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu, akan tetapi karena jarak diantara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca sudah mulai remang-remang, ia tidak mampu melihat jelas.

Hanya kelihatan seorang laki-laki yang bertubuh sedang duduk menunduk di perahu itu, memangku sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Karena dia memegang suling itu dengan tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan tangan kirinya saja, sedangkan tangan kanannya dipergunakan untuk memainkan senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya.

"Saya tidak tabu, Nona. Tak seorangpun tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang perahu tidak berani mendekatinya. Kalau dia tidak diganggu, dia pun tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, bahkan menyenangkan dengan permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?"

"Bagaimana dia menggulingkan perahu besar?" Sui Cin yang tertarik, bertanya.

Kakek itu menggelengkan kepala.
"Siapa mengerti, Toanio? Tahu-tahu perahu itu terbalik dan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim. Setelah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu kecilnya meluncur pergi."

"Apa yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan marah?" Sui Cin bertanya lagi, semakin tertarik hatinya.

"Perahu besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air memercik membasahi pakaian dan yang-kimnya, dan para penghuni perahu besar mentertawakannya." jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena tidak mau datang terlalu dekat.

"Sombong benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana sih macam orangnya. Paman tua, dekatkan perahu kita dengan perahunya!" kata Kui Hong yang sudah merasa tertarik dan penasaran sekali.

Sui Cin juga tertarik, karena menduga bahwa orang dapat bermain suling dan yang-kim sekaligus menjadi paduan suara yang amat serasi, dan yang berwatak aneh seperti itu menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu merupakan orang yang luar biasa. Apalagi kalau dipikir bahwa menggulingkan perahu bukan pekerjaan yang mudah.

"Dekatkan perahu kita." katanya pula kepada tukang perahu.

"Tidak, Toanio, Siocia. Saya tidak berani. Bagaimana kalau nanti perahuku digulingkan pula? Celaka, saya akan menderita rugi." Dia lalu memandang kepada mereka. "Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dan berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai tenggelam?"

"Aku akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian." kata Sui Cin sambil tersenyum.

"Saya tidak berani, Toanio."

"Heh, tukang perahu cerewet! Kalau engkau mendekatkan perahumu kesana, belum tentu dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi kalau engkau tidak mau dan masih banyak cerewet, yang jelas sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!" bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan menolak permintaan mereka.

Mata tukang perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut.

Agaknya Kui Hong melihat pula hal ini, maka ia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran perahu yang terbuat dari papan tebal itu.

"Cusss …….!"

Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja.

"Kau ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?" Kui Hong membentak.

Mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat.
"Tidak... tidak, Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu …." katanya dengan suara gemetar.

Hampir dia tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan halus itu dapat menusuk dan amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja memasuki agar-agar saja!

Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih berbahaya daripada ancaman perahu kecil pemain suling itu, dia pun mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya tidak membuat air terpercik terlalu keras dan agar perahunya tidak sampai menubruk perahu kecil di depan itu.

Kini perahu kecil itu tidak meluncur lagl karena rupa-rupanya angin sudah berhenti bertiup dan karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih kadang-kadang menghadap ke kanan, kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk.

Akan tetapi orang yang duduk di kepala perahu itu agaknya tidak mempedulikan hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya. Dengan tangan kirinya, menyangga suling dengan ibu jari sedangkan jari-jari yang lain mempermainkan lubang-lubang suling, seorang laki-laki meniup sulingnya itu dengan suara merdu, melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indahnya, dan suara ini diiringi petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya.

Biarpun hanya memainkan setiap alat musik dengan satu tangan saja, namun jari-jari tangan itu bermain dengan amat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat merdunya. Orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena mukanya menunduk, apalagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar