*

*

Ads

Rabu, 01 Agustus 2018

Ang Hong Cu Jilid 094

"Lepaskan aku….. ! Lepaskan….. ah tolooongg….!”

"Diam kau!"

Pat Hoa Lama cepat menotok leher gadis itu dan Mayang tak mampu berteriak lagi. Tadi ia disambar oleh Pat Hoa Lama yang menotoknya dan memanggulnya lalu melarikannya. Karena lelah dan merasa ngeri, Mayang jatuh pingsah dalam panggulan pendeta sesat itu. Ketika ia siuman, biarpun tidak mampu bergerak, ia segera menjerit-jerit sampai ia terdiam oleh totokan pada lehernya.

Pendeta itu menuju ke lereng bukit yang berbatu-batu dimana terdapat banyak guha dan memasuki sebuah diantara guha-guha di bukit kapur itu. Dia menarik sebuah kaitan besi yang tersembunyi diantara tonjolan batu-batu dan terdengar suara keras. Dinding sebelah dalam dari guha itu bergerak dan nampak sebuah lubang cukup dimasuki seorang manusia. Dia menyelinap masuk membawa tubuh Mayang dan mendorong kembali kaitan besi dan batu itupun bergerak lagi menutupi lubang.

Dari luar, takkan ada orang dapat menduga bahwa di guha itu ada pintu rahasia. Kiranya di balik batu itu ada ruangan guha yang cukup luas dan disitu terdapat perabot sederhana, tempat tidur dan meja kursi. Bahkan terdapat bahan-bahan makanan. Tempat ini merupakan persembunyian rahasia yang dipersiapkan olehnya kalau-kalau gerakan mereka gagal dan mereka harus melarikan diri dan menyembunyikan diri.

Pat Hoa Lama membaringkan tubuh Mayang di atas dipan bambu dan dia duduk di tepi pembaringan lalu tertawa.

“Ha-ha-ha, disini engkau boleh menjerit sesukamu. Dinding ini tidak tembus suara dan tidak akan ada orang yang mampu mendengarmu, ha-ha-ha!”

Untuk membuktikan kebenaran ucapannya, Pat Hoa Lama membebaskan totokan pada leher gadis itu sehingga Mayang dapat mengeluarkan suara kembali. Akan tetapi Mayang bukan seorang gadis yang bodoh. Biarpun ia merasa takut dan ngeri, akan tetapi ia tahu bahwa pendeta itu tidak berbohong sehingga selain percuma saja kalau ia menjerit, juga hal ini hanya akan menambah kegembiraan pendeta yang sadis ini. Ia memutar otaknya.

Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi ia seorang gadis yang tidak terkekang, ia bebas menggiring dan mengirim ternak dari satu ke lain daerah sehingga ia banyak mendengar, banyak pula melihat dan iapun bukan seorang gadis yang buta huruf. Kim Mo Siankouw telah mengajarnya membaca dan menulis sehingga ia banyak pula membaca kitab.

Ia tahu akan kejahatan orang seperti pendeta sesat ini dan dengan hati ngeri iapun maklum bahaya apa yang mengancam dirinya. Namun, tidak mungkin subonya mendiamkannya saja. Subonya pasti akan mencarinya. Juga Hay Hay! Tak mungkin Hay Hay diam saja. Ia harus pandai mengulur waktu dan karena ia tidak mampu bergerak, satu-satunya cara hanya melalui percakapan.

"Losuhu, engkau adalah seorang pendeta Lama yang hidup suci dan bersih. Mengapa engkau menawanku dan apa yang akan kau lakukan kepada seorang gadis seperti aku?"

Pendeta itu menyeringai. Nampak giginya yang tinggal empat buah, besar-besar dan menghitam.

"Heh-heh-heh, nona manis! Engkau masih bertanya lagi mengapa kau kutawan? Pertama, karena engkau seorang gadis yang amat manis dan aku tergila-gila kepadamu. Kedua, engkau adalah murid Kim Mo Siankouw dan bersama gurumu engkau telah membikin gagal rencana kami. Apa yang akan kulakukan kepadamu? Heh-heh, sedang kupikirkan. Aku harus membalas dendam. Engkau dan gurumu telah membasmi dan menghancurkan semua rencana kami. Kawan-kawanku telah tewas. Hem, dosamu besar sekali!"

"Akan tetapi, kulihat tadi yang membasmi gerombolanmu adalah pendeta-pendeta Lama juga! Kalau tidak ada mereka yang datang, subo dan kami semua agaknya akan kalah," bantah Mayang untuk membela diri dan mengulur waktu.

"Hem, yang menjadi biang keladi adalah engkau! Engkau harus dihukum berat. Ya, engkau harus menebus semua dosamu, mernbayar semua kerugianku."

Diam-diam Mayang menggigil. Kenapa subonya atau Hay Hay belum juga datang?
"Losuhu, kalau engkau menggangguku, menyakiti atau sampai membunuhku, tentu sekali waktu subo akan dapat menemukanmu dan ia tentu akan menyiksamu untuk membalas kematianku! Dan engkau tahu betapa lihainya subo!" Ia menggertak.

"Heh-heh-heh! Kalau ia tahu! Ia takkan tahu. Ia takkan berhasil mencari kita. Tempat ini adalah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh kami bertiga. Sekarang hanya aku seorang yang tahu. Kita akan berdiam disini sampai mereka pergi. Ada makanan disini, ada air, dan aku memiliki teman yang manis! Heh-heh-heh!"

Pat Hoa Lama tertawa dan jari tangan kanannya mengelus dagu Mayang, membuat seluruh bulu di tubuh gadis itu meremang. Wajahnya menjadi pucat sekali dan perasaan takut membuat jantungnya seperti hendak pecah.






"Losuhu, ingatlah bahwa engkau seorang pendeta yang seharusnya melakukan perbuatan baik. Kau ampunilah aku, losuhu dan kalau engkau suka membebaskan aku, maka aku berjanji akan membujuk subo agar ia tidak lagi mengganggumu dan juga suka melepaskan engkau."

"Apa? Membebaskanmu? Huh, aku belum gila! Engkau berdosa besar! Dengar apa yang akan kulakukan kepadamu! Membunuhmu begitu saja terlalu enak bagimu. Aku akan mempermainkan engkau, menjadikan engkau budakku yang menuruti segala perintahku. Setelah aku bosan, engkau akan kuberikan kepada gerombolan biadab yang hidup di hutan-hutan Pegunungan Himalaya sebelah utara. Kau tahu apa yang akan dilakukan manusia-manusia setengah binatang itu kepada seorang wanita? Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok oleh banyak laki-laki seperti binatang itu sampai engkau mati! Akan tetapi jangan khawatir, hal itu baru akan terjadi setelah aku bosan denganmu, ha-ha-ha!"

Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati gadis itu. Tak terasa lagi, kedua matanya basah air mata.

"Losuhu.... aku mohon kepadamu... kau..... kau bunuhlah saja aku sekarang juga! Aku lebih suka mati....!"

"Ha-ha-ha-ha!" Pendeta yang sudah kesetanan itu tertawa bergelak, gembira sekali mendengar rintihan korbannya. "Sekarang saja engkau sudah minta mati, apalagi kalau kelak engkau sudah kuserahkan kepada gerombolan orang biadab itu, ha-ha-ha! Engkau akan memilih seribu kali mati dari pada terjatuh ke tangan mereka. Akan tetapi sebelum itu, engkau akan lebih dulu menjadi budakku, menuruti segala kemauanku dan engkau akan hidup senang, heh-heh-heh!"

Mayang menyadari sepenuhnya bahwa meratap dan memohon tidak ada gunanya terhadap manusia berhati binatang itu, maka timbul kembali kekerasan hatinya. Teringat ia akan nasihat gurunya bahwa lebih baik mati sambil mengaum seperti seekor harimau dari pada hidup merengek-rengek dan menjerit-jerit seperti seekor babi.

"Pendeta palsu berhati iblis! Kau kira aku sudi mentaatimu? Huh, engkau dapat menyiksaku, dapat membunuhku, dapat memaksa tubuhku, akan tetapi hatiku akan selalu membencimu dan akan selalu kucari kesempatan untuk membunuhmu atau membunuh diri!"

"Heh-heh-heh ! Kau kira engkau bisa melakukan itu? Ha-ha, sebentar lagi, engkau akan berlutut dan merengek kepadaku, minta kucinta dan kusayang. Aku tahu, engkau kebal terhadap sihir, akan tetapi aku memiliki bubuk racun ini yang akan membuat dirimu kehilangan ingatan, kehilangan segalanya dan menjadi hamba nafsu. Ha-ha, engkau akan menyenangkan sekali, manis."

"Tidak! Lebih baik aku mati!"

Mayang menggerakkan mulut untuk menggigit lidahnya sendiri, akan tetapi agaknya Pat Hoa Lama sudah menduga akan hal ini. Cepat sekali tangan pendeta itu bergerak menotok lehernya dan leher itupun terkulai, Mayang tidak mampu lagi menggerakkan mulutnya. Kini hanya matanya saja menitikkan air mata, menyesal sekali mengapa dalam kemarahannya tadi ia mengemukakan keinginannya membunuh diri. Kalau tidak, tentu telah tergigit putus lidahnya dan ia akan menjadi tewas atau cacat.

"Ha-ha-ha, engkau tidak akan membunuh diri, manis. Engkau bahkan akan ingin hidup terus, haus akan cintaku, haus akan belaianku. Ha-ha-ha!"

Tangan pendeta itu bergerak dan terdengar kain robek-robek, ketika dia merenggut robek dan lepas semua pakaian yang menutupi tubuh Mayang. Gadis itu tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara, hanya air matanya saja yang bergerak turun ke atas kedua pipinya yang pucat.

Setelah mencabik-cabik pakaian gadis itu, Pat Hoa Lama terkekeh-kekeh sambil memandang tubuh korbannya dengan mata yang liar dan lapar, muka kanak-kanak yang makin mengerikan lagi, tubuhnya yang tinggi bongkok itu nampak semakin bongkok ketika dia mengeluarkan sebuah bungkusan. Jari-jari tangannya membuka bungkusan yang terisi bubuk hitam itu, sedangkan matanya tak pernah melepaskan tubuh Mayang.

Dituangkannya bubuk hitam itu ke sebuah mangkok, kemudian sambil tertawa-tawa dia menuangkan arak seperempat mangkok, lalu mengaduk bubuk obat itu dengan arak.

"Nah, manis. Kau minumlah ini, enak rasanya, rasa arak biasa. Engkau akan mabok dan pulas, setelah terbangun, ha-ha-ha-ha, engkau akan menjadi liar dan binal, sebinal seekor kuda betina, ha-ha-ha!”

Dia menghampiri pembaringan. Mayang tidak mampu bergerak maupun bersuara, hanya sepasang matanya saja yang terbelalak ketakutan. Pat Hoa Lama duduk di tepi pembaringan, tangan kirinya memegang dagu Mayang, jari tangannya memaksa mulut gadis itu terbuka dan tangan kanan yang memegang mangkok sudah siap untuk menuangkan isi mangkok ke dalam mulut yang sudah terbuka lebar itu.

"Brakkkkk...... !"

Dinding batu itu ambrol ke dalam. Pat Hoa Lama terkejut bukan main sampai mangkok itu terlepas dari tangannya, jatuh ke atas lantai dan pecah isinya mengalir hitam ke atas lantai batu. Sesosok bayangan berkelebat dan Hay Hay telah berdiri di depan Pat Hoa Lama! Melihat Hay Hay, gadis itu menangis tanpa Suara, hanya air matanya saja yang membanjir keluar dan tubuhnya terguncang-guncang!

Sekali lirik tahulah Hay Hay akan keadaan Mayang dan dia sudah marah bukan main. Tadi dia mengalami kesulitan ketika melakukan pengejaran karena yang dikejar lenyap di lereng berbatu-batu itu. Dengan hati-hati dan teliti dia mengikuti jejak, melihat batu-batu yang berserakan, dan akhirnya dia mendengar jerit melengking dari Mayang ketika gadis itu minta tolong dan sebelum ia ditotok gagu. Dan dengan penuh ketelitian, dia dapat menemukan guha itu dan melihat bentuk dinding yang rata itu, diapun merasa curiga.

Akhirnya, dengan menggunakan sebungkah batu sebesar perut kerbau, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan batu besar itu ke dinding sebelah dalam guha itu. Dinding itu jebol dan ternyata dia menemukan Pat Hoa Lama di sebelah dalam, sudah siap untuk meminumkan sesuatu kepada Mayang, gadis yang sudah tidak mampu bergerak dan dalam keadaan telanjang bulat itu.

"Keparat jahanam!"

Dengan kemarahan yang membuatnya seperti gila, Hay Hay mencabut Hong-cu-kiam dan menyerang pendeta yang masih terkejut dan bingung itu. Dalam kegugupannya, pendeta itu menangkis sinar emas pedang pusaka itu dengan lengan kirinya. Dia menjerit karena lengan itu putus! Dan sebelum dia sempat menghindarkan diri, pedang itu telah menembus lehernya dan Pat Hoa Lama terjengkang, roboh dan tewas seketika!

Hay Hay cepat merenggut jubah pendeta itu sebelum tergenang darah lalu dia menyelimuti tubuh Mayang dengan jubah yang lebar itu, dan dibebaskannya gadis itu dari totokan gagu dan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh.

"Hay Hay..... ah, Hay Hay..... hu-hu-hu-huuuhh !" Mayang bangkit merangkul dan menangis di pundak Hay Hay.

"Tenanglah, Mayang. Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kedatanganku belum terlambat " kata Hay Hay, diam-diam merasa bersyukur sekali, karena dia dapat menduga bahwa kalau semenit saja dia terlambat dan gadis itu sudah minum cairan hitam itu, entah apa yang akan terjadi dengan gadis manis itu.

Mayang menangis, mengguguk sampai Hay Hay merasa betapa air mata menembus bajunya dan membasahi pundak dan dadanya,

"Hay Hay...., hu-hu-huuuu......dia..... mau meracuni aku... membikin aku kehilangan ingatan kemudian dia.... katanya kalau sudah bosan...... akan memberikan aku kepada gerombolan manusia biadab setengah binatang......hu-hu-huuuu... !”

Hay Hay mengepal tinju. Jahanam betul pendeta itu, pikirnya. Dia menepuk-nepuk pundak yang kini terselimuti jubah itu dan mengelus rambut yang halus itu.

“Sudahlah, Mayang. Engkau sudah selamat, dan dia sudah mati. Jangan menangis lagi, Mayang. Kalau terlalu banyak menangis, nanti matamu membengkak, kemerahan dan mukamu menjadi jelek!"

Mendengar ini, agak tergesa-gesa Mayang mengangkat mukanya dari pundak pemuda itu, menyusut air matanya lalu memandang kepada Hay Hay, bibirnya sudah membayangkan senyum!

"Bagaimana, Hay Hay, apakah aku menjadi jelek sekali?”

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar