*

*

Ads

Senin, 30 Juli 2018

Ang Hong Cu Jilid 087

"She Tang.... ?” Tiba-tiba wanita itu membelalakkan matanya dan menatap wajah Hay Hay, lalu ia mengeluarkan jerit kecil tertahan, “Kau.... kau.... matamu dan hidungmu itu..... ihh, dan engkau she Tang pula..... Orang muda, cepat katakan, siapakah ayahmu?"

Hay Hay terkejut. Dia mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan siapa ayahnya kalau tidak amat perlu, maka diapun menarik napas panjang.

"Saya tidak tahu siapa ayah saya, bibi, karena ayah telah pergi sejak saya berada dalam kandungan dan mungkin dia sudah mati"

"Ibu, kenapa ibu kaget mendengar she dari Hay Hay? Dan ibu menyinggung mata dan hidungnya! Ada apakah, ibu.......?" Mayang kini juga bersikap sungguh-sungguh karena iapun terkejut dan heran melihat sikap ibunya.

Wanita itu telah dapat menguasai dirinya.
"Ahhh, tidak apa-apa. Aku hanya merasa seperti pernah melihat pemuda ini. Akan tetapi, Mayang, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan pemuda yang..... eh, mata keranjang ini? Mau apa dia kau bawa kesini? Siankouw bisa marah kalau....”

“Orang muda kurang ajar ini harus pergi sekarang juga!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari sebelah dalam.

Mendengar suara ini, ibu Mayang cepat membungkuk dan merangkap kedua tangan, memberi hormat. Juga Mayang segera menjatuhkan diri berlutut di dekat ibunya, sikapnya amat hormat.

Hay Hay mengangkat muka memandang. Yang rnuncul di ambang pintu itu memang mentakjubkan. Seperti bukan manusia ketika tiba-tiba muncul disitu, dengan sikap yang lembut dan anggun sekali. Sukar dapat dipercaya bahwa seorang wanita berusia enam puluh tahun masih seperti itu! Rambutrlya yang bercampur uban itu berwarna keemasan! Kulit mukanya lembut tanpa keriput, matanya mencorong dan bibirnya masih kemerahan dan terhias senyum aneh.

Tubuh, wajah dan sikap wanita ini sepantasnya terdapat pada sebuah patung, seperti arca Kwan im Pouwsat saja! Tanpa dibuat-buat, timbul perasaan hormat di dalam hati Hay Hay terhadap wanita ini, maka diapun cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, dan berkata dengan suara lantang.

"Mohon maaf sebesarnya dari Siankouw akan kelancagan saya yang telah berani datang menghadap Siankouw tanpa diundang. Saya memberanikan diri datang menghadap Siankouw untuk mohon pertolongan, karena saya mendengar bahwa Siankouw adalah seorang manusia berbudi luhur, seorang pertapa yang mencari penerangan dan tentu akan selalu mengulurkan tangan untuk menolong yang membutuhkan bantuan. Atas pertolongan Siankouw yang sakti dan suci, sebelumnya saya Tang Hay menghaturkan banyak terima kasih dan akan selalu berdoa semoga semua budi kebaikan Siankouw akan tercatat oleh Malaikat dan Tuhan yang akan berkenan membalas semua amal perbuatan Sian-kouw yang berbudi sehingga kalau dalam kehidupan yang sekarang saya tidak mampu membalas segala kebaikan Siankouw, semoga dalam kehidupan mendatang saya akan dapat menebusnya dan......”

“Sudah, cukup..... cukup..... !”

Kim Mo Siankouw berkata sambil menahan ketawanya mendengar kata-kata yang berderet-deret tiada putusnya itu.

"Engkau laki-laki perayu, dengan kata-katamu yang indah, suaramu yang merdu, ucapanmu yang manis, sungguh engkau palsu dan berbahaya sekali bagi kaum wanita. Engkau harus pergi dari sini!"

Berkata demikian, seperti orang yang merasa jengkel, wanita itu menggerakkan tangannya ke arah kepala Hay Hay. Pemuda ini mendengar angin berdesir dan dia terkejut bukan main. Biarpun kelihatan hanya mengebutkan tangan, namun sesungguhnya gerakan itu merupakan serangan yang amat dahsyat dan berbahaya bukan main!

Maka, agar jangan kentara bahwa dia mengelak, pada saat itu diapun menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berambut merah itu sambil mengangguk-angguk memberi hormat.

“Siankouw yang sakti, Siankouw yang budiman, Siankouw yang agung, tolonglah saya, tolonglah sahabat saya....”

Kim Mo Siankouw agak terbelalak dan ia menoleh kepada Mayang.
“Mayang, dari mana engkau memperoleh pemuda perayu ini dan apa kehendakmu membawa orang semacam ini kepadaku? Hayo jawab yang sejujurnya!" Ucapannya halus namun mengandung teguran dan perintah.

Sambil berlutut Mayang lalu menjawab,
"Harap subo sudi memaafkan teecu (murid). Subo (ibu guru) tentu maklum bahwa teecu tidak akan berani berlancang hati untuk membawa seorang tamu pria datang menghadap subo. Akan tetapi telah terjadi peristiwa yang cukup hebat, yang teecu anggap cukup penting bagi subo untuk mengetahuinya. Pertama-tama, agar subo ketahui bahwa tadi teecu telah bentrok dengan tiga orang pendeta Lama yang memimpin para pendeta Lama di puncak Bukit Bangau."






Kim Mo Siankouw terkejut walaupun hal ini hanya nampak pada pandang matanya dan kerut alisnya.

"Hemm, sudah kukatakah bahwa engkau tidak boleh berurusan dengan mereka. Urusan pemberontakan terhadap Dalai Lama bukanlah urusan kita dan kita tidak perlu mencampuri."

"Maaf, subo. Bukan niat teecu untuk mencampuri, akan tetapi secara kebetulan saja teecu bertemu dengan mereka bertiga itu di kedai makan dusun Wangkan dalam perjalanan teecu pulang mengantar ternak ke kota Cauw-ti. Mereka makan disana bersama seorang pemuda. Ketika mereka melihat teecu, seorang diantara mereka menghampiri teecu, pura-pura minta derma, akan tetapi teecu merasakan betapa dia menggunakan kekuatan sihir untuk menguasai pikiran teecu. Malam tadi, teecu datang ke gubuk di luar dusun dimana mereka menanti dan dengan sihir pendeta Lama itu menarik teecu datang. Karena teecu menganggap mereka itu jahat sekali, sebagai pendeta Lama tidak patut melakukan kekejian seperti itu terhadap teecu, maka teecu datang dan ingin menghajar mereka!"

“Aih, engkau lancang, Mayang. Mereka itu adalah tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang mana diantara mereka itu yang menyihirmu?"

"Ketika teecu berada dalam rumah makan, yang menyihir teecu adalah pendeta yang mukanya kekanak-kanakan, tubuhnya tinggi bongkok.... "

“Hemm, siapa lagi kalau bukan Pat Hoa Lama si pendeta cabul? Huh, berani dia menghina muridku! Lalu bagaimana? Agaknya tidak mungkin engkau dapat lolos dari tangan mereka bertiga!"

Setelah berkata demikian, Kim Mo Siankouw mengerling kepada Hay Hay yang masih menanti dengan hati tegang. Dia merasa betapa wanita itu memang hebat, dan agaknya telah mengenal dan mengetahui keadaan para pendeta Lama yang menculik Han Siong.

"Mereka bertiga menghadapi teecu dan mencoba untuk menguasai teecu dengan sihir. Akan tetapi.... hemmm, mereka tidak tahu bahwa teecu adalah murid subo. Segala permainan kanak-kanak itu..... "

"Jangan menyombongkan diri!"

Kim Mo Siankouw memotong dengan suara tegas sehingga mengejutkan Mayang sendiri karena tidak biasanya gurunya menghardiknya. Sementara itu, Hay Hay diam-diam tersenyum melihat sikap Mayang.

"Setelah sihir mereka itu gagal, lalu seorang diantara mereka yang memegang tongkat menyerang teecu. Teecu melawan dengan cambuk. Kami berdua saling Serang dan teecu sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka bertiga. Akan tetapi tiba-tiba teecu dikejutkan oleh terbakarnya gubuk itu dan teecu lalu pergi meninggalkan mereka. Teecu bertemu dengan Hay Hay ini dan dia menceritakan bahwa pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu adalah seorang sahabatnya yang diculik mereka untuk dijadikan pelayan. Karena teecu menduga bahwa temannya itu dilarikan ke Bukit Bangau, maka Hay Hay minta kepada teecu untuk menghadap subo dan mohon pertolongan subo untuk dapat menolong dan membebaskan sahabatnya itu."

Kim Mo Siankouw menahan senyumnya, memandang kepada muridnya itu dan menggeleng kepalanya.

"Mayang, kau kira aku tidak tahu siapa tiga orang pendeta Lama itu? Yang menyihirmu adalah Pat Hoa Lama, dan orang yang menyerangmu dengan tongkat itu bukankah bertubuh tinggi besar, dan tongkatnya itu memakai kelenengan? Lalu orang ke tiga itu tinggi kurus, matanya seperti selalu terpejam?"

“Benar sekali, subo."

"Mereka itu adalah tokoh-tokoh di Tibet. Yang menyerangmu bernama Gunga Lama dan yang matanya terpejam itu Janghau Lama. Mereka bertiga itu adalah orang-orang sakti dan menghadapi Gunga Lama seorang saja belum tentu engkau dapat menang. Kalau tidak ada orang membakar itu, agaknya belum tentu engkau akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka. Siapa yang membakar gubuk itu?"

Hay Hay cepat mengacungkan telunjuk kanannya ke atas,
"Saya, Siankouw! Untung ada saya........”

Pada saat itu, terdengar ribut-ribut di luar. Mereka segera memandang keluar dan nampaklah lima orang Lama sedang ribut mulut dengan para pelayan wanita yang bekerja di pekarangan depan. Agaknya para pelayan itu berkeras melarang mereka memasuki pekarangan dan lima orang pendeta Lama itu berkeras pula akan memasuki pekarangan sehingga terjadi ketegangan.

Melihat ini, Mayang melompat bangun, juga ibunya sudah melangkah keluar bersama puterinya. Kim Mo Siankouw sendiri dengan sikap tenang bangkit berdiri akan tetapi iapun melangkah keluar. Hay Hay yang ditinggal seorang diri dalam keadaan masih berlutut itupun segera bangkit dan keluar.

"Heiii, apa yang telah terjadi disini!” bentak Mayang yang bersama ibunya telah berada di pintu pagar dimana lima orang pendeta Lama itu bersi tegang dengan para pelayan yang melarang mereka memasuki pekarangan.

Lima orang pendeta Lama itu berusia kurang lebih antara empat puluh tahun. Mendengar bentakan ini, mereka mengangkat muka memandang dan melihat Mayang, mereka memandang dengan wajah berseri. Seorang diantara mereka, yang mulutnya lebar, segera melangkah maju.

"Apakah engkau yang bernama nona Mayang?”

"Kalau benar aku, mengapa?" tantang Mayang yang sudah marah melihat mereka karena ia menduga bahwa tentu mereka ini anak buah tiga orang pendeta Lama yang mereka bicarakan tadi.

Lima orang pendeta itu saling pandang dan merekapun menyeringai kurang ajar. Si mulut besar tertawa.

"Ha-ha-ha, pantas saja suhu berpesan agar kita membawanya hidup-hidup dan jangan melukainya. Kiranya memang manis sekali dan sayang kalau sampai terluka." katanya kepada kawan-kawannya, kemudian menghadapi Mayang. "Nona Mayang, kami diutus oleh para guru kami untuk mengundang nona ke tempat kami, menghadap tiga orang suhu kami karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu."

"Aku tidak sudi!” Mayang membentak.

"Nona Mayang, kami datang dengan maksud baik dan tidak ingin menggunakan kekerasan, akan tetapi kamipun tidak berani pulang kalau tidak bersamamu. Maka, marilah engkau ikut dengan kami agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan untuk memaksamu."

Mayang melompat dan membanting kakinya dengan marah.
“Kalian ini lima ekor anjing gundul berani mengancam aku? Majulah dan aku akan membikin remuk gundul-gundulmu itu!”

"Mayang, mundur kau!"

Tiba-tiba terdengar Kim Mo Siankouw berkata lembut. Mayang terkejut dan iapun tidak berani membantah, walaupun ia masih ragu-ragu.

"Mayang, taati Siankouw!" kata pula ibunya yang lebih mengerti mengapa Kim Mo Siankouw menyuruh Mayang mundur.

Ia dapat menduga bahwa kalau tiga orang pendeta Lama itu mengirim utusan lima orang ini, tentu mereka sudah memperhitungkan bahwa lima orang pendeta utusan ini akan mampu menandingi bahkan mengalahkan Mayang.

Kini Kim Mo Siankouw memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, senyum dingin mengejek.

"Orang muda, pi-ni (aku) akan mempertimbangkan permintaanmu tadi kalau engkau dapat mewakili kami menghadapi lima orang pendeta Lama ini."

"Subo, apakah subo hendak mencelakakan Hay Hay? Dia tidak bisa apa-apa, seorang pemuda yang lemah, bagaimana harus.....”

Ang Hong Cu







Tidak ada komentar:

Posting Komentar