*

*

Ads

Minggu, 12 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 123

"Aduh, aku lelah sekali, Hay-ko "

Gadis itu mengeluh, lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang pohon besar, menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan menjulurkan kedua kakinya, memijati kedua kaki dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya melepaskan ikatan buntalan kain di pundak, lalu menghapus keringat dari leher dan dahinya.

Hay Hay terpaksa berhenti dan memandang gadis itu sambil tersenyum. Mayang sungguh manis bukan main. Anak rambut di dahi menjadi kusut ketika ia menggunakan saputangan menghapus keringatnya, akan tetapi justeru keadaan pakaian yang tidak rapi, anak rambut yang kusut, muka yang basah oleh keringat itu yang membuat ia nampak semakin manis!

Rambutnya yang panjang hitam dikuncir dua itu tergantung manja di depan dada, matanya yang sipit kini terpejam sehingga nampak bulu mata merapat lentik, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan mulutnya yang kecil dengan bibir merah basah itu cemberut. Kulit muka dan leher yang putih mulus itu kini kemerahan.

Mereka memang sejak pagi melakukan perjalanan tiada hentinya, dan kini telah lewat tengah hari, maka tidak mengherankan kalau gadis itu mengeluh kelelahan. Mayang memang bukan seorang gadis lemah, bahkan ia pandai berburu, sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung. Akan tetapi baru sekarang bersama Hay Hay ia melakukan perjalanan yang jauh dan berjalan kaki setiap hari melalui daerah-daerah yang terjal dan sukar.

Hay Hay merasa iba juga dan diapun menghampiri, lalu duduk pula di dekat adik tirinya itu, menurunkan buntalan dari punggungnya.

“Sudah kukatakan bahwa perjalanan ini amat jauh, Mayang, amat melelahkan, apalagi bagi seorang gadis seperti engkau. Kasihan engkau, Mayang."

Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka, sipit namun indah bentuknya, dengan kedua ujung pinggir meruncing dan naik, mulut yang cemberut itu kembali mengeluh.

"Uuhh, koko, kau bilang kasihan? Jangan kasihani aku, akan tetapi kasihanilah kedua kakiku ini. Seperti remuk rasanya!"

Hay Hay mendekati gadis itu. Dia memang merasa iba dan dapat membayangkan betapa nyeri rasa kedua kaki yang kecil mungil itu. Otot-otot kedua kaki itu tidak biasa dipergunakan untuk jalan jarak jauh, maka tentu rasanya nyeri dan penat, otot-otot seperti mau pecah dan tulang seperti retak-retak. Akan tetapi, kelelahan pada otot-otot itu mudah saja dilenyapkan atau dikurangi.

"Mari kupijati kedua kakimu untuk menghilangkan rasa penat itu, adikku.” katanya dan tanpa menanti jawaban, kedua tangannya sudah mulai memijati kaki kiri Mayang.

Dengan jari-jari tangannya yang peka dan terlatih, Hay Hay lalu memijati dan menekan jalan-jalan darah dan otot-otot besar dari paha, belakang lutut, betis dan di sepanjang kaki, memulihkan jalan darah dan melemaskan otot-otot yang menjadi kaku. Dia melakukannya dengan lembut sekali sehingga Mayang merasa keenakan. Bukan hanya nyaman rasanya dipijati oleh seorang ahli yang tahu akan jalan darah, namun juga biarpun kakinya terbungkus celana sutera, namun ia merasa seolah-olah jari tangan itu menyentuh kakihya penuh kemesraan dan kasih sayang.

Mayang memejamkan lagi kedua matanya dan hatinya dipenuhi kemesraan yang mengharukan. Seketika ia lupa bahwa pemuda yang memijati kakinya itu adalah saudaranya seayah, dan timbul pula perasaan kasih sayangnya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria, yang membuat pernapasannya tersendat-sendat.

Hay Hay yang sudah mulai memijati kaki kanan, tentu saja dapat melihat dan mendengar pernapasan Mayang. Dia mengangkat muka memandang wajah gadis itu dan melihat wajah itu kini menjadi merah sekali, betapa cuping hidung yang mancung itu kembang kempis dan mulutnya agak terbuka, seolah pernapasan tidak cukup melalui kedua lubang hidungnya.

Karena memang sudah selesai dengan pemijatan itu, Hay Hay menghentikannya dan bertanya sambil menyentuh pundak gadis yang masih memejamkan kedua mata itu.

"Mayang, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Sentuhan pada pundak yang lembut itu seperti menjebolkan bendungan. Sambil merintih Mayang lalu merangkul Hay Hay dan menangis di dada pemuda itu, menangis sesenggukan sehingga amat mengejutkan Hay Hay. Dia tidak tahu mengapa Mayang dapat menangis sesedih itu. Padahal, sepanjang pengetahuannya, Mayang adalah seorang gadis yang berhati tabah, bahkan keras dan tidak cengeng sama sekali. Andaikata ia kelelahan, tidak mungkin ia menangis seperti anak kecil.






Akan tetapi melihat betapa gadis itu menangis dengan sungguh-sungguh, menangis penuh kesedihan, diapun tidak berani main-main dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Pada saat seperti itu, tangis merupakan obat yang paling ampuh bagi orang yang sedang dilanda kesedihan. Diapun hanya mengelus kepala gadis itu, dengan kasih sayang seorang kakak. Dia sama sekali tidak tahu betapa elusan tangan yang lembut pada kepala itu menambah derasnya air mata mengalir dari kedua mata sipit itu.

Betapapun derasnya, hujan akan mereda, air matapun akan terkuras habis dan tangispun akan terhenti. Apalagi bagi seorang gadis seperti Mayang, seorang gadis berhati baja. Biarpun tadi ia terseret dan hanyut oleh keharuan hatinya, akhirnya ia dapat menenteramkan hatinya dan isaknya semakin lirih dan jarang.

"Nah, sekarang katakan, mengapa engkau menangis." kata Hay Hay, masih lembut dan belum berani bercanda seperti biasanya, takut kalau akan salah ucap dan menyentuh kembali hati gadis itu.

Mayang masih merangkulkan kedua tangannya di leher Hay Hay, dan kini rangkulannya semakin kuat, seolah-olah ia mengerahkan tenaga dan memaksa diri untuk bicara.

"Hay-ko……. maafkan aku……. akan tetapi aku……. aku……. sangat cinta padamu………”

Hay Hay mencium rambut di kepala itu sambil tersenyum.
"Aihhh, tentu saja. Akupun amat cinta padamu, Mayang. Engkau adikku dan aku kakakmu…….. "

"Tidak! Bukan itu! Aku cinta padamu bukan sebagai adik, melainkan…… ah, koko, engkau tentu tahu…… aku……. aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau menjadi isterimu……"

"Mayang…….. !"

Hay Hay melepaskan rangkulannya dan mendorong dengan lembut gadis itu, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan di jauhkan, dipaksanya agar mereka saling pandang. Dengan mata sipit dan agak bengkak gadis itu memandang, sinar matanya penuh kedukaan.

"Mayang, adikku yang bengal! Apa yang kau katakan ini? Inginkah engkau menyeret kita berdua ke dalam lembah dosa yang tak dapat diampuni? Kita ini saudara, Mayang. Ingat, saudara seayah! Kita sama-sama satu darah, satu she (Marga) sehingga kalau kita menjadi suami isteri, bukan hanya seluruh manusia akan mengutuk kita, juga Tuhan akan menghukum kita. Sadar dan ingatlah, adikku. Kalau kita karena keadaan tidak dapat saling cinta seperti suami isteri, apakah kita tidak dapat saling mencinta sebagal kakak dan adik?"

Mayang memandang wajah Hay Hay dengan membuka-buka matanya yang penuh air mata, dan iapun mengangguk-angguk. Gerakan ini membuat beberapa titik air mata yang sudah bergantung pada pelupuk matanya berjatuhan.

Penglihatan ini demikian mengharukan hati Hay Hay sehingga diapun menahan air matanya keluar dari sepasang matanya yang panas. Dia tahu bahwa andaikata Mayang bukan adik seayah, mungkin saja dia benar-benar akan jatuh cinta kepada gadis ini, dan akan mencintainya sebagai seorang isteri yang baik.

"Eh, bagaimana rasanya kedua kakimu sekarang?" tanya Hay Hay untuk mengalihkan persoalan dari batin adiknya.

Mayang memandang ke arah kakinya dan mulutnya yang kecil mungil membentuk senyum lagi. Senyum itu mendatangkan kecerahan seperti matahari tersembul dari balik awan setelah hujan mereda. Ia lalu bangkit berdiri, melangkah ke sana-sini, menggerak-gerakkan kedua kakinya.

"Wah sudah tak terasa lelah lagi, Hay-ko. Hebat, engkau boleh membuka praktek menjadi tukang pijat. Pasti laris!"

"Ihh! Kau ingin kakakmu menjadi tukang pijat tradisional? Siapa yang akan suka membiarkan tubuhnya kupijati?" ,

"Siapa yang akan suka? Hemm, Hay-koko, akan banyak yang berdatangan, terutama kaum wanitanya. Tukang pijatnya tampan, dan pijatannya sungguh membuat tubuh terasa nyaman, hilang semua kelelahan. Para wanita akan berebutan dan antri untuk minta kau pijati, berani membayar mahal!"

"Huh, bagaimana kalau yang berdatangan dan antri itu nenek-nenek yang napasnya sudah empas-empis? Jangan-jangan selagi kupijati, mereka itu kehabisan napas. Bukan upah banyak yang kuperoleh, malah urusan berabe, orang menyangka aku membunuh para nenek itu!"

Mayang tertawa dan diam-diam Hay Hay girang bukan main melihat adiknya itu sudah dapat tertawa. Memang bukan watak Mayang untuk menjadi seorang wanita cengeng.

"Koko, kenapa engkau ini bisa segala? Apa sih yang kau tidak bisa? Dari mana pula engkau mempelajari ilmu pijat yang membuat badan terasa begini enak?"

"Mayang, apa sukarnya mempelajari ilmu memijat? Bukankah engkau sudah banyak mempelajari ilmu silat dari subomu? Engkaupun tentu sudah mempelajari letak jalan darah dan kedudukan tulang. Nah, pengetahuanmu tentang itu sudah cukup menjadi dasar untuk mempelajari ilmu pijat. Biarlah kalau ada waktu senggang akan kuajarkan kepadamu biar kelak kalau ada yang membutuhkan, engkau akan mampu memijatinya dan mengusir kelelahan dari tubuhnya.”

"Ih, siapa yang akan membutuhkan aku untuk memijatinya?"

"Siapa lagi kalau bukan……. eh, suamimu kelak."

Sepasang mata yang sipit itu dilebarkan, dan mulut yang tadinya tersenyum itu cemberut. Mayang bangkit berdiri dan bertolak pinggang.

"Hay-ko, engkau nakal! Aku tidak akan mempunyai suami!"

"Eh, kenapa, Mayang? Maafkan, aku hanya main-main. Bagaimanapun juga, kelak engkau tentu akan menikah dan sudah sepatutnya kalau engkau memijati suamimu. Itu wajar, bukan?"

"Tidak! Aku tidak akan menikah!"

“Eh-eh, bagaimana mungkin? Engkau adikku yang begini manis, begini cantik jelita, begini lihai dan pandai. Ribuan orang pemuda akan saling berebutan untuk menjadi suamimu, dan engkau tidak akan menikah?"

"Aku tidak akan suka bicara tentang perjodohan sebelum……. "

“Sebelum apa? Hayo katakan, sebelum apa, adikku sayang?"

"Sebelum engkau sendiri menikah, Hay-ko."

Hay Hay berhenti bernapas. Lehernya seperti dicekik dari dalam rasanya karena keharuan yang menyerbu keluar dari dalam hatinya. Dia mengerti. Mayang demikian mencintanya, cinta seorang gadis terhadap seorang pemuda, cinta seorang wanita terhadap pria, bukan cinta kasih antara saudara. Hanya kenyataan bahwa mereka seayah sajalah yang membuat gadis itu memaksa diri melihat kenyataan dan menekan gejolak hatinya. Namun, cintanya masih tetap dan gadis itu tentu saja merasa berat untuk menikah dengan pria lain, maka mengatakan bahwa ia baru mau bicara tentang perjodohan setelah Hay Hay, pria yang dicintanya, juga kakaknya sendiri, telah menikah dengan wanita lain tentu saja.

Setelah berdiam sesaat dan memandang kepada adiknya, akhirnya dapat pula Hay Hay mengeluarkan keluhan lirih,

“Mayang……”

Mendengar suara yang menggetar ini dan melihat wajah kakaknya seperti orang menahan tangis. Mayang menubruk dan merangkul pinggang Hay Hay, menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.

"Hay-ko, ahhh…… maafkan aku, Hay-koko "

"Engkaulah yang harus memaafkan aku, Mayang. Adikku sayang!"

Beberapa lamanya mereka berpelukan, kini dengan perasaan kasih sayang kakak dan adik, sampai kemudian Hay Hay merasa betapa lemahnya mereka membiarkan perasaan mereka hanyut oleh keharuan.

"Wah-wah, apakah kita ini sedang main panggung, menjadi anak wayang? Ha-ha-ha, sayang tidak ada penontonnya!"

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar