*

*

Ads

Sabtu, 21 April 2018

Pendekar Mata Keranjang Jilid 055

"Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan sudah membantuku menangkap ikan yang terlepas ini, biarlah kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."

Wanita itu memandang dengan mata bersinar-sinar.
"Bagaimana engkau hendak memasaknya?" .

Hay Hay mengangkat dada dan menepuk dadanya.
"Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"

Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali.
"Tentu saja lezat."

"Kau tunggu sebentar, Nona."

Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan main menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja.

Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang melayani suhunya, dia yang masak setiap hari sehingga dia memang dapat dikata ahli masak. Apalagi ketika dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sesungguhnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhunya itu.

Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan le zat dan cocok sekali. Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, dapat menikmati kehidupan ini biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di tepi sungai dan ia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api.

Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena ia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.

Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering dan anggur dikeluarkan dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.

"Mari silakan, Nona. Kita makan seadanya."

Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah. Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampaklah tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.

"Eh, sobat, apa yang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.

"Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu, Nona? Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Eh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."

Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu pun duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera.

Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian karena memang daging ikan itu enak sekali. Belum pernah rasanya ia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi demikian nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.






Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.

"Hi-hik, alangkah lucunya!"

Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika ia tertawa.

Hay Hay mengangkat muka dan memandang.
" Apanya yang lucu, Nona ?"

“Kita sudah makan bersama."

"Apa salahnya dengan itu?"

"Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."

"Wajar dalam perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu……”

"Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."

Hay Hay tertawa. Dia memang sengaja tadi. Bagaimanapun juga, keadaan wanita ini mencurigakan. Wanita itu ketika mengintainya, dapat bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu, dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.

"Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita sudah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda? Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"

Gadis itu tertawa pula dan kini ia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya dan Hay Hay melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu kalau tertawa.

"Hi-hi-hik, pertanyaanmu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."

"Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya." Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.

"Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.

"Namaku? Namaku Hay"

"Hay siapa??"

"Yah, Hay saja."

"Shemu apa?"

Hay Hay menggeleng kepalanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi." kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali.

Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, ia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa ia lebih tua.

"Ah, mustahil orang tidak mengetahui shenya sendiri! Siapa nama ayahmu?"

Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan kedua lengannya.

"Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal Ayah Ibuku, sejak bayi aku dibawa orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."

"Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"

"Ya, sebut saja Hay, atau biasa orang memanggil aku Hay Hay."

"Hay Hay... hemm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita telah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan saja kita saling berjumpa di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah?"

"Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Sudah kukatakan bahwa aku sedang mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ah, tidak menarik. bukan? Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."

“Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay."

Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lenganHay Hay. Terasa hangat dan halus tangan itu, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.

"Tidak perlu dikasihani. Aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, gadis yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan? Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana Sun Bi?"

Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu kini menundukkan mukanya dan perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua ptpinya. Dua butir air mata itu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar Wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.

"Aihhh... Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia ….”

Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus.

"Sun Bi, apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau merasa sengsara?"

Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lalu berkata.
"Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat dan meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku seorang yang membawa kesialan dan aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku ….."

Sun Bi lalu menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tangannya.

Hay Hay merasa kasihan, juga penasaran sekali.
"Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"

Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya.

"Sudahlah, Sun Bi. Mati hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi."

Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu seolah-olah menjadi semakin sedih dan ia pun tiba-tiba mengguguk dan menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay.

"Hay Hay... ah, Hay Hay ….!"

Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu.

"Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi ……" hiburnya.

Pendekar Mata Keranjang







Tidak ada komentar:

Posting Komentar