*

*

Ads

Kamis, 16 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 138

Kakek dalamnya, yaitu ayah dari ayahnya, adalah Siangkoan Lojin yang terkenal dengan julukan Si Iblis Buta! Dan kakek luarnya, ayah dari ibunya, lebih hebat lagi karena kakek itu adalah mendiang Raja Iblis! Raja Iblis dan isterinya, Ratu Iblis, benar-benar pernah merajai dunia sesat.

Dan ayah ibunya, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, pernah pula menjadi orang-orang terhukum di kuil Siauw-lim-si karena dianggap berdosa oleh ketua kuil. Mereka berdua menerima hukuman ini untuk menebus dosa orang-orang tua mereka!

Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, apalagi dianggap sebagai budi oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi, melainkan suatu cara untuk memperoleh sesuatu.

Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa pertolongan yang kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan menghutangkan sesuatu untuk kelak
ditagih dan diharuskan membayar kembali berikut bunganya? Baik buruk hanya penilaian, dan penilajan selalu didasari kepentingan pribadi. Kalau segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta kasih, maka tidak ada pamrih lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi dan dendam!

Budi maupun dendam hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari hati akal pikiran
yang bergelimang nafsu. Penyesalan tidak ada gunanya! Perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran, selalu ditunggangi nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin karena pengamatan sepenuhnya tanpa si-aku yang mengamati ini menimbulkan kesadaran.

Tidak mungkin kita mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran tak mungkin dapat lepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar, namun setiap kali memikirkan berniat mengubahnya, setiap perbuatan itu diulang dan pikiran yang berniat mengubah tadipun menipis dan lenyap.

Tidak mungkin pikiran dapat mencuci kekotoran perbuatan karena justeru perbuatan itu
sudah dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang kotor pula? Yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran, hanyalah kekuatan Tuhan! Kita yang merasa bergelimang kekotoran, yang sudah dikuasai oleh nafsu daya rendah, hanya tinggal menyerah kepada kekuasaan Tuhan!

Biarkan kekuasaan Tuhan yang mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang membimbing dan membersihkan batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka terbukalah jendela dan pintu batin kita untuk menerima masuknya sinar cinta kasih. Kalau sudah begitu, maka setiap perbuatan kita diterangi oleh sinar cinta kasih. Lalu kemana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan masih penting bagi kehidupan kita.

Namun, nafsu daya rendah tidak lagi menjadi majikan, melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan hidup di dunia ini. Bukan lagi menjadi liar, karena kalau nafsu daya rendah yang memegang kemudi, kita akan disesatkan kearah pengejaran kesenangan nafsu sehingga menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya merusak dan yang pada umumnya disebut jahat.

Malam itu tidak terjadi sesuatu. Bi Lian dan Hok Seng menunggu di kamar masing-masing, namun tuan rumah tak kunjung pulang. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika mereka berdua sudah menyiram tubuh dengan air dingin dan sudah duduk di luar, muncullah Gu Kiat!

"Bagaimana, saudara Gu Kiat? Berhasilkah?" Hok Seng segera menyambutnya dengan pertanyaan yang ingin tahu sekali.

Gu Kiat tersenyum, menarik napas panjang lalu duduk di depan mereka.
"Tiada seorangpun tahu dimana pindah atau perginya bekas perwira itu. Ketika saya sudah putus asa dan menjelang pagi tadi berjalan pulang, di tengah jalan saya bertemu atau dihadang oleh seorang bertopeng hitam…….”

"Topeng hitam…..?" Tang Gun berseru kaget.

“Ya, orang itu mengenakan kedok hitam. Dia muncul tiba-tiba dan bertanya mengapa saya mencari bekas perwira Tang Bun An. Karena sikapnya menyeramkan, terpaksa saya berterus terang, mengatakan bahwa kongcu yang mencarinya. Dan si kedok itu lalu menyuruh saya memberitahukan kongcu bahwa dia yang akan dapat menunjukkan kepada kongcu dimana adanya bekas perwira itu."

"Tapi….. tapi…… siapa dia?” tanya Tang Gun, suaranya menunjukkan ketegangan hatinya dan Bi Lian hanya mendengarkan saja dengan sikap tenang.

“Saya juga bertanya demikian, kongcu. Ketika saya bertanya siapa dia, dia hanya mengatakan bahwa dia pernah memberi sekantung emas kepada kongcu dan bahwa kongcu tentu mengenalnya!"






“Pendekar itu…..!” Tang Gun menoleh kepada Bi Lian.

“Sumoi, tentu dia pendekar yang menolongku itu!”

"Mungkin saja." kata Bi Lian. "Akan tetapi bagaimana selanjutnya pertemuanmu dengan si kedok hitam itu?" tanyanya kepada Gu Kiat yang terputus ceritanya tadi.

"Oh, ya! Bagaimana selanjutnya, Gu Kiat? Apa yang dipesankan oleh pendekar berkedok hitam itu?" tanya Tan Gun.

"Pesannya aneh sekali, kongcu. Dia bilang bahwa kalau kongcu hendak mencari perwira Tang, kongcu harus menemuinya di kuil tua kosong yang berada di sebelah timur pintu gerbang kota. Dan dia pesan agar kongcu datang seorang diri, tidak boleh ditemani siapapun. Kalau kongcu tidak sendirian, dia tidak akan menemui kongcu dan tidak mau membantu lagi."

"Hemm, penuh rahasia orang itu. Mencurigakan juga!" kata Bi Lian sambil mengerutkan alisnya.

"Tapi dia…… dia pernah menolongku, sumoi! Tak mungkin sekarang dia hendak menjebak atau mencelakakan aku. Gu Kiat, kapan aku harus rnenemuinya."

“Sekarang juga, kongcu. Dia bilang jangan terlalu siang karena dia tidak mungkin dapat menanti terlalu lama."

"Sumoi, kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Kau tunggulah disini, sumoi. Aku takkan lama dan akan segera kembali setelah mendapatkan keterangan."

Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia berkata.
"Baiklah, suheng. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku masih curiga akan sikap aneh orang itu.”

“Dia bermaksud baik, sumoi, hal ini aku yakin. Nah, aku pergi dulu. Kau tunggulah di siini."

Tang Gun atau Tan Hok Seng pergi dan Bi Lian diam-diam memperhatikan sikap tuan rumah. Akan tetapi Gu Kiat kelihatan biasa saja, dan setelah Hok Seng pergi, dia minta
maaf kepada Bi Lian untuk beristirahat di dalam kamarnya karena semalam suntuk dia tidak tidur.

Tak lama kemudian, Bi Lian mendengar dengkurnya dari dalam kamar dan iapun tidak
mempunyai alasan untuk mencurigai Gu Kiat. Akan tetapi, hatinya tetap saja merasa tidak enak. Ingin ia membayangi suhengnya dan melihat sendiri siapa sebenarnya orang berkedok itu. Akan tetapi, iapun tidak ingin menggagalkan usaha suhengnya mencari orang yang melakukan fitnah itu pula, kalau si kedok hitam itu berniat jahat, tentu dahulu tidak menolong Hok Seng. Dengan pikiran ini, hatinya lega dan ia menanti saja di situ.

Sementara itu dengan cepat Hok Seng berjalan keluar kota melalui pintu gerbang timur. Dia masih menyamar sebagai seorang setengah tua, dan dia dapat keluar dari pintu gerbang dengan mudah. Dia sudah lama tinggal di kota raja dan tahu kuil tua mana yang dimaksudkan itu.

Diluar pintu gerbang timur terdapat sebuah bukit kecil dan di puncak bukit itulah adanya kuil tua yang sudah lama tidak pernah dipergunakan lagi. Ke sanalah dia pergi dan setelah berada di tempat yang sepi, dia mengerahkan tenaga dan berlari cepat mendaki
bukit.

Kuil tua itu sunyi. Sepagi itu, belum ada anak-anak penggembala menggiring ternak mereka ke bukit yang banyak padang rumputnya itu. Tidak nampak kehidupan di dalam atau di luar kuil. Sunyi saja dan pagi itu langit amat cerah. Sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam, seolah mempersiapkan kebersihan bagi munculnya sang matahari.

Tanpa ragu lagi Tang Gun memasuki kuil, menoleh ke kanan kiri. Kosong saja di bagian depan kuil itu. Selagi dia tidak tahu harus mencari dimana dan selagi hendak berseru memanggil, tiba-tiba terdengar suara orang.

"Aku disini!"

Suara itu datangnya dari belakang. Tang Gun segera menuju ke belakang dan di ruangan yang luas itu, karena dindingnya sudah runtuh, sehingga bagian belakang itu
terbuka, berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap dan mengenakan kedok hitam, di tengah ruangan sambil bertolak pinggang.

Tang Gun segera mengenal si kedok hitam yang dulu pernah menolongnya, maka cepat dia maju menghadapi orang itu dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, dan tubuhnya agak membungkuk dengan sikap hormat.

"Selamat berjumpa, tai-hiap (pendekar besar)!" katanya.

Si kedok hitam itu diam saja, akan tetapi sepasang mata yang mencorong bersinar dari balik kedok, mengamati wajah Tang Gun.

"Hemm, engkau Tang Gun menyamar sebagai seorang tua?" suara itu dalam dan berwibawa.

"Maaf, tai-hiap. Terpaksa saya menyamar karena khawatir kalau kehadiran saya di kota raja diketahui orang. Saya Tang Gun yang pernah menerima pertolongan tai-hiap dan sampai sekarang saya tidak pernah melupakan budi itu."

"Tang Gun, mengapa engkau menyelidiki dimana tinggalnya Tang Bun An? Apa yang kau inginkan dari orang itu?"

"Ah, tentu tai-hiap mengerti. Orang itulah yang telah mencelakakan saya, yang membuat saya dihukum. Oleh karena itu, saya hendak mencarinya dan membalas dendam kepadanya. Mohon bantuan tai-hiap untuk memberitahu dimana saya dapat menemukan dia!"

"Hemm, dahulu kepandaianmu jauh kalah olehnya. Bagaimana sekarang engkau akan melawannya? Engkau akan kalah lagi!"

"Sekali ini saya tidak takut! Ada sumoi Siangkoan Bi Lian yang membantu saya dan ia lihai sekali." Kemudian Tang Gun mendapatkan pikiran yang baik sekali. "Dan juga ada tai-hiap disini. Tai-hiap sudah menolong saya, mohon sekali ini suka pula membantu saya menghadapi Tang Bun An yang jahat itu."

"Tang Gun, engkau memang manusia tolol!"

Tiba-tiba orang berkedok hitam itu membentak. Tentu saja bekas perwira itu terkejut sekali dan terbelalak heran melihat nada suara yang marah itu.

"Engkau memang layak dipukul!"

"Eh..... maaf....... apa kesalahan saya yang membuat taihiap tiba-tiba menjadi marah kepada saya?"

"Anak bodoh! Kalau tidak ada Tang Bun An, engkau sekarang tentu sudah mampus!"

"Ehh? Apa artinya. ucapan tai-hiap itu? Dia telah menangkap saya, menyeret saya ke depan Sribaginda Kaisar sehingga saya di jatuhi hukuman berat......"

"Bayangkan saja kalau bukan Tang Bun An yang menangkapmu! Kalau pasukan keamanan yang menangkapmu. Kau kira akan mampu menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu begitu saja? Kau kira akan mampu melawan kalau para jagoan istana mencarimu dan menemukanmu di kota Yu-sian? Dia sengaja menangkapmu justeru untuk menyelamatkan nyawamu!"

Dari heran Tang Gun menjadi penasaran dan tidak percaya.
"Tai-hiap, bagaimana tai-hiap dapat mengatakan bahwa dia bermaksud menyelamatkan saya? Saya telah dihukum berat, hukum buang dan sekiranya tidak ada tai-hiap yang menolong saya, tentu sekarang saya sudah mati."

"Hemm, jadi engkau mengakui bahwa aku yang dahulu menyelamatkanmu, menolongmu dan membebaskanmu dari tangan para pengawalmu ke tempat pembuangan?"

"Bukan hanya menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi juga tai-hiap telah memberi sekantung emas sehingga saya dapat hidup dengan pantas. Untuk budi itu, saya tidak akan melupakannya selama hidup."

"Tidak usah berterima kasih kepada aku si kedok hitam. Berterima kasihlah kepada penyelamatmu yang sebenarnya, yaitu Tang Bun An!" ,

"Eh..... tapi maaf...... saya belum dapat menerimanya sebagai penyelamat saya, tai-hiap. Dia..... dia......"

"Tang Gun! Apakah engkau tidak percaya kepadaku?"

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar