*

*

Ads

Kamis, 02 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 100

Memang tidak ada pilihan lain bagi Hay Hay kecuali menerima usul baru agar pernikahan dilangsungkan dulu sebelum dia pergi meninngalkan puncak Awan Kelabu tempat tinggal Kim Mo Siankouw itu.

Pernikahan yang mendadak ini dirayakan dengan sederhana. Bahkan tidak sempat lagi mengundang tamu jauh, juga Wakil Dalai Lama tidak mungkin dapat diundang. Yang diundang hanya penduduk dusun di sekitar Pegunungan Ning-jing-san saja dan perayaan dilaksanakan secara sederhana namun cukup meriah.

Yang menemani Hay Hay hanyalah Han Siong, Pek Han Siong inilah yang menjadi semacam hiburan bagi Hay Hay, yang menganggap sahabat ini seperti saudara sendiri. Dan Han Siong juga menemani Hay Hay dengan kesungguhan hati karena dalam hati Han Siong memang amat kagum dan sayang kepada Hay Hay.

Para tamu yang terdiri dari penduduk dusun di pegunungan itu tentu saja bergembira ria dijamu masakan yang lezat dan arak wangi sehingga belum sampai tengah malam, para tamu sudah banyak yang mabok dan merekapun berpamit meninggalkan tempat pesta setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai dan kepada Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang, Han Siong juga mewakili pengantin pria untuk membalas pemberian selamat itu. Akhirnya, semua tamu sudah meninggalkan tempat pesta dan sepasang pengantin diarak memasuki kamar pengantin.

Dalam kesempatan terakhir ini, Han Siong memberi selamat kepada Hay Hay dan Mayang.

"Kionghi, kionghi (selamat, selamat) sekali lagi," katanya gembira. "Semoga Tuhan memberkahi kalian dengan kebahagiaan abadi!"

Mayang hanya menunduk tersipu malu, akan tetapi Hay Hay memandang sahabatnya itu dengan sinar mata haru.

"Han Siong, engkau sahabatku yang paling baik. Terima kasih untuk segalanya!"

Sepasang pengantin itu didorong masuk kamar yang segera ditutup dan semua orang meninggalkan kamar itu. Para pelayan sibuk membersihkan bekas pesta. Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang juga merasa lelah sekali setelah tadi menerima tamu dan mereka segera beristirahat di kamar masing-masing, juga untuk menyembunyikan keharuan mereka karena begitu tiba di kamar masing-masing, kedua orang wanita ini menangis terharu mengingat betapa kini gadis yang mereka sayang itu telah menjadi isteri orang dan memulai suatu kehidupan baru. Rasa haru dan bahagla membuat mereka diam-diam mencucurkan air mata!

Sepasang mempelai itu telah berganti pakaian. Mayang, bersembunyi di balik tirai, melepaskan pakaian pengantin dan mengenakan pakalan tidur yang tipis, sedangkan Hay Hay juga sudah mengenakan pakaian biasa. Kini, mereka duduk bersanding di tepi pembaringan. Mayang menunduk, tersipu malu. Gadis yang biasanya lincah jenaka dan tabah itu, kini tidak berani berkutik, tidak berani bersuara, bahkan tidak berani mengangkat muka memandang wajah suaminya.

Dan Hay Hay juga duduk dengan muka kemerahan karena agak terlalu banyak minum arak menerima penghormatan dan ucapan selamat tadi, akan tetapi diapun tersipu, kehilangan akal, salah tingkah dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayang semua pengalamannya dengan para wanita di masa lalu. Baru satu kali hubungannya dengan wanita benar-benar hampir melanggar batas, yaitu dengan Kok Hui Lan, janda muda yang tubuhnya semerbak harum seperti bunga itu! Juga ketika dia hampir "diperkosa" wanita cabul Ji Sun Bi. selain dua kali pengalaman itu, belum pernah dia berhubungan dengan wanita sampai ke hubungan badan, kecuali hanya bermesraan luar saja.

Kini, menghadapi seorang gadis yang mulai saat itu telah menjadi isterinya, yang akan menyerah sebulatnya kepadanya dan dapat dia gauli tanpa ada yang akan melarang, tanpa ada pelanggaran susila atau hukum apapun, dia berdebar penuh ketegangan dan juga kebingungan. Dia sama sekali tidak berpengalaman dalam hal itu!

Karena sukar membuka mulut, hanya duduk bersanding di tepi pembaringan, Hay Hay berdehem dua kali dan mengeluarkan suara ketawa kecil untuk menarik perhatian "isterinya". Dan usahanya berhasil. Mendengar suaminya berdehem lalu mengeluarkan suara ketawa kecil, Mayang khawatir kalau ada sesuatu pada dirinya yang tidak beres sehingga memancing tawa suaminya. Ia cepat memandangi pakaiannya kalau-kalau ada yang tidak beres, kemudian karena tidak menemukan sesuatu yang salah, ia mengangkat mukanya memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan akhirnya Mayang menundukkan kembali mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi bibirnya menahan senyum. Manisnya!

"Mayang……. " suara Hay Hay gemetar dan hal ini terasa benar olehnya sehingga diapun tidak berani melanjutkan!

Mayang kembali menoleh dan kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut.
"Hay Hay...." Mayang berbisik, lalu cepat dibenarkannya. "Hay-koko (kanda Hay)!" Ia cepat menunduk dan mukanya semakin merah.

Begitu merdu dan manisnya sebutan Hay-koko itu sehingga perasaan bahagia menyelinap di dalam kalbu Hay Hay. Tanpa disadarinya, tangan kirinya bergerak dan memegang pundak itu dengan sentuhan lembut.






"Mayang, engkau……. Engkau…….. sungguh cantik jelita dan manis bukan main…….”

Mayang kembali menoleh dan kini ia tersenyum.
"Engkau perayu!" katanya manja dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, tahu-tahu keduanya saling rangkul dan saling dekap.

Ketika Hay Hay menciumnya, Mayang menyambut dengan rintihan lirih. Mereka kini rebah dengan saling rangkul. Tiba-tiba Mayang bangkit duduk dan matanya yang sipit itu dibuka lebar memandang ke arah leher Hay Hay dan tak terasa ia mengeluarkan seruan lirih namun mengejutkan.

"Ihhhh.......!"

Hay Hay juga bangkit duduk.

"Ada apakah, Mayang....?"

Tangan kanan Mayang bergerak menangkap benda yang tergantung di leher Hay Hay, yaitu mainan berbentuk kumbang merah yang tadi berjuntai keluar dari balik baju Hay Hay.

"Ang..... hong..... cu..... !"

Mayang berbisik dan tangan kirinyapun mengeluarkan benda yang sama dari balik bajunya!

Kini giliran Hay Hay yang tersentak kaget dan sekali tangannya bergerak dia sudah merampas dua buah benda itu dari kedua tangan Mayang, lalu dia membandingkan dua buah benda itu. Persis sama!

"Mayang......" suaranya gemetar dan wajahnya pucat, "darimana...... engkau mendapatkan benda ini...... ?"

"Dari ibuku, baru tadi ibu memberikannya kepadaku sebagai hadiah pernikahan. Benda...... benda itu.... ibu menyebut Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), kata ibu itu peninggalan ayah kandungku...... "

"Ayah..... ayah kandungmu..... ya Tuhan...... !!!" Wajah Hay Hay menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil.

Mayang terkejut bukan main melihat keadaan Hay Hay itu.
"Kenapa, Hay-koko? Kenapa? Dan darimana engkau mendapatkan benda yang serupa benar dengan peninggalan ayahku? Darimana engkau dapat memiliki Ang-hong-cu?"

"Mayang......," Hay Hay menggeser duduknya menjauh agar tubuhnya tidak menyentuh tubuh Mayang, "Mayang....... kita …… kita........ kau....... Ang-hong-cu..... dia ayah kandungku pula......"

Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi sepucat mayat dan terdengarlah suara melengking tinggi dan nyaring dari mulut itu, lengkingan yang keluar sebagai jeritan dari dalam. Kedua tangan itu merenggut dua buah benda itu dari tangan Hay Hay, kemudian tubuh itu bergerak melompat turun dari atas pembaringan, lari menerjang pintu kamar sehingga terbuka dan Mayang berlari keluar.

"Mayang......! Mayanggg.....!!" Dengan tubuh masih menggigil Hay Hay juga melompat turun.

"Ang-hong-cu....... ah, Ang-hong-cu......, hu-hu-huuuhhh.......!" sambil menangis sesenggukan Mayang berlari keluar dan hampir saja ia bertabrakan dengan gurunya dan ibunya yang sedang berlarian menuju ke kamarnya.

Dua orang tua itu terkejut ketika mendengar pekik melengking tadi dan keduanya sudah berlari keluar kamar masing-masing menuju ke kamar pengantin.

"Mayang, ya Tuhan, ada apakah, Mayang?" ibunya segera merangkul puterinya dengan wajah penuh kekhawatiran. Juga Kim Mo Siankouw memandang muridnya dengan alis berkerut dan sepasang mata tajam penuh selidik.

Dan pada saat itu, Kim Mo Siankouw juga melihat bayangan Han Siong berkelebat. Pemuda ini juga sudah keluar dari kamarnya dan terkejut oleh jeritan Mayang tadi, kini melihat Mayang menangis dalam rangkulan ibunya. Han Siong cepat melompat dan lari ke arah kamar pengantin untuk melihat Hay Hay.

"Mayang, berhentilah menangis dan katakan ada apa?"

Ibunya menggoyang-goyang tubuh puterinya yang masih tersedu-sedu menangis sambil merangkulnya.

"Tenanglah, Mayang. Apakah engkau tidak malu. menjadi cengeng seperti ini? Mana kegagahanmu?" kata pula Kim Mo Siankouw.

Mayang melepaskan rangkulan pada ibunya, lalu menoleh dan memandang subonya dengan air mata bercucuran.

"Subo…….!" Ia kini menubruk subonya dan menangis di pundak Kim Mo Siankouw. Gurunya terheran-heran, juga terkejut melihat sikap muridnya seperti kanak-kanak itu.

"Mayang, engkau kenapakah? Mayang anakku…. !" Ibunya berkata dengan bingung dan khawatir sekali.

Mayang kembali melepaskan rangkulan pada gurunya dan kini menangis dalam rangkulan ibunya.

"Ibu…… hu-hu-huuuhhh…….. ibu…., subo……. bunuh saja aku, ibu…….. hu-hu-huuuhhh……. "

"Eh? Engkau kenapa, Mayang? Ada apakah? Ibunya semakin khawatir. Mayang menjulurkan kedua tangannya yang sejak tadi menggenggam dua buah benda kecil itu.

"Ang-hong-cu……… dia……. dia……… Ang-hong-cu……. " katanya dengan suara terputus-putus oleh isak.

Kini ibunya terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Ang-hong-cu……? Apa maksudmu? Dan kenapa menjadi dua benda itu? Darimana yang sebuah lagi?"

"Dia..... dia..... putera Ang-hong-cu.....!"

Dan kini Mayang terkulai, pingsan dalam rangkulan ibunya. Dua buah benda itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke atas lantai. Kim Mo Siankouw cepat mengambil dua buah benda itu. Ketika para pelayan berdatangan, Kim Mo Siankouw memberi isarat dengan tangan agar mereka pergi dan kembali ke kamar mereka.

Para pelayan tidak berani membantah walaupun mereka menjadi terheran-heran melihat nona mereka menangis, menjerit-jerit dan kemudian pingsan itu. Mereka tidak dapat mengerti mengapa nona mereka yang menjadi pengantin bersikap seperti itu.

Sementara itu, ketika Han Siong memasuki kamar pengantin yang pintunya terbuka lebar, dia melihat Hay Hay duduk di tepi pembaringan seperti sebuah arca. Pemuda itu duduk dengan mata terbelalak, mukanya pucat dan penglihatannya kosong. Han Siong cepat memegang kedua pundak Hay Hay.

"Hay Hay, sadarlah! Apa yang telah terjadi? Adaapa dengan Mayang isterimu?"

Tanpa disengaja Han Siong memandang ke atas pembaringan dan jelas bahwa tempat itu belum pernah dipergunakan, bantal, selimut dan tilam sutera itu masih rapi, belum kusut seperti kalau sudah dipakai tidur.

Karena pundaknya diguncang keras oleh Han Siong, Hay Hay seperti baru sadar. Dia menghela napas panjang, lalu dia memegang kedua lengan sahabatnya. Kedua matanya basah!

"Eh? Engkau menangis?"

Han Siong hampir tidak percaya. Akan tetapi dia melihat kedua mata itu basah, basah dan berlinang air mata!

Hay Hay mengusapkan mukanya pada kedua pangkal lengan, lalu berkata dengan suara seperti orang dalam rnimpi.

"Untung…… sungguh Tuhan masih melindungi kami…… aiiih, Han Siong, mengapa nasibku sekarang seperti ini? Ataukah ini dosa orang tuaku?"

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar