*

*

Ads

Kamis, 02 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 099

"Sekarang juga aku akan memberitahu ibu dan subo, dan meminta ijin mereka!" kata gadis itu.

Akan tetapi pada saat itu, kebetulan sekali Kim Mo Siankouw dan ibu Mayang berjalan keluar dari dalam rumah menuju ke taman. Melihat ini, dengan girang Mayang lalu berlari menyambut mereka.

"Subo, ibu, kebetulan sekali, aku hendak mencari kalian untuk membicarakan hal yang teramat penting."

Melihat puterinya demikian bersungguh -sungguh dan kelihatan risau dan tegang, ibunya menegurnya.

"Tenanglah, Mayang. Segala hal dapat dibicarakan dengan tenang. Biarkan subomu duduk dulu, baru engkau bicara."

Hay Hay juga cepat memberi hormat kepada Kim Mo Siankouw dan calon ibu mertuanya. Mereka berdua duduk di atas bangku panjang, sedangkan Mayang dan Hay Hay lalu duduk di bawah, di atas batu-batu hiasan taman itu.

"Nah, muridku. Katakanlah apa yang terkandung dalam hatimu." kata Kim Mo Slankouw.

"Subo, Hay Hay mengatakan bahwa dia hendak pergi menunaikan tugas pribadinya dan ketika teecu (murid) tanyakan apa tugas itu, dia mengaku bahwa dia harus mencari musuh besarnya. Dapat subo bayangkan bahwa yang menjadi musuh besar seorang yang berkepandaian tinggi seperti dia, tentulah orang yang lihai dan berbahaya sekali. oleh karena itu, teecu ingin ikut bersamanya, subo! Teecu mohon perkenan subo dan ibu agar diperbolehkan menemani Hay Hay untuk membantu dia menghadapi musuh besarnya. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang.......calon isteri? Kalau teecu ditinggalkan, mengetahui bahwa tunangan teecu menempuh bahaya seorang diri, hati teecu akan merasa tersiksa sekali. Mohon subo dan ibu sudi memberi ijin."

Kedua orang wanita itu saling pandang, kemudian Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay, bertanya lembut.

“Benarkah apa yang dikatakan calon isterimu itu, Hay Hay?”

"Memang benar, Siankouw. Akan tetapi, sebenarnya saya sudah merasa keberatan untuk membawa Mayang menghadapi ancaman bahaya. Musuh besar saya itu lihai bukan main. Saya akan lebih merasa lega kalau ia tinggal saja di rumah. Akah tetapi saya tidak dapat mencegah kehendaknya yang kuat."

Kembali kedua orang wanita itu saling pandang dan Kim Mo Siankouw lalu berkata kepada Mayang.

“Muridku, dalam hal melepaskan dirimu ikut dengan Hay Hay, karena ada ibumu disini, maka ialah yang berhak menentukan. Aku sih setuju saja atas keputusan yang diambil ibumu."

Mendengar ucapan subonya itu, berseri wajah Mayang dan iapun mendekati ibunya dan merangkul ibunya dengan sikap manja.

"Ibu tentu mengijinkan aku pergi bersama Hay Hay, bukan?"

Selama ini, hampir selalu ibu yang amat menyayang puterinya itu memenuhi segala permintaan puterinya yang pantas, maka Mayang juga hampir yakin bahwa ibunya tentu akan mengangguk. Akan tetapi, sekali ini wanita setengah tua yang masih cantik itu mengerutkan alisnya, kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalanya.

"Ibu.....!" Mayang berseru, penuh kekecewaan dan keheranan. "Akan tetapi, mengapa, ibu....?”

"Mayang, sungguh tidak bijaksana kalau aku membiarkan engkau pergi berdua saja dengan Hay Hay. Ingat, nak, dia itu baru calon suamimu, belum suami yang sah! Andaikata kalian sudah menikah, tentu saja aku akan menyetujui sepenuhnya."

Mendengar ini, Mayang merajuk. Mulutnya cemberut dan matanya semakin sipit seperti akan menangis.

"Aih, ibu......., apakah ibu takut akan anggapan orang-orang lain? Yang penting, aku dapat menjaga diri, ibu, dan juga aku percaya bahwa Hay Hay akan dapat menjaga diri."

Akan tetapi ibunya masih mengerutkan alisnya. Ia teringat akan keadaannya sendiri. Ia membayangkan hal yang buruk-buruk. Bagaimana kalau mereka, dua orang muda yang sedang dewasa, lupa diri dan melakukan pelanggaran? Bagaimana kalau kemudian Hay Hay meninggalkan puterinya dan tidak jadi menikahinya? Segala malapetaka akibat hubungan di luar nikah itu selalu akan menimpa diri wanita.

“Ibu, kalau ibu melarang dan Hay Hay meninggalkan aku, tentu aku akan menjadi kurus, akan jatuh sakit karena selalu gelisah dan khawatir memikirkan dia. Aku...... aku akan minggat dan mencarinya....."

“Mayang, tidak baik engkau mengancam ibumu seperti itu!" tiba-tiba Kim Mo Siankouw membentak muridnya. Mendengar bentakan marah ini, Mayang menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gurunya.






"Akan tetapi, subo. Bagaimana mungkin teecu membiarkan Hay Hay pergi menempuh bahaya tanpa membantunya sama sekali? Teecu akan selalu merasa gelisah dan takut. Subo, teecu takut Kalau....... Kalau Kehilangan dia.......dia satu-satunya......."

Kim Mo Siankouw tersenyum.
"Siancai........, baru saja mendapatkan seorang tunangan, engkau sudah lupa bahwa di dunia ini masih ada aku dan ibumu, bukan hanya ada Hay Hay seorang!"

Mayang tersipu dan baru ingat, maka ia hanya menundukkan mukanya.
"Mohon belas kasihan dan pertimbangan subo dan ibu....." katanya memelas.

Ibu Mayang kembali saling pandang dengan Kim Mo Siankouw, kemudian ibu Mayang menghela napas panjang.

"Aku baru dapat memberi ijin engkau pergi bersama Hay Hay kalau kalian sudah menikah. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak pergi mengikuti Hay Hay, kalian harus menikah sekarang juga. Bagaimana pendapatmu, Hay Hay?”

Hay Hay tertegun dan sejenak dia bengong. Menikah? Sekarang juga? Hal ini sungguh tak pernah dipikirkan dan kini dia tidak mampu menjawab. Bagaimana dia dapat melakukan pernikahan kalau dia hanya hidup sebatang kara didunia ini, tidak memiliki apa-apa kecuali beberapa potong baju? Dia merasa bingung, perasaan yang belum pernah mengganggunya selama hidupnya.

“Ini....ini.....saya.....saya bingung, tidak tahu......"

Melihat sikap pendekar muda yang dikaguminya itu, diam-diam Kim Mo Siankouw merasa iba juga. Hay Hay adalah seorang pemuda dan sekarang baru nampak bahwa dia sesungguhnya masih hijau dalam hal memasuki rumah tangga. Maka iapun berkata,

"Biarlah kita memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membicarakan hal ini dengan Pek Taihiap, satu-satunya sahabat atau keluarganya yang dapat mewakilinya dan memberinya nasihat. Nah, engkau bicarakanlah hal pernikahan itu dengan Pek Tai-hiap, Hay Hay, dan nanti malam kami mengharap jawaban dan kepastian darimu."

Pemuda itu mengangguk, memberi hormat kepada mereka lalu mengundurkan diri, meninggalkan taman itu memasuki rumah untuk mencari Han Siong. Setelah pemuda itu pergi, Kim Mo Sian-kouw menegur Mayang dan ibunya.

"Aih, kalian ini sungguh membuat seorang pemuda menjadi tersipu dan tidak tahu harus berkata bagaimana. Kalian seperti mendesaknya saja. Mudah-mudahan dia dapat menerimanya dan dapat melangsungkan pernikahan yang tiba-tiba ini."

Mendengar teguran itu, ibu Mayang menjawab lembut,
"Anak inilah yang memaksa saya!"

Mayang menubruk dan merangkul ibunya.
"Subo, ibu, aku aku terlalu cinta kepadanya, dan tidak ingin berpisah darinya….."

Dua orang wanita itu saling pandang dan tersenyum. Diam-diam mereka hanya mengharap agar Hay Hay suka menerima usul baru itu, yaitu melangsungkan pernikahan sekarang juga agar dia dapat pergi membawa isterinya yang rewel ini!

Sementara itu, Han Siong yang sedang duduk bersila dan berlatih sambil bersamadhi di dalam kamarnya, terkejut ketika Hay Hay memasuki kamarnya seperti orang dikejar setan.

"Pek Han Siong, sekarang engkau harus menolong aku……..!" kata Hay Hay begitu dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka.

Han Siong membuka matanya. Dia tidak heran melihat sepak terjang sahabatnya ini karena sudah sering melihat Hay Hay ugal-ugalan dan kadang-kadang aneh.

"Hem, Hay Hay, apakah engkau mabok? Engkau mengejutkan orang saja. Adaapa sih? Mungkin hanya kalau dunia kiamat saja engkau kebingungan seperti sekarang ini!”

Hay Hay menjatuhkan diri di atas kursi, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya.

"Lebih dari kiamat, Han siong. Engkau harus menolongku sekarang! Aku sungguh bingung, tidak tahu harus berbuat apa!"

"Ha-ha, tenanglah sahabatku. Ada peristiwa apakah yang membuat engkau menjadi seperti ini? Ceritakanlah, tentu saja aku setiap saat siap sedia untuk membantumu."

"Aih, Han Siong, apa yang harus kukatakan sekarang? Ketahuilah, mereka itu, Mayang, ibunya dan gurunya, mereka mengusulkan agar pernikahan itu dilangsungkan sekarang juga!"

"Ehhh……. ??" Han Siong terkejut dan heran juga. Mengapa mereka begitu tergesa-gesa? "Tapi…… kenapa begitu? Tentu ada alasannya yang kuat."

Hay Hay menarik napas panjang, lalu dia menceritakan betapa Mayang berkeras hendak ikut dengan dia, untuk membantunya menghadapi musuh besarnya. Kalau dia menolak, maka gadis itu akan minggat dan kelak mencari dan menyusulnya. Ketika mereka minta ijin kepada ibu Mayang, maka ibu dan guru Mayang lalu mengajukan saran agar kami menikah dulu, sekarang juga. Mayang berkeras hendak ikut, dan ibunya berkeras agar kami menikah dulu. Nah, aku terjepit di tengah-tengah. Bagaimana ini, Han Siong?"

Pek Han Siong tertawa terpingkal-pingkal karena dia merasa betapa lucunya keadaan Hay Hay. Rasakan kau sekarang, kata hatinya. Ini pembalasan watakmu yang mata keranjang. Akan tetapi setelah berhenti tertawa, diapun berkata.

"Hay Hay, terjepit begitu bukankah enak buat engkau? Apalagi masalahnya? Engkau disuruh menikah, kemudian isterimu ikut bersamamu, melakukan perjalanan bersama, seperti berbulan madu! Kurang enak bagaimana. Kenapa engkau masih bingung dan mengomel lagi? Dasar tidak tahu terima kasih!"

"Han Siong, jangan engkau main-main! Berilah jalan keluar, berilah nasihat bagaimana aku harus menghadapi perkembangan baru ini!"

"Siapa main-main, Hay Hay. Apa sih yang perlu dirisaukan? Menikah hari ini atau bulan depan atau tahun depan, apa sih bedanya?"

"Han Siong, jangan bergurau! Engkau tahu bahwa aku menerima ikatan jodoh dengan Mayang karena tiga hal, yaitu pertama aku tidak ingin bermusuhan denganmu, ke dua aku tidak ingin berkelahi dengan Kim Mo Siankouw, dan ke tiga aku tidak ingin Mayang membunuh diri……."

"Masih ada yang ke empat dan tidak boleh engkau melupakan itu, ialah kenyaaan bahwa Mayang cinta padamu dan engkaupun cinta padanya!"

"Tak kusangkal, aku suka dan kagum kepada Mayang, akan tetapi cinta? Aku tidak tahu. Tapi sudahlah, aku sudah menerima ikatan jodoh, akan tetapi pernikahan sekarang? Aku belum siap!"

Han Siong tertawa.
"Ha-ha, apanya lagi yang belum siap? Engkau sudah cukup dewasa, belum siap apanya?"

"Ih, jangan main-main, Han Siong. Aku sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa, rumahpun tidak punya. Bagaimana aku dapat menikahi anak orang. Apakah isteriku lalu kuajak mengembara tanpa tempat tinggal? Apakah ia bisa kuberi makan rumput dan daun saja?"

"Hemm, kukira Mayang tidak membutuhkan itu semua! Dan hal itupun merupakan urusan nanti, dapat kalian rundingkan bersama. Sekarang, yang penting engkau terima saja usul mereka. Engkau menikah sekarang juga dengan Mayang dan itu berarti engkau telah membuat jasa besar bagi manusia dan dunia!"

Hay Hay memandang terbelalak, bengong.
"Eh? Kau jangan membikin aku menjadi semakin bingung, Han Siong. Apa maksudmu mengatakan bahwa kalau aku menikah sekarang dengan Mayang, aku berjasa terhadap manusia dan dunia?"

"Betapa tidak? Kalau engkau menikah dengan Mayang sekarang, berarti engkau membikin senang hati Mayang, membikin lega hati ibunya dan gurunya membikin gembira hatiku, dan membikin gembira para tamu yang akan menghadiri perayaan pernikahan itu. Nah, berarti engkau menyenangkan banyak manusia, juga menyenangkan dirimu sendiri. Betapa senangnya melakukan perjalanan ditemani seorang isteri sehebat Mayang. Selain itu, engkau mendatangkan kebaikan kepada dunia karena dengan adanya seorang isteri yang selalu menemani, maka bahaya bagi para gadis lain tidak ada lagi!"

"Bahaya bagi para gadis lain?" Hay Hay mengerutkan alisnya, tidak mengerti.

"Tentu saja, karena engkau tentu tidak lagi berani mengumbar mata keranjang kalau ada isterimu di sisimu!"

"Ahhh…..!” Hay Hay cemberut. “Engkau tidak memberi obat, malah membikin penyakit ini menjadi lebih parah!”

Han Siong bangkit dari pembaringan, menghampiri Hay Hay yang duduk di atas kursi, lalu memegang pundaknya.

"Sahabatku, pergunakanlah akal sehatmu dan jangan murung. Syukurilah berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadamu! Engkau tahu, untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, seseorang biasanya harus berani mengorbankan sesuatu, meniadakan kepentingan diri sendiri. Akan tetapi sekarang ini, engkau dapat melakukan banyak kebaikan kepada banyak orang, tanpa berkorban apa-apa, bahkan engkau menerima pula nikmat dan kebahagiaan. Pria mana yang takkan berbahagia memetik setangkai bunga yang demikian indah dan harumnya seperti calon isterimu itu? Nah, hadapilah kenyataan dan berterima kasihlah kepada Tuhan!"

Hay Hay menghela napas, lalu bangkit dengan malas.
"Sudahlah, akan kupertimbangkan semalam ini.”

"Besok pagi aku akan membawa keputusanmu yang menggembirakan kepada mereka!" kata Han Siong sambil tersenyum memandang sahabatnya yang meninggalkan kamarnya dengan langkah gontai.

**** 099 ****
Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar