*

*

Ads

Selasa, 07 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 101

"Hay Hay, katakan apakah yang telah terjadi?"

Melihat Hay Hay sudah tenang, Han Siong melepaskan tangannya dan dia kini mundur, memandang wajah sahabatnya yang masih pucat itu.

"Han Siong, ia adalah adikku! Kami seayah berlainan ibu!"

"Ahhh…..?? Mayang puteri Ang Ang-hong-cu…..?” Kini Han Siong yang melongo keheranan.

Hay Hay mengangguk, kembali menghela napas.
“Ia juga memiliki benda perhiasan itu, seekor kumbang merah, persis yang kupunyai. Ia baru hari ini menerima dari ibunya, sebagai hadiah pernikahan, peninggalan ayah kandungnya….."

Han Siong jatuh terduduk di atas kursi. Bengong. Mengertilah dia mengapa gadis itu menjerit-jerit dan Hay Hay seperti arca tadi. Dan diapun mengerti maksud kata-kata Hay Hay yang mengatakan masih untung, bahwa mereka masih dilindungi Tuhan. Jelas bahwa mereka belum melakukan hubungan suami isteri! Kalau sudah, berarti kiamat dunia ini bagi mereka!

Dia menghela napas.
"Aihh, engkau masih untung, Hay Hay. Aku ikut merasa girang bahwa kalian masih belum terjatuh ke dalam aib dan dosa. Kasihan engkau, Hay Hay…….”

"Kasihan Mayang, bukan aku, Han Siong. Tentu hancur hatinya….. ah, mari kita keluar. Aku harus menghiburnya, menghibur adikku…… "

Mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Ketika melihat Mayang terkulai pingsan dalam pondongan ibunya, Hay Hay terkejut.

“Mayang…..!”

Kim Mo Siankouw berkata dengan suara lembut namun tegas,
“Mari kita bicara di ruang dalam. Engkau juga, Pek Tai-hiap!"

Ibu Mayang masih memondong tubuh Mayang. Gadis itu pingsan, dan mereka semua memasuki ruangan dalam. Kim Mo Siankouw sendiri menutupkan dua buah pintu tembusan pada ruangan itu. Ibu Mayang merebahkan puterinya di sebuah kursi panjang.

“Kalian duduklah!” kata Kim Mo Sian-kouw kepada Hay Hay dan Han Siong.

Dua orang pemuda itu duduk dan Hay Hay menundukkan mukanya, menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak tahu harus berbuat apa atau berkata apa. Dia merasa bingung dan kenyataan yang teramat pahit itu merupakan pukulan yang mengguncang batinnya dengan hebat. Nyaris dia menjadi suami isteri dengan adiknya sendiri!

Kim Mo Siankouw menghampiri Mayang, mengurut beberapa bagian punggung dan tengkuknya. Gadis itu mengeluh, membuka matanya, melihat ibu dan subonya, lalu teringat dan iapun merintih dan menangis.

"Sudahlah, Mayang. Tenangkan hatimu dan mari kita bicara. Hay Hay juga sudah berada disini." kata ibunya.

Mendengar ini, Mayang bangkit duduk menengok dan begitu melihat Hay Hay, mulutnya bergerak-gerak, bibirnya menggigil dan iapun menangis lagi. Akan tetapi ditahannya sehingga ia menangis tanpa suara, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia merasa iba sekali melihat Mayang, adiknya yang hampir menjadi isterinya tadi.

"Mayang, maafkan aku. Kita telah menjadi permainan nasib…. " katanya lirih dan ucapannya ini hanya disambut suara sesenggukan dari Mayang.

"Hay Hay, sekarang kuminta engkau suka bicara terus terang. Dari manakah engkau mendapatkan benda ini?" tanya ibu Mayang sambil menunjuk dua buah benda perhiasan kumbang merah yang diletakkan di atas meja oleh Kim Mo Siankouw.

"Benda itu adalah peninggalan dari ayah kandung saya, yang diberikan kepada mendiang ibu saya."

"Hay Hay, kita berada diantara orang sendiri. Untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebaiknya kalau engkau menceritakan riwayat ibu dan ayahmu, setelah itu akan kuceritakan tentang diriku dan ayah Mayang. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana sesungguhnya hubungan antara engkau dan Mayang." kata pula ibu Mayang dengan sikapnya yang lembut dan halus.






Kini Mayang juga amat tertarik dan ia sudah mampu menenangkan dirinya. Ia duduk dekat ibunya, memandang kepada Hay Hay dengan wajah pucat dan mata merah.

Hay Hay menarik napas panjang. Kalau tidak ada urusan yang begini ruwet dengan Mayang, tentu dia tidak akan pernah menceritakan riwayat hidup ibunya kepada siapapun juga. Sekarang dia terpaksa, demi untuk menjernihkan kekeruhan antara dia dan Mayang.

"Terus terang saja, bibi. Saya sendiri tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya ibu saya. Ketika saya masih bayi, ibu saya membawa saya terjun ke laut untuk membunuh diri! Pada waktu itu, lo-cian-pwe Pek Khun, yaitu kakek buyut saudara Pek Han Siong ini, melihatnya dan cepat menolong ibu dan saya. Akan tetapi ibu tidak tertolong dan tewas, lalu saya yang masih bayi dibawa oleh lo-cian-pwe Pek Khun ke Pek-sim-pang. Kebetulan pada waktu itu, saudara Pek Han Siong yang juga sebaya dengan saya, perlu diungsikan dan disembunyikan karena dia dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama yang hendak merampasnya karena dia dianggap sebagai calon Dalai Lama.”

“Nah, saudara Han Siohg ini disembunyikan, dan saya dijadikan penggantinya. Ketika lo-cian-pwe Pek Khun menyelamatkan saya, maka ada benda itu yang diberikan ibu untuk saya. Dalam saat terakhirnya ibu saya bercerita kepada lo-cian-pwe Pek Khun bahwa ibu adalah seorang korban jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang memberikan tanda perhiasan kumbang merah itu. Demikianlah riwayat ibu saya, bibi. Saya sendiri tidak mengenal siapa ibu saya. Setelah dewasa, saya baru mengetahui bahwa saya adalah putera Ang-hong-cu, dan saya bahkan pernah melihat kejahatannya! Dia bukan saja penyebab kematian ibu saya, melainkan juga saya rnelihat sendiri betapa dia telah menodai beberapa orang gadis pendekar. Dia jahat dan keji!"

"Hemmm, jadi kalau begitu, ketika engkau mengatakan kepada Mayang bahwa engkau akan mencari musuh besarmu yang membunuh ibumu, maka musuh besarmu adalah Ang-hong-cu, juga ayah kandungmu?" tanya pula ibu Mayang.

"Benar bibi. Tadinya, semua itu akan saya rahasiakan dan hanya beberapa orang saja yang mengetahui, termasuk saudara Pek Han Siong ini."

Han Siong mengangguk-angguk.
"Ang-hong-cu itu memang amat jahat dan keji, akan tetapi dja lihai dan juga cerdik dan licik sekali!"

"Hay Hay, tahukah engkau siapa nama ayahmu itu?" tanya pula ibu Mayang.

Hay Hay menggeleng kepalanya.
"Dalam pesan terakhir ibu saya, ia hanya mengatakan bahwa ayah itu memiliki nama keluarga Tang."

"Dan dalam penyamarannya, dia memakai nama Han Lojin." sambung Han Siong.

Ibu Mayang mengangguk-angguk.
"Aih, ini juga kesalahanku sendiri. Ketika engkau datang bersama Mayang, dan mendengar engkau she Tang, lalu meljhat wajah dan bentuk tubuhmu, aku sudah terkejut dan terheran. Engkau she Tang, sama dengan she ayah Mayang, dan wajahmu mirip. Akan tetapi, aku tidak manyangka sejauh itu. Kalau begitu, engkau memang benar puteranya, Hay Hay. Engkau putera Ang-hong-cu, orang yang kukenal sebagai Tang Kongcu (Tuan Muda Tang), yaitu ayah kandung Mayang. Kalau begitu tidak salah lagi, engkau memang masih kakak beradik dengan Mayang, satu ayah berlainan ibu."

Hay Hay saling pandang dengan Mayang.
"Engkau.... adikku....." kata Hay Hay perlahan, akan tetapi Mayang tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan linangan air mata.

"Sekarang dengarkan riwayatku, Hay Hay. Seperti juga engkau, hanya karena timbul peristiwa antara engkau dengan Mayang ini sajalah yang memaksa aku untuk menceritakan riwayat hidupku yang mirip dengan riwayat ibu kandungmu. Tadinya aku sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang tampan dan terpelajar itu, yang lemah lembut dan halus sikapnya, yang oleh penduduk dusun kami dikenal sebagai Tang Kongcu yang pandai silat dan pandai mengobati orang sakit, sebetulnya adalah seorang penjahat cabul yang berjuluk Ang-hong-cu yang kejam. Aku yang ketika itu masih seorang gadis bernama Sauli, terpikat oleh ketampanan dan rayuan Tang Kongcu sehingga aku secara tidak tahu malu menyerahkan diri dengan harapan akan dikawininya.”

“Akan tetapi, setelah aku mengandung, dia pergi begitu saja, hanya meninggalkan perhiasan kumbang merah itu. Orang tuaku marah kepadaku, dan dalam keadaan mengandung aku diusir dari dusun, tidak diakui lagi. Aku hidup terlunta-lunta, melahirkan Mayang dalam keadaan sengsara sekali. Dan agaknya akupun, seperti ibumu, akan mati kalau saja tidak ada subo Kim Mo Siankouw ini yang telah menolong kami." Wanita itu menangis dan Mayang merangkul ibunya.

Hay Hay mengepal tinju.
"Akan saya cari sampai dapat Ang-hong-cu, dan dia harus menebus semua dosanya! Bukan saja terhadap ibuku dan terhadap bibi akan tetapi juga terhadap entah berapa ratus orang wanita yang telah dirusak kehidupan mereka oleh kejahatannya!"

"Hay koko, aku ikut denganmu!"

Tiba-tiba Mayang berkata, suaranya lantang dan penuh kemarahan. Agaknya ia sudah dapat memulihkan kekuatan batinnya dan kini nampak garang.

Semua orang terkejut. Akan tetapi Hay Hay memandang dan wajahnya mulai cerah. Dia girang melihat gadis itu telah pulih kembali, tidak tenggelam ke dalam kedukaan seperti tadi.

"Adikku Mayang, kenapa engkau hendak ikut dengan aku?" tanyanya.

"Mayang, engkau baru saja mengalami guncangan batin, sebaiknya beristirahat di rumah." kata ibunya.

"Benar ibumu, Mayang. Menurut kakakmu Ang-hong-cu itu lihai sekali, dan untuk dapat menandinginya, agaknya engkau perlu berlatih keras. Biar kuajarkan engkau jurus-jurus simpanan agar dapat menandingi Ang-hong-cu.” kata Kim Mo Siankouw.

"Tidak, Hay-koko, ibu dan subo! Aku harus ikut! Pertama, orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu, biarpun dia ayah kandungku, akan tetapi dia juga orang yang telah merusak hidup ibu, hidupku, bahkan kini mendatangkan malapetaka kepada aku dan Hay-ko. Dia harus mati di tanganku! Aku akan membantu Hay-ko menghadapinya! Selain itu, ibu dan subo, setelah terjadi peristiwa ini, bagaimana mungkin aku tinggal disini lagi? Semua orang di sekitar daerah ini telah datang menjadi tamu, menyaksikan aku menjadi pengantin, minum arak pengantin dan memberi selamat. Kemana aku akan menaruh mukaku ini kalau mereka mendengar bahwa pernikahan ini dibatalkan, bahkan aku nyaris menikah dengan kakak sendiri?" Setelah mengucapkan kalimat terakhir ini, kembali Mayang menangis.

Hay Hay merasa kasihan sekali kepada adiknya itu. Dia dapat merasakan hal itu memang. Sebagai seorang pria, tentu dia bebas dari aib. Akan tetapi, keadaan hidup seorang wanita mengenai hal yang menyangkut nama, kehormatan yang berhubungan dengan kesusilaan memang amat gawat. Begitu mudahnya orang melemparkan aib kepada diri seorang gadis. Wanita akan selalu menjadi sasaran celoteh.

"Kalau subomu dan ibumu mengijinkan, aku sekarang tidak merasa berkeberatan untuk mengajakmu, Mayang."

"Terima kasih, Hay-ko, aku memang harus ikut denganmu. Kalau tidak diperkenankan, aku akan minggat dan mencari sendiri Ang-hong-cu!" kata gadis itu.

Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang saling pandang. Mereka tahu bahwa sekarang ini mereka tidak mungkin dapat membujuk atau berkeras. Pula, mereka juga merasa kasihan kepada Mayang. Melihat ibu Mayang menganggukkan kepalanya, Kim Mo Siankouw lalu berkata.

"Baiklah, Mayang. Aku dan ibumu setuju engkau pergi bersama Hay Hay akan tetapi mengingat bahwa engkau akan menghadapi lawan yang amat lihai maka lebih dulu aku akan mengajarkan jurus-jurus pilihan selama sepuluh hari. Engkau dapat melatihnya dalam perjalanan setelah engkau hafal akan semua gerakannya. Tanpa bekal itu, aku tetap akan merasa khawatir kalau engkau pergi."

Mayang memandang kepada Hay Hay dan suaranya mengandung permohonan ketika ia bertanya.

"Hay-ko, maukah engkau menanti sampai sepuluh hari baru kita berangkat?”

Hay Hay tersenyum. Dia telah memperoleh kembali ketenangan dan kegembiraannya setelah urusannya dengan Mayang itu dapat diselesaikan tanpa akibat yang menyedihkan. Dia tahu bahwa mulai saat ini, dia mendapatkan seorang adik perempuan yang manja sekali! Dia mengangguk menyetujui.

Han Siong ikut merasa gembira dan kini dia nyatakan dengan ucapan yang disertai senyum dan wajah yang cerah.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar