*

*

Ads

Senin, 30 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 089

Mayang hampir tidak berkedip sejak tadi. Kini ia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran.

“Kau…. kau….. telah berpura-pura bodoh, ya?" bentaknya penuh teguran karena ia merasa dipermainkan pemuda ini.

Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu kini bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri.

"Orang muda, kita bicara di dalam!"

Hay Hay mengangguk dan mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa mendongkol terhadap Hay Hay karena ia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama. Wajahnya berubah kemerahan kalau ia membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi semenjak ia bertemu dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah!

Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir!

Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang diantara mereka. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah. Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka.

Sejenak, mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw memandang dengan mata menyelidik pula dan seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang-kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol. Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walaupun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, namun dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, tersenyum.

Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang amat kuat datang dari wanita tua itu. Ketika dia mengangkat muka, dia, melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong, seperti dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya.

Tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melalui pikiran, seolah-olah hendak memaksa dirinya mengaku.

Diapun mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga menarik kembali tenaganya dan diapun menundukkan pandang matanya.

"Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang mengajarkan ilmu sihir kepadamu?" pertanyaan itu lembut namun tegas.

Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini maka diapun tidak ragu untuk membuat pengakuan.

"Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin."

Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya.

"Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?"

Pertanyaan ini saja membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang sudah mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang amat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat.

"Kedua suhu saya adalah See-hian Lama dan Ciu-sian Sin-kai."

"Siancai…… !" Kini wanita tua itu nampak terkejut. "Kiranya engkau adalah murid dari dua diantara Delapan Dewa…..! Ah, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!"






Akan tetapi Mayang cemberut. Biarpun ia merasa semakin kagum, namun juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja ia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah.

"Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?”

Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tidak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya.

"Locianpwe, sesungguhnya saya tidak maju sendiri menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan diapun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihir. Namun, tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan daerah kami. Apalagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa kami hadapi sebagai lawan."

Kim Mo Siankouw rnengerutkan alisnya dan nampak terkejut.
"Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?"

"Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu, selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan sejak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!"

"Hemm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami sudah mendengar akan peristiwa itu! Jadi, sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku."

Kim Mo Siankouw kini benar-benar tertarik. Ia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Ia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan ia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk.

"Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lama." Hay Hay bercerita, "Sampai dewasa, Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi para pendeta Lama itu agaknya sampai kini masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini, muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Saya diam-diam membayanginya. Maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan lo-cian-pwe untuk menghadapi para pendeta, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu."

Kim Mo Siankouw menarik napas panjang.
"Sungguh aneh. Ketahuilah orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama itu adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Sungguh aneh sekali kalau sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemm. tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada diantara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini berbahaya sekali. Baiklah, karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya akan di cemarkan, aku akan membantumu. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru telah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Akan tetapi hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak ada pemaksaan sama sekali. Kalau ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti kalau matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang, engkau boleh beristirahat dulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita."

Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu.

"Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang," kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang disitu terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai.

Melihat sikap Mayang, Hay Hay tersenyum dan mengerutkan alisnya.
"Mayang, aku berterima kasih kepadamu. Gurumu suka membantu kami, semua ini berkat engkau, Mayang. Kalau tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan subomu."

Akan tetapi, dengan mulut cemberut, gadis itu berkata singkat,
"Tidak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!" katanya dan iapun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay.

Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lalu duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di belakangnya, ia membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya.

"Mau apa engkau kesini? Engkau disuruh beristirahat!" kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, akan tetapi juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay.

"Wah, bagaimana aku dapat beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledak-ledak dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?”

Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di keningnya makin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah ia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada, melayang dan berpindah ke punggungnya. Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay nampak semakin cantik manis saja!

"Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!"

"Astaga! Marah benar-benar ini namanya! Mayang sayang, siapa sih yang mengatakan bahwa engkau gadis bodoh dan tolol? Biar kugampar mulutnya dia yang berani memakimu seperti itu!"

Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba ia membalik dan sepasang kuncirnya ikut pula melayang ke depan lagi. Secepat gerakan pecutnya, suaranyapun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan.

"Engkau yang menghina dan memaki aku!"

Hay Hay memandang bengong.
"Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau telah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?”

"Engkau masih berani menyangkal? Bukankah, ketika engkau bertemu dengan aku, engkau berlagak bodoh? Engkau berlagak seperti seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah mempermainkan aku, bahwa engkau telah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh…… ingin aku menghajarmu!"

Baru Hay Hay mengerti dan diam-diam diapun menyesal. Dia bukan bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Kalau dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian. Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama?

Tadipun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tidak mungkin dapat mengelak lagi setelah menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apalagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan diapun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan.

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar