*

*

Ads

Sabtu, 21 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 054

Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti kalau sudah melewati banyak dusun dan kota. Apalagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu dan dasarnya pun nampak.

Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di tepi sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu sedang memancing ikan seorang diri, nampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu.

Air demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon yang menciptakan tempat tinggal yang amat menyenangkan bagi ikan-ikan, apalagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Tidak mengherankan kalau dalam waktu setengah jam saja, pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.

Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Ia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang dan kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.

"Ha, seekor lagi saja aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!" katanya. "Marilah manis, kausambar umpanku!"

Pemuda itu tersenyum-senyum penuh kegembiraan dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum.

Wanita yang mengintai itu kini berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja ia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pohon-pohon, batu-batu dan semak-semak belukar. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang sedang memancing ikan itu dengan jelas sekali. Dan semakin jelas ia memandang, makin kagumlah ia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.

Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Biarpun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya. Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda dengan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun.

Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa ia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apalagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihias seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

Ia juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong di belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu pun seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dan membawa bekal pakaian. Akan tetapi, pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru.

Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus karena dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga sepasang bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa mempergunakan kecerdikannya. Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tidak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya.

Sepasang pipinya nampak segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak mencuat ke atas menjadi penambah manis, mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka seperti orang terengah, menimbulkan sifat menantang.

Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang memiliki wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk-lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, pinggangnya amat kecil seperti pinggang tawon kemit.

Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki wajah, bentuk tubuh dan pembawaan yang amat menarik hati bagi kaum wanita. Wajahnya yang tampan selalu cerah, pandang matanya selalu penuh gairah dan semangat, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah.

Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika tiba di tepi sungai itu, dia melihat gerakan banyak ikan dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi suhgai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.






Dia tidak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin gembira. Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula!

Dengan ujung matanya, dia tadi sekelebatan dapat menangkap bayangan pengintainya, dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga pahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu.

Akan tetapi dia membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh uhtuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian sudah tahu bahwa dia memiliki kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu akan mengetahuinya? Dan pula, apa perlunya Bi Lian mengintai seperti Itu? Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya. Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan mahluk yang selalu menarik perhatiannya.

Tiba-tiba tali pancingnya bergerak, seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar daripada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengail mulut ikan dan dia meneruskannya dengan gerakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar daripada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak,

"Ohh, terlepas …..!"

Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi! Tiba-tiba sebuah tangan yang kecil halus namun cekatan, menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul di balik semak-semak, memegang setangkai pancing di ujung mana nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya daya pikat, wanita itu kini menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.

"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!"

Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah dan nampak rongga mulut yang merah sekali, dengan deretan gigi yang berkilauan dan putih rapi.

Hay Hay memandang dengan bengong. Dia seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.

"Ya ampun Dewi …..! Paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?"

Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak.

Mula-mula sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan main. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.

"Kenapa engkau menganggap aku Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.

Dengan terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung dan mulut itu. Anak rambut membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar seperti dilukis saja, nampak hitam indah dilatar-belakangi kulit yang putih kuning mulus.

"Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini."

Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya. Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk? Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, walaupun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tidak ada yang buruk, walaupun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan di banyak bagian!

Wajah yang manis itu semakin gembira berseri, dan matanya menjadi semakin tajam bersinar-sinar.

“Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."

Wanita itu menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.

"Terima kasih Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"

Wanita itu sudah seringkali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya sedemikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurangajaran, seperti mata setiap laki-laki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan! Maka ia menjadi semakin gembira walaupun mulutnya pura-pura cemberut ketika ia berkata.

"Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja.”

"Aku tidak memuji kosong, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihhh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya."

Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun ia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.

Wanita itu tersenyum, manis sekali.
"Pemuda yang tampan dan ganteng, berapakah usiamu sekarang?"

Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!

"Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"

"Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."

“Ha, dugaanmu keliru dan aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. “Dan berapakah usiamu, Nona?”

"Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.

Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia mengangguk-angguk.

"Paling banyak dua puluh tahun, Nona."

Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya penaksiran itu menyenangkan hatinya.
"Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."

"Aku tidak percaya!"

Hay Hay berseru penasaran. Karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.

"Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar