*

*

Ads

Kamis, 16 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 136

Wajah Mayang nampak berduka.
"Entahlah, enci Hong. Aku tidak tahu dimana adanya kakakku, akan tetapi aku khawatir sekali kalau sampai diapun terperangkap oleh jahanam……

“Dia ayah kandungmu!"

"Tidak perduli! Dia jahat! Dia telah meninggalkan ibu ketika ibu mengandung, membuat ibu menderita hebat. Dan sekarang, dia malah menawanku, menghinaku! Enci Hong, engkau yang seharusnya melanjutkan ceritamu tadi, tentang Ang-hong-cu, tentang kedatanganmu kesini, tentang segalanya!"

Kui Hong teringat dan tersenyum. Ceritanya terhenti karena ia tenggelam ke dalam kegembiraan mendengar Hay Hay memuji-mujinya dan masih ingat kepadanya.

"Aku mengenal Han Lojin sebagai Ang-hong-cu beberapa waktu yang lalu ketika para pendekar membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Han Lojin muncul dan diapun membantu pemerintah. Di sanalah dia melakukan perbuatan-pebuatan jahat, memperkosa beberapa orang wanita dan disana terdapat pula kakakmu Hay Hay. Ketika itulah kakakmu juga aku dan yang lain-lainnya, mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu, akan tetapi dia melarikan diri. Ketika aku tiba di kota raja, kebetulan aku bertemu dengan Tang Bun An yang menjadi perwira di istana dan aku mengetahui rahasianya, bahkan dialah Han Lojin dan juga Ang-hong-cu. Akan tetapi dengan licik dia menjebakku sehingga aku tertawan olehnya. Dan disitu aku melakukan suatu kebodohan yang membuat aku menyesal bukan main. Aku telah berjanji takkan memusuhinya dan takkan membuka rahasianya.dan sebagai imbalannya, dia membebaskan aku. Padahal, sesungguhnya dia takut kepadaku, takut kepada Cin-ling-pai, takut pula kepada kakekku Pendekar Sadis. Setelah aku bebas, aku merasa menyesal sekali, merasa bahwa aku telah menjadi pelindungnya, menjadi sekutunya. Karena itu, aku lalu datang menantangnya dan maklum bahwa dia tentu akan menggunakan anak buahnya untuk mengeroyokku. Nah, aku dikeroyok dan ditawan, lalu dimasukkan kesini."

Mayang memandang heran.
"Enci Hong! Engkau sudah bebas dan engkau sengaja membiarkan dirimu ditangkap dan terancam maut?"

Kui Hong tersenyum, mengangguk.
"Bukan hanya ancaman maut, malah lebih mengerikan lagi. Mungkin aku disiksa, dihina, lalu dibunuh. Akan tetapi, bagiku, lebih baik mati dalam menentang kejahatan daripada hidup menjadi sekutu orang jahat!"

"Hebat! Engkau hebat, enci Hong. Memang pantas sekali kalau kakakku kagum kepadamu. Engkau seorang pendekar wanita yang hebat! Akan tetapi jangan khawatir, enci. Kita kini bersatu. Kita berdua dapat melawan mereka! Dan masih ada kakakku. Dia pasti akan menolong kita, dan dia mempunyai sebuah hadiah untukmu. Hal itu dia katakan sendiri kepadaku."

"Hadiah? Untukku? Hadiah apakah itu, Mayang?"

"Sebatang pedang pusaka, enci."

"Pedang pusaka? Aku sudah memiliki Hok-mo Siang-kiam…… ah, si keparat itu telah menyitanya!" katanya dengan wajah menyesal sekali.

"Jangan khawatir, enci. Pedang pusaka itu hebat, aku sudah melihatnya, dan kata Hay-ko, pedang itu memang milikmu, milik Cin-ling-pai. Namanya Hong-cu-kiam."

"Hong-cu-kiam?"

Sepasang mata yang tajam itu terbelalak. Pedang pusaka itu dilarikan Tang Cun Sek dan kini telah berada di tangan Hay Hay? Pantas saja Cun Sek tidak mempergunakan pedang pusaka itu. Dan bagaimana dengan Gin-hwa-kiam yang tadinya dilarikan Ki Liong?

"Ah, memang benar itu pusaka Cin-ling-pai yang dilarikan orang. Dan…… barangkali engkau tahu tentang pedang pusaka Gin-hwa-kiam?”

"Gin-hwa-kiam? Bukankah itu pedang pusaka yang kulihat dipergunakan oleh pendekar Pek Han Siong?"

"Sudah berada di tangan Pek Han Siong? Bagus!"

Kui Hong girang bukan main. Kiranya Hay Hay dan Han Siong sudah dapat merampas kembali kedua pedang pusaka itu!






"Gin-hwa-kiam adalah pedang Pulau Teratai Merah yang dilarikan orang pula. Aih, adikku, engkau menceritakan berita yang amat menggembirakan. Sekarang, mari kita periksa tempat ini, kalau-kalau ada jalan untuk melarikan diri dari sini."

"Coba periksalah, enci. Aku sudah lelah memeriksa, namun tidak dapat menemukan jalan keluar. Ruangan ini adalah ruangan di bawah tanah dan jalan satu-satunya adalah pintu itu. Terbuat dari besi yang tebal dan kokoh kuat. Membukanyapun dengan alat rahasia. Dan lubang angin dan sinar di atas itu, selain terlalu tinggi, juga diberi terali besi yang kokoh pula."

Akan tetapi Kui Hong merasa tidak puas kalau tidak memeriksa sendiri. Ia lalu mengadakan pemeriksaan dengan amat teliti. Namun, ternyata benar seperti yang dikatakan Mayang tadi. Tempat itu amat rapat dan tidak ada jalan keluar kecuali melalui pintu yang amat kokoh itu. Satu-satunya jalan hanyalah menunggu sampai ada yang membuka pintu itu lalu menerjang keluar!

Karena itu, ketika ada yang mendorongkan makanan dan minuman melalui lubang di bagian bawah pintu, dua orang gadis itupun makan minum dengan cukup untuk membuat tubuh mereka tetap kuat.

Tadinya Kui Hong yang mengenal kecurangan lawan, merasa ragu untuk makan dan minum. Ia tidak takut menghadapi racun karena ia dapat mengetahui kalau makanan atau minuman itu diracun, akan tetapi yang dikhawatirkan adalah kalau ada kekuatan sihir terkandung dalam makanan dan minuman itu yang akan menundukkan mereka. Ketika ia menyatakan hal ini, Mayang tersenyum.

"Kalau terhadap serangan sihir, jangan takut, enci. Aku telah melatih diri secara khusus untuk menolak segala kekuatan sihir ."

"Eh! Engkau pandai sihir seperti Hay Hay dan Han Siong?" Kui Hong memandang gadis Tibet itu.

Mayang tersenyum. Bukan main manisnya gadis Tibet itu ketika tersenyum. Mulutnya yang kecil itu mekar bagaikan setangkai bunga merekah merah. Ia tidak menutupi keindahan itu dengan tangannya seperti biasanya gadis Han yang sopan-sopan, dan Kui Hong memandang kagum. Ada persamaan memang antara Mayang dengan Hay Hay. Mungkin dalam bentuk mulut dan hidungnya itulah, dan kecerahan wajah itu kalau tersenyum.

"Tidak, enci. Akan tetapi, biar Hay-ko sendiripun tidak akan mampu menguasai aku dengan kekuatan sihirnya! Subo telah mengajarkan aku latihan untuk memperoleh kekuatan batin yang menolak segala macam kekuatan sihir yang bagaimana kuatpun. Oleh karena itu, jangan mampu menolaknya."

Kui Hong memandang kagum. Mereka lalu makan minum dengan gembira, dan lupalah Kui Hong bahwa ia sedang berada dalam tahanan musuh, bukan dalam kamar hotel mewah bersenang-senang dengan seorang sahabat yang menyenangkan sekali. Setelah makan dan beristirahat sejenak, Kui Hong lalu bangkit.

"Adik Mayang, sekarang bersiaplah. Kita mengadu kepandaian silat. Kamar ini cukup lebar sehingga leluasa bagi kita untuk bertanding silat disini."

"Ehhh?"

Mayang memandang wajah Kui Hong dengan kaget, akan tetapi melihat wajah yang cantik itu cerah dan mulutnya tersenyum. Mayang segera mengerti.

"Maksudmu, kita berlatih silat, enci Hong?'

Kui Hong mengangguk.
"Kita harus selalu siap, dan kita perlu berlatih, terutama untuk mengenal kepandaian masing-masing sehingga mudah bagi kita menentukan langkah selanjutnya. Jangan sungkan dan jangan main-main, adikku. Seranglah aku dan keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilai sampai dimana tingkatmu."

"Baik, enci Hong, akan tetapi jangan mentertawakan aku!"

"Aih, engkau terlalu merendahkan dirimu, Mayang. Aku pernah mendengar nama besar subomu, maka aku tahu bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat yang hebat. Nah, mari kita main-main sebentar!"

"Baik, enci Hong. Kau jaga baik-baik seranganku!"

Setelah melihat bahwa Kui Hong sudah memasang kuda-kuda, Mayang lalu mulai menyerang. Karena iapun dapat menduga akan kelihaian Kui Hong, maka begitu menyerang, ia mainkan ilmu silat Kim-lian-kun (Ilmu Silat Teratai Emas) yang ampuh, yaitu ilmu silat andalan dari Kim-mo Sian-kouw. Gerakannya amat cepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sehingga dari tangannya mengeluarkan angin berdesir.

"Bagus!"

Kui Hong berseru sambil mengelak dan membalas serangan Mayang. Iapun tidak main-main karena dari gerakan pertama itu saja tahulah ia bahwa Mayang sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kui Hong telah mempelajari banyak macam ilmu silat, namun belum pernah ia melihat ilmu silat seperti yang dimainkan Mayang, maka iapun bersikap hati-hati sekali.

Serang menyerang terjadi di dalam kamar yang luas itu, dan terdengar angin berkesiur setiap kali mereka menggerakkan tangan. Dan kalau sesekali terjadi adu lengan, keduanya tergetar dan mundur dua langkah, saling pandang dengan kagum.

Makin lama, serangan Mayang semakin hebat dan Kui Hong kagum bukan main. Ilmu silat gadis Tibet itu memang tangguh sekali. Terpaksa ia harus mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) Bu-eng Hui-teng (Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari Ceng Sui Cin, ibunya. Dengan ilmu ini, tubuhnya bagaikan kapas saja dan Mayang terkejut dan kagum bukan main. Lawannya itu seolah-olah dapat terbang dan tak pernah dapat disentuh tangannya yang menyerang.

Kui Hong menilai ilmu yang dimiliki Mayang, juga kekuatan kedua tangannya. Harus diakuinya bahwa tingkat kepandaian Mayang sudah cukup tinggi, tidak kalah dibandingkan para pendekar wanita lainnya. Ia sendiri, kalau tidak mendapatkan gemblengan dari kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, tentu akan mengalami kesulitan untuk dapat mengalahkan Mayang!

Sampai lima puluh jurus lebih mereka berlatih dan kalau Kui Hong menghendaki, biarpun tidak sangat mudah, ia akan mampu mengalahkan Mayang. Bagaimanapun lihainya gadis Tibet itu, Kui Hong masih menang tingkat, menang cepat dan lebih kuat tenaganya. Akan tetapi Kui Hong tidak mau mengecilkan hati Mayang, dan ia sudah merasa cukup puas melihat kenyataan bahwa Mayang memang lihai dan dapat diandalkan untuk menjadi kawan dalam menghadapi Ang-hong-cu dan anak buahnya.

"Cukup, Mayang!" katanya sambil melompat ke belakang. "Engkau lihai sekali!"

"Ihh, enci Kui Hong, jangan memuji! Kalau engkau mau, tentu sudah sejak tadi engkau dapat merobohkan aku. Ilmu aneh apakah itu yang membuat tubuhmu begitu ringan seperti kapas terbang saja? Semua seranganku tidak ada gunanya!"

"Itu adalah Bu-eng Hui-teng, yang kupelajari dari ibuku, Mayang. Sudahlah, kita beristirahat. Engkau cukup tangguh dan kurasa kita berdua akan mampu menjaga diri kalau mereka muncul."

Kata Kui Hong sambil mengusap keringat dari lehernya, seperti yang dilakukan pula oleh Mayang.

"Sekarang, mari menghimpun tenaga dan memulihkan kelenturan otot-otot, mengatur pernapasan," kata Kui Hong yang ingin agar keduanya berada dalam keadaan yang siap benar untuk memberontak sewaktu-waktu pintu besi itu dibuka.

Mayang mengangguk dan keduanya lalu duduk bersila di atas pembaringan, mengatur pernapasan.

**** 136 ****
Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar