*

*

Ads

Selasa, 21 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 155

Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apalagi ketika gadis itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya seperti diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, diapun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika!

Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan yang pernah dipelajarinya dari seorang diantara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)! Iapun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Ia membayangkan betapa tadi Tang Gun menggelutinya, bahkan menelanjanginya dan iapun meludah ke arah mayat itu.

"Sumoi…… !" Pek Han Siong memanggil.

Bi Lian memutar tubuhnya. Melihat Han Siong, bayangannya berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun.

"Suheng……. !" Dan teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya, Bi Lian menggigil.

"Kenapa, sumoi….. ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?"

Bi Lian menggeleng kepalanya.
"Tidak apa-apa, suheng….. hanya aku teringat tadi…… kalau engkau tidak cepat datang menolongku……. ahhhh……. si keparat itu……… "

"Sudahlah, sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, ia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Mereka bahkan berkelahi di luar rumah."

Keduanya lalu berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu dimana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.

Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong dan membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong. Menghadapi Pek Han Siong seorang saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah ketika bertanding melawan Kui Hong memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai.

Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akantetapi, Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar.

"Jahanam busuk, engkau hendak lari kernana?"

Kui Hong mengejar. Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung dan saat itu, Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong.

Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, kini pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan.

Seperti kita ketahui, Cun Sek telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini menjadi ketuanya! Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga ia telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek. Dan Kui Hong juga memanfaatkan kelebihannya ini.

Biarpun Cun Sek dapat membela diri dengan baik dan rapat, namun lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Kini Gin-hwa-kiam berada di tangannya maka iapun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa-kiamsut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya.






Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di situ, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya. Melihat ini, Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu dan hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini memperoleh kemajuan pesat dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau ia menjadi ketua Cin-ling-pai.

Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka iapun dapat menduga bahwa Bi Lian telah berhasil "membereskan" Tang Gun. Ia merasa penasaran karena ia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka, ia mengeluarkan seruan melengking nyaring dan pedang Gin-bwa-kiam diputar dengan cepat dan mengandung tenaga yang amat kuat menempel dua batang pedang lawan.

Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia menarik sepasang pedang itu dan meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong, ia menancapkan pedangnya di atas tanah, melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.

"Hyaaaaattt... !!"

Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah diantara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang amat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.

"Desssss……. !!"

Biarpun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan gadis itu menerobos dan hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, kemudian dada di bagian bawah Cun Sek dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau dan terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan diapun tewas seketika.

Kui Hong meloncat dan dengan kedua tangannya ia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang ia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.

"Engkau sudah bereskan jahanam itu?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.

"Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini kukembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi."

Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus.
"Ah, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Diantara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada ialah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya pinjam dari saudara Tang Hay….. ah, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak…..??”

"Kau maksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong, tertarik.

"Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Dia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan…….. ah, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa dipergunakan Mayang. Mari!"

Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu.

Mereka bertiga lari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis.

"Hemm, agaknya inilah wajah yang asli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong.

Mereka melihat betapa Mayang mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah cabik-cabik, dan mukanya sudah penuh guratan merah terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.

"Jahanam, engkau kiranya masih disini?" tiba-tiba Kui Hong membentak dan sekali loncat, ia telah berada di depan Sim Ki Liong yang nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan.

Melihat ini, Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya.

"Sim Ki Liong, hayo cepat pergunakan senjatamu. Kita selesaikan semua perhitungan antara kita disini. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk menghukummu, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu."

"Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, nona. Aku siap menerima hukuman mati sekalipun, aku tidak akan melawan, aku menerima kesalahanku."

Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Ia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai, dan belum tentu ia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini dengan mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekalipun, tanpa melawan?

"Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"

Tiba-tiba Ki Liong menjatuhkan diri berutut, tidak menghadap Kui Hong, melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan,

"Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah, dan kalau suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."

Mendengar ini, Kui Hong mengerutkan alisnya. Ia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar ia merasa iba. Maka ia berkata lantang,

"Bagus, kalau begitu, biar aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!"

Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya, siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.

"Enci Kui Hong, jangan……..!!"

Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu dan teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga ia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.

"Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!"

Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak.
“Mayang, dia seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!”

“Tidak, enci Kui Hong! Biarpun dia pernah tersesat, namun dia telah menyadarinya dan bertaubat. Bahkan dia telah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!”

Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya.

“Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga…….."

"Mayang, minggir kau!” Kui Hong membentak.

"Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.

"Aih, Mayang. Ada apa dengan engkau? Kenapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya, penasaran.

"Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku….. aku cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku berpisah darinya. Sekarang, jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta."

Semua orang terbelalak, kagum akan keberanian dan ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya.

"Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu lebih dulu agar aku dapat membunuh keparat itu."

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar